Mengapa Sholat Disebut Bermakna Instrumental? Begini Penjelasan Nurcholish Madjid
loading...
A
A
A
Cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholish Madjid MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan, sholat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinya sendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri, khususnya sholat sebagai peristiwa menghadap Allah dan berkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melalui tingkah laku (khususnya ruku' dan sujud).
"Dan sholat disebut bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Menurut Cak Nur, sesungguhnya adanya makna instrumental sholat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada dampak kebaikan.
Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam kata-kata, kata Cak Nur, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan.
"Inilah makna instrumental sholat, yang jika shalat itu tidak menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai 'instrumen' akan sia-sia belaka," tuturnya.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung (pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan." (QS al-Ankabut/29:45)
Menurut Cak Nur, dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban sholat ialah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui sholat. Karena itu jika sholat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang justru terkutuk dalam pandangan Allah.
Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka celakalah untuk mereka yang sholat, yang lupa akan sholat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." ( QS al-Ma'un/107 :1-7)
Doa untuk Keselamatan
Jadi, lanjut Cak Nur, ditegaskan bahwa sholat seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan sholat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.
Dengan begitu maka sholat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya peringatan dalam firman itu.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara sholat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang sholat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." ( QS al-Muddatstsir/74 :38-47).
Maka, kata Cak Nur, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk neraka" ialah karena mereka tidak pernah sholat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu.
Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri.
Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat).
Menurut Cak Nur, jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, sholat --selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita-- ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu.
"Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya sholat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan sholat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas.
"Dan sholat disebut bermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagai sarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Baca Juga
Menurut Cak Nur, sesungguhnya adanya makna instrumental sholat itu sangat logis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga. Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafan menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, maka tentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampak pada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripada dampak kebaikan.
Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itu merupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalam kata-kata, kata Cak Nur, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudan keluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudi pekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan.
"Inilah makna instrumental sholat, yang jika shalat itu tidak menghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai 'instrumen' akan sia-sia belaka," tuturnya.
Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyak dikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada engkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari yang kotor dan keji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung (pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan." (QS al-Ankabut/29:45)
Menurut Cak Nur, dengan jelas firman itu menunjukkan bahwa salah satu yang dituju oleh adanya kewajiban sholat ialah bahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya dari kejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melalui sholat. Karena itu jika sholat seseorang tidak mencapai hal yang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraan yang justru terkutuk dalam pandangan Allah.
Inilah pengertian yang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kurang lebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama? Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegas menganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Maka celakalah untuk mereka yang sholat, yang lupa akan sholat mereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." ( QS al-Ma'un/107 :1-7)
Doa untuk Keselamatan
Jadi, lanjut Cak Nur, ditegaskan bahwa sholat seharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanan sosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuh santun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkan nasib orang miskin.
Adalah hasil dan tujuan sholat sebagai sarana pendidikan budi luhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapan salam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doa untuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak, baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkan sebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial.
Dengan begitu maka sholat dimulai dengan pernyataan hubungan dengan Allah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengan sesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidak menghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkan menjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifat palsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnya peringatan dalam firman itu.
Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajam tentang keterkaitan antara sholat dan perilaku kemanusiaan:
Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannya
Kecuali golongan yang beruntung (kanan)
Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,
tentang nasib orang-orang yang berdosa:
"Apa yang membawa kamu ke neraka?"
Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasuk
orang-orang yang sholat,
Dan tidak pula kami pernah
memberi makan orang-orang melarat
Lagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlena
Dan kami dustakan adanya hari pembalasan
Sampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." ( QS al-Muddatstsir/74 :38-47).
Maka, kata Cak Nur, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masuk neraka" ialah karena mereka tidak pernah sholat yang menanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidup ini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawab sosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikan tanggung jawab sosial itu.
Sebaliknya, mereka menempuh hidup egois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya, juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri.
Mereka pun lupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada hari pembalasan (akhirat).
Menurut Cak Nur, jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, sholat --selain menanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita-- ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruh warga masyarakat itu.
"Jika kita paham ini, maka kita pun paham mengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya sholat, sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keras kepada orang yang melakukan sholat hanya sebagai ritus yang kosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dan komitmen sosial yang meluas.
(mhy)