Apa Hukum Bersalaman Selesai Salat?

Kamis, 31 Mei 2018 - 16:37 WIB
Apa Hukum Bersalaman Selesai Salat?
Apa Hukum Bersalaman Selesai Salat?
A A A
Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai salat?

Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi).

Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).

Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa bersalaman di antara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan hadis-hadis shahih dan hasan. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata: “Saya masuk ke dalam masjid. Rasulullah SAW duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami saya dan mengucapkan tahni’ah kepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim). (Baca Juga: Apakah Salat Witir Bisa Diqadha?)

Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para sahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR Al-Bukhari dan Ibnu Hibban). Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).

Adapun bersalaman setelah selesai salat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya. Bersalaman selesai salat itu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami saudaranya sebelum salat, maka salaman-nya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum salat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469-470).

Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun setelah salat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ah yang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).

Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan pendapat ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).

Mereka berpendapat bahwa bersalaman setelah salat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata: “Rasulullah SAW pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan salat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah SAW dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah SAW dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum daripada kasturi”. (HR Al-Bukhari).

Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah salat dalam berjamaah, terlebih lagi pada salat Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang saleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”. (Baca Juga: Puasa Tetapi Tidak Salat? Ini Penjelasan Para Ulama)

Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah mubahah itu memiliki beberapa contoh, di antaranya adalah bersalaman setelah salat Shubuh dan salat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).

Imam an-Nawawi berkata, “Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah salat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami orang lain yang telah ada bersamanya sebelum salat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum salat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnah berdasarkan hadis-hadis shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469-470).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah salat itu ada dua kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak berjalan di atas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam. (Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah)

(Dikutip dari Buku “30 Fatwa Seputar Ramadhan” yang disusun Ustaz Abdul Somad. Ustaz Abdul Somad memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang mereka terapkan dalam fatwanya)
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4014 seconds (0.1#10.140)