Hikmah Agama Menurut Nurcholish Madjid

Senin, 09 Januari 2023 - 14:49 WIB
loading...
Hikmah Agama Menurut Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur, mengatakan tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka.

Menurut dia, karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah" diterangkan ke dalam berbagai pengertian dan konsep, di antaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan segi kerahasiaan hikmah).

Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf (al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).



Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Taqlid dan Ijtihad, Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama" menjelaskan bahwa mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah.

Dalam QS al-Baqarah 2: 269 diterangkan, "Dia (Tuhan) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak."

Cak Nur menjelaskan jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah "muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama, yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.



Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf Ali atas makna muhkam itu:

... The Commentators usually understand the verses "of established meaning" (muhkam) to refer to the categorical orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider: "the mother of the Book" must include the very foundation on which all Law rests, the essence of God's Message, as distinguished from the various illustrative parables, allegories, and ordinances.

If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, we shall find that in a sense the whole of the Qur'an has both "established meaning" and allegorical meaning. The division is not between the verses, but between the meanings to be attached to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is something immediately applicable, and something eternal and independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in Plato's Philosophy. The wise man will understand that there is an "essence" and an illustrative clothing given to the essence, throught the Book. We must try to understand it as best we can, but not waste our energies in disputing about matters beyond our depth.



Cak Nur menjelaskan sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.

"Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation)," ujar Cak Nur.

Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya.

Namun kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep fitrah.

Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami, termasuk dalam urusan nikah.

Maka, kata Cak Nur, kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka."



Menurutnya, ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka. Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama mempraktikan pengangkatan anak atau apa yang disebut tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut masalah kawin dan waris.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2880 seconds (0.1#10.140)