Abu Yazid Berkisah: Dengan Tatapan yang Pasti Aku Memandang Allah

Selasa, 28 April 2020 - 10:16 WIB
loading...
Abu Yazid Berkisah: Dengan Tatapan yang Pasti Aku Memandang Allah
Abu Yazid berkata, aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad. Ilustrasi/Ist
A A A
ABU Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain.

Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: "...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah."

Abu Yazid berkisah, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku.

Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya. Kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya. Kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.

Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri. Sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.

Aku bertanya, "Ya Allah, apakah ini?"

Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku". Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku.

Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku.

Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya.

Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya, kututup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya.

Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.

Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah. Dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan. Dan dengan cahaya Allah aku menatap kepadaNya.

Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan".

"Ya, Allah,” jawabku. "Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepadaMu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau".

Allah berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukumKu dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu."

"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya".

"Dari siapakah engkau belajar?" tanya Allah.

"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya" jawabku. “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya".

Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasanNya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dialah aku hidup dan karena kelimpahanNya-lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.

"Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki," kata Allah. "Engkaulah yang kuinginkan," jawabku. "Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau".

Beberapa lama Dia tak menjawab. Kemudian sambil meletakkan mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku, berkatalah Dia,: "Kebenaranlah yang engkau ucapkan dan realitaslah yang engkau cari, karena itu engkau menyaksikan dan mendengarkan kebenaran".

"Jika aku telah melihat.” kataku pula. "Melalui Engkau-lah aku melihat, dan jika aku telah mendengar, melalui Engkaulah aku mendengar. Setelah Engkau, barulah aku mendengar."

Kemudian kuucapkan berbagai pujian kepadaNya. Karena itu Ia hadiahkan kepadaku sayap keagungan, sehingga aku dapat melayang-layang memandangi alam kebesaranNya dan hal-hal menakjubkan dari ciptaanNya. Karena mengetahui kelemahanku dan apa-apa yang kubutuhkan, maka Ia menguatkan diriku dengan perhiasan-perhiasanNya sendiri.

Ia menaruh mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan membuka pintu istana ketauhidan untukku. Setelah Ia melihat betapa sifat-sifatku tauhid ke dalam sifat-sifaNya, dihadiahkanNya kepadaku sebuah nama dari hadiratNya sendiri dan berkata-kata kepadaku dalam wujudNya sendiri. Maka terciptalah Tauhid Dzat dan punahlah perpisahan.

"Kepuasan Kami adalah kepuasanmu," kataNya. "Dan kepuasanmu adalah kepuasan Kami. Ucapan-ucapanmu tak mengandung kecemaran dan tak seorangpun akan menghukummu karena ke-aku-anmu".

Kemudian Dia menyuruhku untuk merasakan hunjaman rasa cemburu dan setelah itu Ia menghidupkan aku kembali. Dari dalam api pengujian itu aku keluar dalam keadaan suci bersih. Kemudian Dia bertanya,: "Siapakah yang memiliki kerajaan ini"

"Engkau," jawabku.

"Siapakah yang memiliki kekuasaan?"

"Engkau," jawabku

"Siapakah yang memiliki kehendak?"

"Engkau," jawabku

Karena jawaban-jawabanku itu persis seperti yang didengarkan pada awal penciptaan, maka ditunjukkanNya kepadaku betapa jika bukan karena belas kasihNya, alam semesta tidak akan pernah tenang, dan jika bukan karena cintaNya segala sesuatu telah dibinasakan oleh Kemahaperkasaan-Nya.

Dia memandangku dengan mata Yang Maha Melihat melalui medium Yang Maha memaksa, dan segala sesuatu mengenai diriku sirna tak terlihat.

Di dalam kemabukan itu setiap lembah kuterjuni. Kulumatkan tubuhku ke dalam setiap wadah gejolak api cemburu. Kupacu kuda pemburuan di dalam hutan belantara yang luas. Kutemukan bahwa tidak ada yang lebih baik dari pada kepapaan dan tidak ada yang lebih baik dari ketidak berdayaan.

Tiada pelita yang lebih terang dari pada keheningan dan tiada kata-kata yang lebih merdu dari pada kebisuan. Dan tiada pula gerak yang lebih sempurna dari pada diam. Aku menghuni istana keheningan, aku mengenakan pakaian ketabahan, sehingga segala masalah terlihat sampai ke akar-akamya. Dia melihat betapa jasmani dan rohaniku bersih dari kilasan hawa nafsu, kemudian dibukakan-Nya pintu kedamaian di dalam dadaku yang kelam dan diberikanNya kepadaku lidah keselamatan dan ketauhidan.

Kini telah kumiliki sebuah lidah rahmat nan abadi, sebuah hati yang memancarkan nur ilahi, dan mata yang ditempa oleh tanganNya sendiri. Karena Dia-lah aku berbicara dan dengan kekuasaanNya-lah aku memegang. Karena melalui Dia aku hidup, karena Dia-lah Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Menghidupi, maka aku tidak akan pemah mati. Karena telah mencapai tingkat keluhuran ini, maka isyaratku adalah abadi, ucapanku berlaku untuk selama-lamanya, lidahku adalah lidah tauhid dan ruhku adalah ruh keselamatan, ruh Islam.

Aku tidak berbicara mengenai diriku sendiri sebagai seorang pemberi peringatan. Dia-lah yang menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendakNya, sedang aku hanyalah seseorang yang menyampaikan. Sebenarnya yang berkata-kata ini adalah Dia, bukan aku.

Setelah memuliakan diriku Dia berkata, "Hamba-hambaKu ingin bertemu denganmu". "Bukanlah keinginanku untuk menemui mereka," jawabku. "Tetapi jika Engkau menghendakiku untuk menemui mereka, maka aku tidak akan menentang kehendakMu. Hiaslah diriku dengan ke-esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hambaMu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta semata-mata, bukan diriku ini".

Keinginanku ini dikabulkanNya. DitaruhNya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku.

Setelah itu Dia berkata, "temuilah hamba-hambaKu itu." Akupun berjalan selangkah menjauhi hadiratNya. Tetapi pada langkah yang kedua aku jatuh terjerumus. Terdengarlah seruan:

"Bawalah kembali kekasihKu kemari. Ia tidak dapat hidup tanpa Aku dan tidak ada satu jalanpun yang diketahuinya kecuali jalan yang menuju Aku."

Setelah aku mencapai taraf tauhid Dzat-itulah saat pertama aku menatap Yang Esa-bertahun-tahun lamanya aku mengelana di dalam lembah yang berada di kaki bukit pemahaman. Akhirnya aku menjadi seekor burung dengan tubuh yang berasal dari ke-esa-an dan dengan sayap keabadian.

Terus menerus aku melayang-layang di angkasa kemutlakan. Setelah terlepas dari segala sesuatu yang diciptakanNya, akupun berkata, "Aku telah sampai kepada Sang Pencipta. Aku telah kembali kepadaNya".

Kemudian kutengadahkan kepalaku dari lembah kemuliaan. Dahagaku kupuaskan seperti yang tak pemah terulang di sepanjang zaman. Kemudian selama tiga puluh ribu tahun aku terbang di dalam sifatNya yang luas, tigapuluh ribu tahun di dalam kemuliaan perbuatanNya, dan selama tiga puluh ribu tahun di dalam keesaan DzatNya. Setelah berakhir masa sembilan puluh ribu tahun, terlihat olehku Abu Yazid, dan segala yang terpandang olehku adalah aku sendiri.

Kemudian aku jelajahi empat ribu padang belantara. Ketika sampai di akhir penjelajahan itu terlihat olehku bahwa aku masih berada pada tahap awal kenabian. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, "Tidak ada seorang manusiapun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini".

Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di tapak kaki seorang Nabi. Maka sadarlah aku bahwa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan.

Kemudian ruhku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Surga dan neraka ditunjukkan kepada ruhku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli?

Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya.

Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehingga aku menjadi sirna. Tetapi betapapun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad.

Kemudian Abu Yazid berkata, "Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepadaMu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?"

Maka terdengarlah perintah, "Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad, si orang Arab. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya”.

Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad.

Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata, "aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak Muhammad”. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1002 seconds (0.1#10.140)