Doa dan Tawakal, Salah Satu Sebab yang Bisa Mendatangkan Rezeki

Rabu, 07 Desember 2022 - 13:54 WIB
loading...
Doa dan Tawakal, Salah Satu Sebab yang Bisa Mendatangkan Rezeki
Seseorang yang tawakal akan menyerahkan segala keperluan dan keluhannya kepada Allah SWT. Ia bersimpuh berdoa penuh hiba kepada Allah SWT untuk memenuhi segala kebutuhan semua makhluk-Nya. Foto ilustrasi/ist
A A A
Adnan ath-Tharsyah dalam kitab 'Anta wal Mal' menulis, doa merupakan salah satu sebab yang bisa mendatangkan rezeki . Mengingat doa adalah bentuk tawajjuh (menghadapkan diri) dan permohonan kepada Allah Taala Yang Maha memberi rezeki, di mana di tangan-Nya lah semua kendali rezeki . Maka sudah semestinya kita memohonkan kepada-Nya dengan ibadah nan agung ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ، ثُمَّ تَلا : {وَقَالَ رَبُّكُمَ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ} … الآيَة


Doa, dia itulah ibadah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat yang artinya: Dan Rabb mu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan permintaanmu. (Surat Ghâfir/ 40: 60. Shahîh Sunan Abî Dâwud, no. 1312).



Artinya doa adalah ibadah yang memang pantas untuk disebut ibadah. Mengingat hal tersebut menunjukkan sikap menghadap pada Allah Taala dan berpaling dari semua selain Dia. Maka bila seseorang meminta rezeki , maka tidaklah ia memohon dan meminta kecuali kepada Allah semata.

Allah Ta'ala pun menegaskan bahwa Dia malu bila seorang hamba bersimpuh kepada-Nya dengan menengadahkan kedua tangannya tanpa mendapatkan hasil.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ, يَسْتَحِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفَرًا


Sesungguhnya Rabb kalian Maha Malu lagi Maha Pemurah. Dia malu kepada hamba-Nya, bila ia mengangkat kedua tangan memohon kepada-Nya lalu ia balikkan keduanya kosong tanpa hasil. (Shahîh Sunan Abî Dâwud, no. 1320)

Bahkan Allah SWT murka kala hamba tak meminta dan memohon-Nya. Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di hadapan Allah Taala daripada doa.

Rasululllah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اَللَّهِ مِنَ الدُّعَاءِ


Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di hadapan Allah Taala daripada doa. (Shahîh Sunan At-Tirmidzi, no. 2684)

Karena dengan berdoa, ujar Adnan ath-Tharsyah, seorang hamba menampakkan kelemahan, kefakiran, kehinaan dan pengakuan akan kekuatan dan kekuasaan Allâh Taala.

Sedangkan ibadah disyariatkan tidak lain adalah sebagai wujud ketundukan dan menampakkan kefakiran di hadapan Allah Taala Sang Pencipta. Dan kala seorang hamba meninggalkan doa, tidak mau memohon kepada Allah Taala, sejatinya itu adalah bentuk kesombongan dan kecongkakan, merasa tidak butuh kepada pemberian dan rahmat Allâh Taala. Dan ini bentuk kelancangan hamba terhadap Rabbnya.

Rasul Shallallahu alaihi wa sallam pun berdoa dan meminta kepada Allah Taala agar dikaruniai rezeki yang baik dan meminta perlindungan dari kemelaratan. Adalah Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bila telah salam dari sholat Subuh, beliau berdoa,

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً


Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima. (Shahîh Sunan Ibni Majah, no.753).

Beliau juga memanjatkan doa berikut:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ


'Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan. (Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 1287)

Setelah Doa Kemudian Tawakal

Adnan ath-Tharsyah juga mengatakan manusia akan kuat dan terhormat kala ia tidak mengadukan kesusahannya dan menyerahkan urusannya kepada sesamanya. Ia akan menjadi mulia ketika ia adukan keperihannya dan menyerahkan urusannya kepada Allah Taala; Dzat Yang Maha Kuasa mendatangkan manfaat dan menampik madharat.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَزَلَتْ بِهِ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ وَمَنْ نَزَلَتْ بِهِ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِاللَّهِ فَيُوشِكُ اللَّهُ لَهُ بِرِزْقٍ عَاجِلٍ أَوْ آجِلٍ


Barangsiapa ditimpa kefakiran, lalu ia adukan kepada manusia, maka kebutuhannya tidak akan dipenuhi. Dan barangsiapa yang dikenai kefakiran lalu ia adukan kepada Allâh Azza wa Jalla (dan ia serahkan kepada-Nya), maka Allâh Azza wa Jalla akan menyegerakan untuknya rezeki yang disegerakan, atau rezeki yang ditunda nantinya. (Shahîh Sunan At-Tirmidzi, no. 1895)

Ia serahkan segala keperluan dan keluhannya kepada Allah SWT. Ia bersimpuh berdoa penuh hiba kepada Allah SWT untuk memenuhi segala kebutuhan semua makhluk-Nya.

Ia ber- tawakal kepada Allah, mengharap agar Dia berkenan memenuhi kebutuhannya. Allah akan menyegerakan kecukupan, dengan memberinya rezeki dalam waktu dekat, ataupun rezeki yang ditunda untuk suatu saat kelak. Ini semua tidaklah mengherankan, karena Allah Dzat satu-satunya yang memberi rezeki.

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah Taala, maka Allah akan memberinya kecukupan dari-Nya. Allah Taala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ


"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS Ath-Thalâq/ 65: 3)

Sekiranya seseorang bertawakal kepada Allah Taala dengan sebenar tawakal, dengan penuh keyakinan bahwa tidak ada yang memberi atau menahan rezeki selain Allah Azza wa Jalla, lalu ia berusaha dengan menekuni mata pencahariannya, pasti ia akan diberi rezeki, layaknya burung yang keluar di pagi hari buta dengan perut kosong dan pulang di petang hari dalam keadaan kenyang.

Jadi tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla adalah sebab yang paling agung dalam mendatangkan rezeki. Tawakal adalah setengah dari agama ini, yang merupakan bentuk permintaan tolong seoang hamba kepada Rabbnya.

Ia adalah amalan hati, bukan ucapan lisan atau perbuatan anggota badan, bukan pula pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Tawakal yang paling utama adalah tawakal dalam hal yang wajib; yaitu yang wajib terhadap Allah Azza wa Jalla, yang wajib terhadap sesama manusia, dan yang wajib terhadap dirinya. Yang wajib terhadap Allah adalah dengan meminta tolong kepada Allah Ta’ala dalam taat kepada-Nya, bertumpu pada-Nya dan tidak bersandar pada kekuatan dirinya. Ini disertai dengan usaha dan ikhtiar.

Adapun yang wajib terhadap diri adalah dengan bersandar kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperbaiki urusan dirinya, sambil meniti jalan untuk mencari kebaikan diri dan kemanfaatannya.

Sedangkan yang wajib terhadap sesama manusia adalah bertawakal kepada Allah SWT dalam memperbaiki perkaranya, dengan memperkuat relasi antara diri dan Rabb nya, sehingga Allah pun akan membuat relasi dirinya dengan sesama manusia menjadi harmonis. Sebagaimana ia juga meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memperbaiki sesama manusia, tidak mengandalkan ilmu dan usahanya. Karena ia tahu bahwa hati manusia ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sedangkan tawakal yang paling bermanfaat adalah tawakal terhadap suatu efek yang terjadi dalam hal kemaslahatan terkait agama, dan dalam hal menolak bahaya terkait agama.

Ini merupakan tawakalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah Azza wa Jalla dan menolak sepak terjang yang dilakukan para perusak di muka bumi. Dan inilah tawakalnya para pewaris nabi.

Ada yang mengartikan tawakal sebagai bentuk percaya dan yakin dengan (kekuasaan) Allah Azza wa Jalla, merasa tenang dan nyaman dalam bersandar kepada-Nya.

Ada lagi yang mengartikannya sebagai bentuk keridhaan terhadap apa yang ditakdirkan. Sebagian orang shalih berkata, “ada orang yang berkata: aku bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla! Namun sebenarnya ia dusta kepada Allah Azza wa Jalla. Sekiranya ia benar-benar tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla, ia pasti akan ridha dengan apa yang Allah perbuat terhadapnya.

Mewujudkan tawakal, bukan kemudian berarti meniadakan usaha menempuh sebab dan ikhtiar mencari rezeki. Tawakal akan menjadi nonsense ketika tanpa diiringi usaha menempuh sebab dan ikhtiar. Tawakkal tanpa ikhtiar sama saja dengan bentuk berpangku tangan dan pengangguran.

Di samping bertawakal, Allah Azza wa Jalla pun memerintahkan untuk menempuh sebab dan usaha. Jadi, meniti sebab dengan berusaha memberdayakan anggota badan, juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla dengan hatinya, merupakan bentuk keimanan kepada-Nya.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


"Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS Al-Jumu’ah/ 62: 10)

Artinya menebarlah di penjuru bumi untuk mencari penghidupan dengan berbagai cara yang dihalalkan, agar harta halal bisa mengalir dan rezeki-Nya pun bisa dinikmati. Dan perlu diingat, bahwa ikhtiar kita tidak akan mendatangkan hasil kecuali apa yang telah Allah Taala tetapkan.

Bila memang sulit diwujudkan, maka itulah apa yang telah Allah takdirkan. Kalaupun memang mudah, maka itu karena Allah telah memudahkannya. Karena usaha dan ikhtiar bukanlah yang memberi rezeki, namun Allah Dzat Yang memberi rezeki.

Oleh karena itu, merupakan bentuk kesempurnaan tawakal adalah tidak condong dan berserah pada sebab, serta memutuskan keterpautan hati dengan sebab. Sehingga keadaan hatinya adalah percaya sepenuhnya kepada Allah, bukan kepada sebab, sedangkan sikap fisiknya adalah mengupayakan sebab dan ikhtiar.



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2575 seconds (0.1#10.140)