6 Omong Kosong Israel untuk Dirikan Negara Yahudi
loading...
A
A
A
Omong kosong ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194811 yang berbunyi: "Hak [bangsa Yahudi untuk melakukan restorasi nasional di Palestina] diakui oleh Deklarasi Balfour."
Faktanya, Deklarasi Balfour secara sengaja tidak mendukung pendirian suatu bangsa Yahudi. Deklarasi itu termuat dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris, pada 2 November 1917.
Deklarasi itu telah disetujui oleh kabinet Inggris dan dikatakan: "Pemerintah menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini, setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat merugikan hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh bangsa Yahudi di setiap negeri lain."
Pada 1939 British White Paper secara khusus menyatakan bahwa Inggris "tidak bermaksud mengubah Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi yang bertentangan dengan kehendak penduduk Arab di negeri itu."
Omong kosong keempat, pernyataan yang berbunyi: "[Palestina adalah] tanah air tanpa rakyat bagi rakyat [Yahudi) yang tidak bertanah air."
Faktanya, ketika Deklarasi Balfour diumumkan pada 1917 ada kira-kira 600.000 orang Arab di Palestina dan kira-kira 60.000 orang Yahudi. Lebih dari tiga puluh tahun selanjutnya rasio itu menyempit ketika imigrasi Yahudi bertambah, terutama akibat adanya kebijaksanaan anti-Semit Adolf Hitler. Namun, menjelang akhir 1947 ketika PBB berencana untuk membagi Palestina, bangsa Arab masih merupakan penduduk mayoritas, dengan jumlah orang Yahudi mencapai hanya sepertiganya --608.225 orang Yahudi berbanding 1.237.332 orang Arab.
Ketika Max Nordau, seorang Zionis senior dan sahabat Zangwill, mengetahui pada 1897 bahwa ada penduduk asli Arab di Palestina, dia berseru: "Aku tidak tahu itu! Kita tengah melakukan suatu kezaliman!"
Penduduk Palestina bukan hanya sudah ada di sana, mereka bahkan telah menjadi masyarakat mapan yang diakui oleh bangsa-bangsa Arab lainnya sebagai "bangsa Palestina."
Bangsa itu terdiri atas golongan-golongan intelektual dan profesional terhormat, organisasi-organisasi politik, dengan ekonomi agraria yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi cikal bakal industri modern.
Kata ilmuwan John Quigley: "Penduduk Arab telah mapan selama beratus-ratus tahun. Tidak ada migrasi masuk yang berarti dalam abad kesembilan belas."
Omong kosong kelima, Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194820 yang berbunyi: "Atas dasar... resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah Israel --Negara Israel."
Faktanya, hanya karena tekanan kuat dari pemerintahan Truman sajalah maka Rencana Pembagian PBB diluluskan oleh Majelis Umum pada 29 November 1947, dengan perolehan suara 33 lawan 13 dan dengan 10 abstain dan 1 absen.
Di antara bangsa-bangsa yang mengalah pada tekanan AS adalah Prancis, Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksemburg, Paraguay, dan Filipina.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Sumner Welles menulis: "Melalui perintah langsung dari Gedung Putih setiap bentuk tekanan, langsung maupun tak langsung, dibawa untuk disampaikan oleh para pejabat Amerika kepada negara-negara di luar dunia Muslim yang diketahui belum menentukan sikap atau menentang pembagian itu. Para wakil dan perantara dikerahkan oleh Gedung Putih untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan terus dipertahankan."
Rencana pembagian, yang dinamakan Resolusi 181, membagi Palestina antara "negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan Rezim Internasional Istimewa untuk Kota Jerusalem."
Calon Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengatakan bahwa resolusi itu mempunyai "kekuatan mengikat," dan Deklarasi Kemerdekaan Israel mengutipnya tiga kali sebagai dasar kebenaran yang sah bagi berdirinya negara itu.
Namun Majelis Umum, tidak seperti Dewan Keamanan, tidak mempunyai kuasa lebih dari membuat rekomendasi. Ia tidak dapat mendesakkan rekomendasi-rekomendasinya, pun rekomendasi-rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum kecuali untuk masalah-masalah internal PBB.
Faktanya, Deklarasi Balfour secara sengaja tidak mendukung pendirian suatu bangsa Yahudi. Deklarasi itu termuat dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Rothschild, presiden Federasi Zionis Inggris, pada 2 November 1917.
Deklarasi itu telah disetujui oleh kabinet Inggris dan dikatakan: "Pemerintah menyetujui didirikannya sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina, dan berusaha sebaik-baiknya untuk melancarkan pencapaian tujuan ini, setelah dipahami secara jelas bahwa tidak akan dilakukan sesuatu yang dapat merugikan hak-hak sipil dan hak-hak keagamaan komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh bangsa Yahudi di setiap negeri lain."
Pada 1939 British White Paper secara khusus menyatakan bahwa Inggris "tidak bermaksud mengubah Palestina menjadi sebuah Negara Yahudi yang bertentangan dengan kehendak penduduk Arab di negeri itu."
Omong kosong keempat, pernyataan yang berbunyi: "[Palestina adalah] tanah air tanpa rakyat bagi rakyat [Yahudi) yang tidak bertanah air."
Faktanya, ketika Deklarasi Balfour diumumkan pada 1917 ada kira-kira 600.000 orang Arab di Palestina dan kira-kira 60.000 orang Yahudi. Lebih dari tiga puluh tahun selanjutnya rasio itu menyempit ketika imigrasi Yahudi bertambah, terutama akibat adanya kebijaksanaan anti-Semit Adolf Hitler. Namun, menjelang akhir 1947 ketika PBB berencana untuk membagi Palestina, bangsa Arab masih merupakan penduduk mayoritas, dengan jumlah orang Yahudi mencapai hanya sepertiganya --608.225 orang Yahudi berbanding 1.237.332 orang Arab.
Ketika Max Nordau, seorang Zionis senior dan sahabat Zangwill, mengetahui pada 1897 bahwa ada penduduk asli Arab di Palestina, dia berseru: "Aku tidak tahu itu! Kita tengah melakukan suatu kezaliman!"
Penduduk Palestina bukan hanya sudah ada di sana, mereka bahkan telah menjadi masyarakat mapan yang diakui oleh bangsa-bangsa Arab lainnya sebagai "bangsa Palestina."
Bangsa itu terdiri atas golongan-golongan intelektual dan profesional terhormat, organisasi-organisasi politik, dengan ekonomi agraria yang tengah tumbuh dan berkembang menjadi cikal bakal industri modern.
Kata ilmuwan John Quigley: "Penduduk Arab telah mapan selama beratus-ratus tahun. Tidak ada migrasi masuk yang berarti dalam abad kesembilan belas."
Omong kosong kelima, Deklarasi Kemerdekaan Israel, 194820 yang berbunyi: "Atas dasar... resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ini [kami] memproklamasikan berdirinya sebuah Negara Yahudi di Tanah Israel --Negara Israel."
Faktanya, hanya karena tekanan kuat dari pemerintahan Truman sajalah maka Rencana Pembagian PBB diluluskan oleh Majelis Umum pada 29 November 1947, dengan perolehan suara 33 lawan 13 dan dengan 10 abstain dan 1 absen.
Di antara bangsa-bangsa yang mengalah pada tekanan AS adalah Prancis, Ethiopia, Haiti, Liberia, Luksemburg, Paraguay, dan Filipina.
Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Sumner Welles menulis: "Melalui perintah langsung dari Gedung Putih setiap bentuk tekanan, langsung maupun tak langsung, dibawa untuk disampaikan oleh para pejabat Amerika kepada negara-negara di luar dunia Muslim yang diketahui belum menentukan sikap atau menentang pembagian itu. Para wakil dan perantara dikerahkan oleh Gedung Putih untuk memastikan bahwa suara mayoritas akan terus dipertahankan."
Rencana pembagian, yang dinamakan Resolusi 181, membagi Palestina antara "negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan Rezim Internasional Istimewa untuk Kota Jerusalem."
Baca Juga
Calon Menteri Luar Negeri Israel Moshe Sharett mengatakan bahwa resolusi itu mempunyai "kekuatan mengikat," dan Deklarasi Kemerdekaan Israel mengutipnya tiga kali sebagai dasar kebenaran yang sah bagi berdirinya negara itu.
Namun Majelis Umum, tidak seperti Dewan Keamanan, tidak mempunyai kuasa lebih dari membuat rekomendasi. Ia tidak dapat mendesakkan rekomendasi-rekomendasinya, pun rekomendasi-rekomendasi itu tidak mengikat secara hukum kecuali untuk masalah-masalah internal PBB.