Kisah Reformer Inggris Husain Rofe Memeluk Islam Setelah Mempelajari Banyak Agama
loading...
A
A
A
Husain Rofe adalah warga Inggris . Ia tumbuh di bawah pengaruh tradisi gereja Inggris. Padahal orangtuanya, campuran. Sang ayah, Yahudi dan ibunya Katolik . Ia selama beberapa tahun mengikuti sembahyang di gereja sebagai salah satu kewajiban harian. Belakangan ini ia mulai membandingkan antara kepercayaan dan peribadatan Yahudi dan Kristen.
"Bakat pembawaan saya sendiri menolak kepercayaan inkarnasi Tuhan dan bahwa Tuhan menutupi dosa manusia. Akal saya juga tidak mampu menerima kenyataan banyaknya Injil dan keterangan-keterangannya atau tafsirnya, atau kepercayaan yang tidak berdasarkan logika, seperti tradisi-tradisi yang dijalankan dalam gereja Inggris," tuturnya.
Menurutnya, dalam agama Yahudi ia menemukan gambaran tentang Allah itu lebih terhormat, walaupun penggambaran ini berbeda-beda pada masing-masing Bible.
"Ada kepercayaan Yahudi yang masih terpelihara kesuciannya, sehingga saya dapat belajar banyak dari padanya, tapi juga banyak yang saya tolak," tuturnya.
"Kalau kita laksanakan semua ajaran dan tuntutannya, kita akan kehabisan waktu sama sekali atau hanya tinggal waktu sedikit saja untuk mengurus soal-soal duniawi, karena dalam agama Yahudi ada upacara-upacara peribadatan yang tidak habis-habisnya merepotkan energi kita," lanjutnya.
Menurutnya pula, bisa jadi yang terburuk dalam agama Yahudi ialah bahwa dakwahnya itu hanya ditujukan kepada segolongan minoritas tertentu, dan karenanya agama Yahudi itu menimbulkan jurang pemisah antara bermacam-macam tingkat sosial dalam masyarakat.
Dalam pada itu ia juga suka menyaksikan sembahyang Kristen di gereja Inggris, sebagaimana juga ia suka menghadiri sembahyang di gereja Yahudi. "Saya turut kedua-duanya," ujarnya.
Akan tetapi kenyataannya, dirinya tidak memegang atau mempercayai salah satu agama yang dua itu. "Dalam agama Katolik Roma saya lihat banyak hal-hal yang tidak jelas bisa dimengerti dan tunduk kepada kekuasaan manusia. Agama Katolik Roma menganggap rendah kemanusiaan, sebaliknya Paus dan para pendetanya dianggap suci, bahkan hampir disamakan dengan Tuhan," jelasnya.
Berikut ini penuturan Husain Rofe selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Bachtiar Affandie berjudul "Mengapa Kami Memilih Islam" oleh Rabithah Alam Islamy Mekkah (PT Alma'arif, 1981).
Pada waktu orang bermaksud akan berpindah dari agamanya yang dianutnya karena pengaruh lingkungan kelahirannya, biasanya yang mendorongnya itu dasar-dasar emosional, filsafat atau kemasyarakatan.
Bakat pembawaan saya sendiri telah menuntut suatu keimanan yang dapat memenuhi tuntutan filsafat dan sosial. Bagi saya hal itu hanya bisa dipenuhi dengan keputusan untuk menguji kebenaran semua agama penting di dunia melalui buku-bukunya, dakwahnya dan pengaruhnya.
Saya mempelajari filsafat Hindu, terutama ajaran-ajarannya pada Upanishads and Vedanta. Di sini juga saya menemukan banyak hal yang mengagumkan saya, tapi juga banyak yang tidak bisa diterima oleh akal saya.
Dalam filsafat Hindu saya tidak menemukan cara pemecahan beberapa macam penyakit masyarakat, dan di dalamnya tidak terhitung banyaknya macam-macam keistimewaan (privileges) untuk para pendeta. Di samping tidak adanya uluran tangan untuk mengasihi orang-orang miskin terlantar, seakan-akan nasibnya itu karena kesalahannya sendiri. Dan jika dia mau memikul penderitaan hidup dengan sabar, maka rupanya kehidupan sesudah mati malah lebih baik.
Agama Hindu hanyalah satu cara untuk menundukkan dan menguasai orang banyak. Agama itu bagi mereka hanya untuk menegakkan kekuasaan kependetaan yang memegang kendali segala kekuasaan, sedang perhubungannya dengan Tuhan hanya proforma, seolah-olah kehendak-Nya itu minta supaya segala sesuatu tetap sebagaimana adanya.
Buddisme mengajarkan kepada saya banyak mengenai akal dan ketentuan-ketentuannya. Buddisme menunjukkan kepada saya suatu cara untuk mengusahakan adanya saling pengertian di antara bangsa-bangsa, seakan-akan sama mudahnya dengan percobaan-percobaan kimiawi, asal setiap orang mau memberikan pengorbanan yang diperlukan, mungkin berupa reaksi terhadap penyusunan kasta-kasta.
Akan tetapi dalam Buddisme saya tidak menemukan pelajaran-pelajaran tentang akhlak. Dalam hal ini Buddisme sama dengan Hindu. Di dalamnya saya hanya menemukan ajaran bagamana caranya supaya manusia bisa sampai ke tingkat manusia-super-kuat atau apa yang dikira demikian oleh orang banyak.
Akan tetapi bagi saya jelas bahwa kekuatan yang dimaksud itu bukan merupakan bukti tingginya jiwa seperti yang mereka kira. Kekuatan semacam itu hanya mampu meningkatkan ilmu, mencapai prestasi olahraga, menguasai emosi dan menyederhanakan banyak kesenangan dan syahwat, seperti yang diajarkan oleh ajaran Stoics.
"Bakat pembawaan saya sendiri menolak kepercayaan inkarnasi Tuhan dan bahwa Tuhan menutupi dosa manusia. Akal saya juga tidak mampu menerima kenyataan banyaknya Injil dan keterangan-keterangannya atau tafsirnya, atau kepercayaan yang tidak berdasarkan logika, seperti tradisi-tradisi yang dijalankan dalam gereja Inggris," tuturnya.
Menurutnya, dalam agama Yahudi ia menemukan gambaran tentang Allah itu lebih terhormat, walaupun penggambaran ini berbeda-beda pada masing-masing Bible.
"Ada kepercayaan Yahudi yang masih terpelihara kesuciannya, sehingga saya dapat belajar banyak dari padanya, tapi juga banyak yang saya tolak," tuturnya.
"Kalau kita laksanakan semua ajaran dan tuntutannya, kita akan kehabisan waktu sama sekali atau hanya tinggal waktu sedikit saja untuk mengurus soal-soal duniawi, karena dalam agama Yahudi ada upacara-upacara peribadatan yang tidak habis-habisnya merepotkan energi kita," lanjutnya.
Menurutnya pula, bisa jadi yang terburuk dalam agama Yahudi ialah bahwa dakwahnya itu hanya ditujukan kepada segolongan minoritas tertentu, dan karenanya agama Yahudi itu menimbulkan jurang pemisah antara bermacam-macam tingkat sosial dalam masyarakat.
Dalam pada itu ia juga suka menyaksikan sembahyang Kristen di gereja Inggris, sebagaimana juga ia suka menghadiri sembahyang di gereja Yahudi. "Saya turut kedua-duanya," ujarnya.
Akan tetapi kenyataannya, dirinya tidak memegang atau mempercayai salah satu agama yang dua itu. "Dalam agama Katolik Roma saya lihat banyak hal-hal yang tidak jelas bisa dimengerti dan tunduk kepada kekuasaan manusia. Agama Katolik Roma menganggap rendah kemanusiaan, sebaliknya Paus dan para pendetanya dianggap suci, bahkan hampir disamakan dengan Tuhan," jelasnya.
Berikut ini penuturan Husain Rofe selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Bachtiar Affandie berjudul "Mengapa Kami Memilih Islam" oleh Rabithah Alam Islamy Mekkah (PT Alma'arif, 1981).
Pada waktu orang bermaksud akan berpindah dari agamanya yang dianutnya karena pengaruh lingkungan kelahirannya, biasanya yang mendorongnya itu dasar-dasar emosional, filsafat atau kemasyarakatan.
Bakat pembawaan saya sendiri telah menuntut suatu keimanan yang dapat memenuhi tuntutan filsafat dan sosial. Bagi saya hal itu hanya bisa dipenuhi dengan keputusan untuk menguji kebenaran semua agama penting di dunia melalui buku-bukunya, dakwahnya dan pengaruhnya.
Saya mempelajari filsafat Hindu, terutama ajaran-ajarannya pada Upanishads and Vedanta. Di sini juga saya menemukan banyak hal yang mengagumkan saya, tapi juga banyak yang tidak bisa diterima oleh akal saya.
Dalam filsafat Hindu saya tidak menemukan cara pemecahan beberapa macam penyakit masyarakat, dan di dalamnya tidak terhitung banyaknya macam-macam keistimewaan (privileges) untuk para pendeta. Di samping tidak adanya uluran tangan untuk mengasihi orang-orang miskin terlantar, seakan-akan nasibnya itu karena kesalahannya sendiri. Dan jika dia mau memikul penderitaan hidup dengan sabar, maka rupanya kehidupan sesudah mati malah lebih baik.
Agama Hindu hanyalah satu cara untuk menundukkan dan menguasai orang banyak. Agama itu bagi mereka hanya untuk menegakkan kekuasaan kependetaan yang memegang kendali segala kekuasaan, sedang perhubungannya dengan Tuhan hanya proforma, seolah-olah kehendak-Nya itu minta supaya segala sesuatu tetap sebagaimana adanya.
Buddisme mengajarkan kepada saya banyak mengenai akal dan ketentuan-ketentuannya. Buddisme menunjukkan kepada saya suatu cara untuk mengusahakan adanya saling pengertian di antara bangsa-bangsa, seakan-akan sama mudahnya dengan percobaan-percobaan kimiawi, asal setiap orang mau memberikan pengorbanan yang diperlukan, mungkin berupa reaksi terhadap penyusunan kasta-kasta.
Akan tetapi dalam Buddisme saya tidak menemukan pelajaran-pelajaran tentang akhlak. Dalam hal ini Buddisme sama dengan Hindu. Di dalamnya saya hanya menemukan ajaran bagamana caranya supaya manusia bisa sampai ke tingkat manusia-super-kuat atau apa yang dikira demikian oleh orang banyak.
Akan tetapi bagi saya jelas bahwa kekuatan yang dimaksud itu bukan merupakan bukti tingginya jiwa seperti yang mereka kira. Kekuatan semacam itu hanya mampu meningkatkan ilmu, mencapai prestasi olahraga, menguasai emosi dan menyederhanakan banyak kesenangan dan syahwat, seperti yang diajarkan oleh ajaran Stoics.