Zakat Tak Ada Kaitannya dengan Pemerataan, Begini Penjelasan Kiai Masdar Masudi

Senin, 19 Desember 2022 - 05:15 WIB
loading...
Zakat Tak Ada Kaitannya...
Kiai Haji Masdar Farid Masudi. Foto/Ilustrasi: nuonline
A A A
Kiai Haji Masdar Farid Masudi mengatakan zakat tidak ada kaitannya dengan pemerataan. "Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri, mangada-ada! Anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema. Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat" itu sendiri.

Ibarat figur, ujar Kiai Masdar, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh Imam Mahdi atau ratu adil yang meski pun sangat sulit orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.



Dalam tulisannya berjudul "Zakat Konsep Harta yang Bersih" di buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", Kiai Masdar mengatakan sesungguhnyalah, mengaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal.

Bahkan mengaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, sholat, puasa, juga haji) bukan merupakan perkara mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam menunaikan sholat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini terbuka tabir kerohaniannya.

Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut nama-nama Nya. "Ajaib!" kata Kiai Masdar. "Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil," lanjutnya.

Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan.

Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.



Logika Kesejarahan
Kiai Masdar menjelaskan sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga ma'mul (applicable).

Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik.

Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif.

Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul secara implisit haruslah ma'qul.

Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi soal "keadilan sosial," orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Akan tetapi dari semua yang ma'qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat.

Menurut Kiai Masdar, karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.



Nafsu Gila Harta
Kiai Masdar menjelaskan lebih dari sekadar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya.

Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, di mana sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama.

Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2905 seconds (0.1#10.140)