Ini Mengapa Penjajahan Tak Mampu Hapus Pola Berpikir Ideologi Islam
loading...
A
A
A
Perang Salib terjadi berkali-kali antara bangsa Eropa dengan Arab dan umat Islam. Meskipun perang ini telah membawa keberhasilan Eropa menguasai Dunia Islam selama dua abad (abad ke 12 dan 13 M), tetapi suatu yang tidak dapat dilakukannya adalah menghapuskan pola berpikir ideologi sosiokultural berlabel Islam. Padahalmisi Barbar ini juga telah membantai ratusan ribu kaum muslimin, memporakporandakan negeri dan membuat kehancuran di muka bumi.
Prof Munir Syafiq dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" atau "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press) mengatakan suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.
Menurutnya, perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol.
Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.
Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, kata Munir Syafiq, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.
Perlawanan
Munir Syafiq mengatakan ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka ke dalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.
Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.
Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.
Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.
Penyusupan
Munir Syafiq mengatakan langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.
Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional.
Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.
Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.
Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional.
Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis.
Prof Munir Syafiq dalam buku berjudul "As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili" atau "Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar" (Gema Insani Press) mengatakan suatu hal yang menyebabkan dominasi Eropa tetap berada di luar masyarakat Islam meskipun kekuatan persenjataan mereka telah demikian jauh bergerak dalam masyarakat adalah perlawanan umat Islam yang terus menerus sehingga membuat lawan sekuat apapun dianggap tak berarti dan temporal. Perlawanan gigih tersebut dikobarkan karena Islam telah menghunjam di dalam hati dan kehidupan masyarakat.
Menurutnya, perlawanan itu semakin kuat ketika tentara Salib memperoleh kemenangan secara gemilang atas Arab, dilanjutkan oleh kemenangan Tartar dan Mongol.
Begitu pula sewaktu Eropa pada abad ke-16 M dan seterusnya membentur pagar-pagar negara Islam selama lebih dari tiga abad, namun tak berhasil menghancurkannya. Hal inilah yang menghalangi Eropa untuk mendominasi dunia. Sebab, tanpa menghancurkan pagar-pagar tersebut, tak mungkin ia mengubah jalan sejarah, apalagi kemanusiaan berada pada masa perbudakan di tangan Eropa.
Kelemahan ini bukan karena faktor militer saja, kata Munir Syafiq, tetapi terutama karena dilema menghadapi masyarakat Arab-Islam. Inilah yang dialami Napoleon ketika mengadakan ekspansi ke Mesir, ia kesulitan menembus ke bagian dalam wilayah umat Islam. Karena itu, ia memasang strategi berpura-pura masuk Islam sehingga ia memperoleh simpati masyarakat, yang memudahkannya menguasai wilayah tersebut.
Hal ini juga menjelaskan mengapa para imperialis selalu menitikberatkan perhatian pada penghancuran masyarakat tradisional secara berlebihan. Setelah pemusnahan tersebut, mereka menggantinya dengan masyarakat baru di wilayah mereka yang berlindung pada pilar-pilar Islam serta pola kemanusiaan, ekonomi, dan sosial Islam. Meskipun pola tersebut telah menunjukkan gejala-gejala kemunduran, tradisi-tradisi, dan rasionalitas jahiliah, namun pada saat yang sama, ia tetap membawa prinsip-prinsip dasar Islam.
Perlawanan
Munir Syafiq mengatakan ketika pasukan kolonial berhasil menginjakkan kaki di kawasan pantai negara-negara Islam, mereka segera menghadapi berbagai pemberontakan kebangsaan di bawah panji-panji Islam.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut melibatkan mereka ke dalam pertarungan sengit yang tidak seimbang. Perlawanan tersebut menggelora di Sudan, Mesir, dan seluruh pantai Arab bagian Barat, semenanjung Arab, hak, serta semua negara Arab dan Islam.
Sejarah mencatat sikap heroik para pejuang Islam seperti Abdul Qadir al-Jazairi (Aljazair), Abdul Karim al-Khitabi (Maroko), Sayid Muhammad Sanusi dan Umar Mukhtar (Libya), Muhammad Ahmad al-Mahdi (Sudan), para tokoh ulama Revolusi Dua Puluh, Ahmad Syahid (India), Sayid Hassan al-Madras (Iran), dan begitu banyak ulama --yang tak dapat ditulis nama mereka semua dalam kesempatan yang terbatas ini-- di Arab, Turki, Iran, Afganistan, India, Uzbekistan, Tajikistan, Indonesia, dan berbagai wilayah Islam lainnya.
Posisi Eropa belum juga mantap dengan berbagai peperangan kecuali setelah menenggelamkan masyarakat tradisional ke dalam lautan darah dan menderita karena pembantaian. Walau demikian, kekuatan militer tidak mampu memaksa masyarakat tradisional menyerah, bahkan membuat mereka semakin gigih menahan benturan dari luar dalam rangka memelihara jati diri, kemerdekaan, pola kehidupan, sosiokultural, dan produk-produknya.
Masyarakat tradisional tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma, dan konsep-konsep Islam yang dipahami secara dinamis untuk menolak tuntutan-tuntutan kebudayaan Eropa. Akan tetapi, karena terlalu kuatnya dominasi, reaksi itu menyulut peperangan yang menyeluruh di berbagai bidang. Peperangan yang dilancarkan Eropa kemudian berkembang dalam bentuk propaganda sains dan kemajuan serta pemikiran-pemikiran yang memuat tujuan imperialisme, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan di negeri-negeri Islam. Hal itu terjadi karena keterbelakangan kita dalam bidang pemikiran dan sosio-Islam.
Penyusupan
Munir Syafiq mengatakan langkah perdana yang ditempuh Eropa untuk mendominasi masyarakat tradisional adalah dengan melakukan penyusupan yang dilakukan dalam berbagai bentuk. Strategi pertama diterapkan dengan menawarkan berbagai budaya tandingan dari Barat beserta langkah-langkah praktis untuk menerapkannya, sembari mengecilkan makna penting kebudayaan masyarakat tradisional.
Pada umumnya agen-agen modernisasi --sebagai salah satu respon terhadap imperialisme-- memainkan peranan yang sangat penting dalam menghadapi masyarakat tradisional.
Peran ini khususnya tampak pada era kemerdekaan, yakni melalui serangan terhadap masyarakat tradisional dengan pemikiran dan kebudayaan. Agen-agen itu mengibarkan panji-panji nasionalisme dan revolusionisme dengan menghidupkan kembali semangat dan pengorbanan nenek moyang (nativisme) ketika berjuang melawan imperialisme.
Perlu diketahui bahwa beban penderitaan dalam perjuangan tersebut merupakan bagian masyarakat tradisional di kota-kota dan desa-desa.
Usaha menggali kembali sebagian kekuatan internal pembaruan ini mempunyai dimensi nasionalisme dan revolusionisme ala Barat. Terkadang upaya tersebut dipaksakan dengan kekuatan, bahkan tampak tak terlepas dari hubungannya dengan imperialisme Barat terhadap Islam dan umatnya. Dengan demikian, fenomena yang muncul adalah saling berhadapannya kelompok modernis dengan masyarakat tradisional.
Realitas inilah yang membentuk dua corak respon terhadap kolonialisme, yaitu corak yang berpegang pada inti kemerdekaan yang diformulasikan oleh masyarakat tradisional dan corak yang mengikuti Barat yang dipelopori para modernis.
(mhy)