Sepercik Kisah Imam Hambal, Raja India, Perang Salib, dan Nabi Yusuf
loading...
A
A
A
Musyawarah Burung (1184-1187) karya Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim atau Attar dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi . Judul asli: Mantiqu't-Thair dan diterjemahan Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds (C. S. Nott). (
)
===
SEEKOR burung lain berkata pada Hudhud , "Bila raja yang kita bicarakan itu adil dan setia, Tuhan pun telah memberi kita pula kejujuran dan ketulusan; dan aku tak pernah kurang dalam hal keadilan terhadap siapa saja. Bila sifat-sifat ini terdapat pada suatu makhluk, bagaimana martabatnya dalam pengetahuan kerohanian?" ( )
Hudhud menjawab, "Keadilan ialah raja keselamatan. Ia yang adil selamat dari segala macam kesalahan dan kesia-siaan. Lebih baik adil daripada melewatkan seluruh hidupmu dengan berlutut dan bersembah sujud dalam peribadatan lahiriah. Juga kemurahan hati tidak sebanding dalam kedua dunia itu dengan keadilan yang dilakukan secara diam-diam. Tetapi dia yang berpura-pura adil di muka umum sulitlah untuk tak menjadi si munafik. Adapun pengikut Jalan ruhani tiadalah menuntut keadilan dari siapa pun juga, karena mereka menerimanya berlimpah-limpah dari Tuhan." ( )
Imam Hambal
Ahmad Hambal ialah Imam di zamannya, dan jasanya melebihi segala pujian. Suatu kali ketika ia ingin istirahat dari telaah dan pekerjaannya, ia pergi ke luar untuk bicara dengan seorang laki-laki yang amat miskin.
Seseorang yang melihat hal itu mencelanya dengan mengatakan, "Tak seorang pun yang lebih pandai dari Tuan, dan Tuan pun tak membutuhkan pendapat orang lain , namun Tuan menghabiskan waktu Tuan dengan si malang yang miskin, yang berjalan bertelanjang kaki dan bertelanjang kepala." ( )
"Memang benar," kata Imam itu, "bahwa aku telah melaksanakan apa yang ada dalam hadis dan sunnah, dan bahwa aku mempunyai lebih banyak pengetahuan dari orang ini; tetapi dalam hal keinsafan, ia lebih dekat pada Tuhan ketimbang aku."
Kau yang tak jujur karena tak tahu, setidak-tidaknya memberikan peringatan sejenak pada ketulusan mereka yang sedang menempuh jalan ruhani.
Raja India
Suatu kali Sultan Mahmud memenjarakan seorang raja tua, yang --setelah menghayati kasih Tuhan-- menjadi seorang Muslim dan meninggalkan kedua dunia.
Duduk sendiri dalam kemahnya ia menjadi begitu tenggelam dalam keadaan ini melelehkan airmata kesedihan dan mendesahkan keluh kerinduan --siang berganti malam dan malam berganti siang, semakin hebat juga tangis dan keluhnya.
Akhirnya Mahmud mendengarnya dan memanggilnya, "Jangan menangis dan meratap," katanya, "Tuan seorang raja dan aku akan memberi Tuan seratus kerajaan pengganti kerajaan Tuan yang telah hilang."
"O Syah Alam," jawab si Hindu, "aku tak meratapi kerajaanku yang hilang atau kemuliaanku. Aku menangis, karena pada hari kebangkitan, Tuhan, pemilik seri keagungan, akan berkata padaku, 'O orang yang tak setia, kautaburkan padaku biji penghinaan. Sebelum Mahmud menyerangmu, kau tak pernah memikirkan daku. Baru ketika kau terpaksa membawa tentaramu melawan dia dan kehilangan segalanya, kau ingat padaku. Adilkah ini pada pendapatmu?, O Raja yang masih muda, adalah karena aku merasa malu maka aku menangis dalam usiaku yang setua ini."
Dengarkan kata-kata tentang keadilan dan keimanan; dengarkan ajaran dalam Diwan Kitab-kitab Suci. Bila kau punya keimanan, tempuhlah perjalanan yang kuanjurkan padamu. Tetapi akankah ia yang tak ada dalam daftar kesetiaan terdapat dalam bab kelapangan hati!
Tentara Muslim dan Tentara Salib
Seorang Muslim dan seorang Nasrani tengah berperang-tanding, dan saatnya tiba bagi si Muslim untuk melakukan sembahyang yang ditentukan, maka dimintanya pertangguhan waktu dari si Nasrani.
Perajurit Salib itu setuju, maka si Muslim pun pergi menyisi dan bersembahyang. Ketika ia kembali, mereka pun lalu memulai perjuangan itu kembali dengan tenaga baru.
Sebentar kemudian si tentara Salib minta dilakukan gencatan senjata untuk melakukan sembahyangnya pula. Setelah ini diterima, ia pun mengundurkan diri, dan setelah memilih tempat yang sesuai, ia pun berlutut di debu di muka patung pujaannya.
Ketika si Muslim melihat musuhnya berlutut dengan kepala tunduk, ia pun berkata dalam hati, "Inilah kesempatan bagiku untuk mendapat kemenangan," sambil merencanakan hendak memukulnya dengan mengkhianati perjanjian.
Tetapi sebuah suara batin berkata, "O orang tak beriman yang hendak mengkhianati kesanggupanmu, beginikah caranya kau memegang janjimu? Si kafir tak menghunus pedang melawanmu ketika kauminta gencatan senjata. Tiadakah ingat akan sabda Quran, 'Peganglah janjimu dengan setia,. Karena seorang kafir telah bermurah hati padamu, janganlah mangkir terhadapnya. Ia telah berbuat baik, dan kau hendak berbuat jahat. Berbuatlah padanya sebagaimana ia telah berbuat padamu. Adakah kau, sebagai Muslim, tak patut dipercaya?"
Mendengar ini, si Muslim tertegun. Sesal melandanya dan ia bermandi airmata dari kepala hingga kaki. Ketika si tentara Salib melihat ini, ia pun menanyakan sebabnya. "Bisikan luhur," kata si Muslim, "menegurku karena tak setia padamu. Kaulihat aku dalam keadaan begini karena aku telah dikalahkan oleh kemurahan hatimu."
===
SEEKOR burung lain berkata pada Hudhud , "Bila raja yang kita bicarakan itu adil dan setia, Tuhan pun telah memberi kita pula kejujuran dan ketulusan; dan aku tak pernah kurang dalam hal keadilan terhadap siapa saja. Bila sifat-sifat ini terdapat pada suatu makhluk, bagaimana martabatnya dalam pengetahuan kerohanian?" ( )
Hudhud menjawab, "Keadilan ialah raja keselamatan. Ia yang adil selamat dari segala macam kesalahan dan kesia-siaan. Lebih baik adil daripada melewatkan seluruh hidupmu dengan berlutut dan bersembah sujud dalam peribadatan lahiriah. Juga kemurahan hati tidak sebanding dalam kedua dunia itu dengan keadilan yang dilakukan secara diam-diam. Tetapi dia yang berpura-pura adil di muka umum sulitlah untuk tak menjadi si munafik. Adapun pengikut Jalan ruhani tiadalah menuntut keadilan dari siapa pun juga, karena mereka menerimanya berlimpah-limpah dari Tuhan." ( )
Imam Hambal
Ahmad Hambal ialah Imam di zamannya, dan jasanya melebihi segala pujian. Suatu kali ketika ia ingin istirahat dari telaah dan pekerjaannya, ia pergi ke luar untuk bicara dengan seorang laki-laki yang amat miskin.
Seseorang yang melihat hal itu mencelanya dengan mengatakan, "Tak seorang pun yang lebih pandai dari Tuan, dan Tuan pun tak membutuhkan pendapat orang lain , namun Tuan menghabiskan waktu Tuan dengan si malang yang miskin, yang berjalan bertelanjang kaki dan bertelanjang kepala." ( )
"Memang benar," kata Imam itu, "bahwa aku telah melaksanakan apa yang ada dalam hadis dan sunnah, dan bahwa aku mempunyai lebih banyak pengetahuan dari orang ini; tetapi dalam hal keinsafan, ia lebih dekat pada Tuhan ketimbang aku."
Kau yang tak jujur karena tak tahu, setidak-tidaknya memberikan peringatan sejenak pada ketulusan mereka yang sedang menempuh jalan ruhani.
Raja India
Suatu kali Sultan Mahmud memenjarakan seorang raja tua, yang --setelah menghayati kasih Tuhan-- menjadi seorang Muslim dan meninggalkan kedua dunia.
Duduk sendiri dalam kemahnya ia menjadi begitu tenggelam dalam keadaan ini melelehkan airmata kesedihan dan mendesahkan keluh kerinduan --siang berganti malam dan malam berganti siang, semakin hebat juga tangis dan keluhnya.
Akhirnya Mahmud mendengarnya dan memanggilnya, "Jangan menangis dan meratap," katanya, "Tuan seorang raja dan aku akan memberi Tuan seratus kerajaan pengganti kerajaan Tuan yang telah hilang."
"O Syah Alam," jawab si Hindu, "aku tak meratapi kerajaanku yang hilang atau kemuliaanku. Aku menangis, karena pada hari kebangkitan, Tuhan, pemilik seri keagungan, akan berkata padaku, 'O orang yang tak setia, kautaburkan padaku biji penghinaan. Sebelum Mahmud menyerangmu, kau tak pernah memikirkan daku. Baru ketika kau terpaksa membawa tentaramu melawan dia dan kehilangan segalanya, kau ingat padaku. Adilkah ini pada pendapatmu?, O Raja yang masih muda, adalah karena aku merasa malu maka aku menangis dalam usiaku yang setua ini."
Dengarkan kata-kata tentang keadilan dan keimanan; dengarkan ajaran dalam Diwan Kitab-kitab Suci. Bila kau punya keimanan, tempuhlah perjalanan yang kuanjurkan padamu. Tetapi akankah ia yang tak ada dalam daftar kesetiaan terdapat dalam bab kelapangan hati!
Tentara Muslim dan Tentara Salib
Seorang Muslim dan seorang Nasrani tengah berperang-tanding, dan saatnya tiba bagi si Muslim untuk melakukan sembahyang yang ditentukan, maka dimintanya pertangguhan waktu dari si Nasrani.
Perajurit Salib itu setuju, maka si Muslim pun pergi menyisi dan bersembahyang. Ketika ia kembali, mereka pun lalu memulai perjuangan itu kembali dengan tenaga baru.
Sebentar kemudian si tentara Salib minta dilakukan gencatan senjata untuk melakukan sembahyangnya pula. Setelah ini diterima, ia pun mengundurkan diri, dan setelah memilih tempat yang sesuai, ia pun berlutut di debu di muka patung pujaannya.
Baca Juga
Ketika si Muslim melihat musuhnya berlutut dengan kepala tunduk, ia pun berkata dalam hati, "Inilah kesempatan bagiku untuk mendapat kemenangan," sambil merencanakan hendak memukulnya dengan mengkhianati perjanjian.
Tetapi sebuah suara batin berkata, "O orang tak beriman yang hendak mengkhianati kesanggupanmu, beginikah caranya kau memegang janjimu? Si kafir tak menghunus pedang melawanmu ketika kauminta gencatan senjata. Tiadakah ingat akan sabda Quran, 'Peganglah janjimu dengan setia,. Karena seorang kafir telah bermurah hati padamu, janganlah mangkir terhadapnya. Ia telah berbuat baik, dan kau hendak berbuat jahat. Berbuatlah padanya sebagaimana ia telah berbuat padamu. Adakah kau, sebagai Muslim, tak patut dipercaya?"
Mendengar ini, si Muslim tertegun. Sesal melandanya dan ia bermandi airmata dari kepala hingga kaki. Ketika si tentara Salib melihat ini, ia pun menanyakan sebabnya. "Bisikan luhur," kata si Muslim, "menegurku karena tak setia padamu. Kaulihat aku dalam keadaan begini karena aku telah dikalahkan oleh kemurahan hatimu."