Santri Google (Bagian 1)
A
A
A
Prof Dr Jazi Eko Istiyanto
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
Guru Besar Elektronika dan Instrumentasi UGM
Dulu, istilah “Santri Google” memiliki konotasi negatif, menunjuk kepada seseorang yang mempelajari agama (Islam) hanya dari bahan-bahan yang dia cari menggunakan mesin pencari, di antaranya adalah Google.
Google telah menjadi kata yang identik dengan pencarian informasi (searching) melalui Internet. Tetapi, apakah sedemikian buruk pemahaman Islam seseorang yang mengandalkan Google sebagai sumber informasi? Bukankah ilmu komputer/informatika dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pemahaman Islam seseorang? Bukankah saat ini, indeks Alquran yang berisi daftar kata kunci dan ayat Alquran yang terkait dengannya dapat digantikan dengan mesin pencari?
Ketika saya belajar Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta awal tahun 1980-an, indeks Alquran serasa menjadi pustaka wajib, mempermudah pembacanya untuk mengakses Alquran secara acak (random). Pustaka lain yang menjadi pegangan adalah buku Tema Pokok Alquran karya Fazlur Rahman, atau buku Islam Ekstrim dan buku Fikih Ikhtilaf karya Yusuf Qaradhawi.
Kajian-kajian rutin Ramadan, maupun Ahad pagi di Gelanggang Mahasiswa UGM menjadi menu utama, selain khutbah Jumat. Jamaah Shalahuddin memanfaatkan lapangan basket Gelanggang Mahasiswa untuk berbagai kajian, dan salat Tarawih, serta Jumat. Saya bukan pengurus Jamaah Shalahuddin, hanya penggembira saja. Saya juga bukan santri, tidak pernah belajar di pesantren. Tahun 1986 saya berangkat ke Inggris (UK) untuk belajar Ilmu Komputer dan Teknik Sistem Elektronika. Di kampus tidak ada masjid, tetapi disediakan ruangan besar yang mereka sebut Multi-Faith Chaplaincy. Berbagai agama berbagi guna ruangan itu.
Tentu saja, muslim memanfaatkan ruang itu paling sering, tidak hanya untuk salat Jumat, tetapi juga salat lima waktu, serta pengajian dalam bahasa Inggris, maupun bahasa Arab. Kegiatan ini dikelola oleh organisasi mahasiswa yang legal dan diakui Universitas, yaitu Islamic Society (saya pernah menjadi President, atau dalam bahasa Indonesia Ketua Takmir).Buku-buku Fazlur Rahman, maupun Qaradhawi tidak populer, bahkan versi bahasa Inggrisnya tidak ada, atau “sengaja dibuang” dari rak buku perpustakaan Islamic Society. Fazlur Rahman dipandang kurang baik bagi sebagian orang, dan Yusuf Qaradhawi dipandang keliru dalam beberapa pendapatnya di bukunya, Halal dan Haram dalam Islam.
Padahal buku Tema Pokok Alquran memberikan wawasan yang komprehensif tentang Alquran, dan buku Islam Ekstrim serta Fikih Ikhtilaf mengajak pembaca untuk menenggang perbedaan, untuk bertoleransi dalam perbedaan-perbedaan internal kaum muslimin terkait fikih. Kalau antarmuslim saja, kita tidak bisa akur, bagaimana kita akan akur dengan pengguna lain agama Multi-Faith Chaplaincy?
Saya menjadi cukup akrab dengan para pendeta pengguna Multi-Faith Chaplaincy, dan bahkan ada yang memberi saya Bible, King James Version, yang masih saya simpan hingga sekarang. Sebagian orang akan menuduh saya kurang taat kepada Alquran, karena membaca Bible. Tetapi, kalau kita baca (7:157) Nabi Muhammad dideskripsikan sebagai Nabi yang tertulis namanya di Taurat dan Injil. Dan, benar, ada di (Isaiah:42).
Muhammad al-Ghazali, ulama Mesir menulis buku Kaifa Nata'amal Ma'a Alquran (How do we approach the Qur'an). Di salah satu halaman, beliau menjelaskan tentang ayat (55:39) “Hari ketika manusia dan jinn tidak ditanya tentang dosanya”, yang seolah bertentangan dengan (37:24) “Mereka dihentikan dan ditanya pertanggungjawabannya”. Beliau menjelaskan tanpa merujuk ayat lain.
Tetapi, santri Google akan dengan mudah memperoleh ayat-ayat lain yang terkait dengan mengetikkan “Quran they will not be questioned” di Google. Syaikh al-Ghazali, hafal Alquran. Mana ada santri Google yang hafal Alquran? Ketika menulis Kaifa Nata'amal Ma'a al-Qur'an, mesin pencari belum seperti saat ini, bahkan Internet juga belum ada, kecuali masih terbatas di Universitas dan Lembaga Penelitian di negara maju. Beliau mungkin masih mengandalkan indeks Alquran, yang disusun secara manual, sehingga belum sekomprehensif mesin pencari.
Tentu saja bukan kesalahan beliau bila beliau tidak merujuk ke (28:78): “Para pendosa tidak ditanya tentang dosa-dosanya”, atau (55:41): “Para pendosa akan dikenali dari tanda-tandanya.....”. Kita sudah mulai memasuki zaman Industrie 4.0. Tentu, mekanisme identifikasi, verifikasi, validasi oleh Allah, jauh lebih canggih dari pada Internet of Things, ataupun Cyber-Physical Systems.
Keberatan kita atas Santri Google barangkali karena sikap kritis dalam memproses informasi belum meluas. Ada, tentu saja, sebagian anak muda yang menunjukkan sikap kritis. Sikap kritis itu, bagi Nabi Ibrahim diistilahkan oleh Alquran sebagai hanif (dari kata hanafa, yang berarti condong kepada sesuatu, yakni kebenaran). Bahkan Nabi Muhammad diperintah untuk mengikuti Nabi Ibrahim (4:125).
Ibrahim mempertanyakan banyak hal, tidak hanya berhala yang disembah kaumnya (19:42), tetapi juga bertanya kepada Allah SWT, bagaimana Dia menghidupkan orang mati (2:260).
Pendidikan yang menitikberatkan padarote learning (hafalan), dan melupakan critical thinking, dan reasoning dikhawatirkan menghasilkan manusia yang langsung menelan apapun yang dia baca atau dengar, tanpa melakukan filtering, tanpa melakukan verifikasi, tanpa melakukan validasi, tanpa melakukan tabayun (49:6). Untuk mampu melakukanfiltering, manusia harus banyak membaca dan berpikir, bukan hanya membaca buku, tetapi juga membaca alam.
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
Guru Besar Elektronika dan Instrumentasi UGM
Dulu, istilah “Santri Google” memiliki konotasi negatif, menunjuk kepada seseorang yang mempelajari agama (Islam) hanya dari bahan-bahan yang dia cari menggunakan mesin pencari, di antaranya adalah Google.
Google telah menjadi kata yang identik dengan pencarian informasi (searching) melalui Internet. Tetapi, apakah sedemikian buruk pemahaman Islam seseorang yang mengandalkan Google sebagai sumber informasi? Bukankah ilmu komputer/informatika dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pemahaman Islam seseorang? Bukankah saat ini, indeks Alquran yang berisi daftar kata kunci dan ayat Alquran yang terkait dengannya dapat digantikan dengan mesin pencari?
Ketika saya belajar Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta awal tahun 1980-an, indeks Alquran serasa menjadi pustaka wajib, mempermudah pembacanya untuk mengakses Alquran secara acak (random). Pustaka lain yang menjadi pegangan adalah buku Tema Pokok Alquran karya Fazlur Rahman, atau buku Islam Ekstrim dan buku Fikih Ikhtilaf karya Yusuf Qaradhawi.
Kajian-kajian rutin Ramadan, maupun Ahad pagi di Gelanggang Mahasiswa UGM menjadi menu utama, selain khutbah Jumat. Jamaah Shalahuddin memanfaatkan lapangan basket Gelanggang Mahasiswa untuk berbagai kajian, dan salat Tarawih, serta Jumat. Saya bukan pengurus Jamaah Shalahuddin, hanya penggembira saja. Saya juga bukan santri, tidak pernah belajar di pesantren. Tahun 1986 saya berangkat ke Inggris (UK) untuk belajar Ilmu Komputer dan Teknik Sistem Elektronika. Di kampus tidak ada masjid, tetapi disediakan ruangan besar yang mereka sebut Multi-Faith Chaplaincy. Berbagai agama berbagi guna ruangan itu.
Tentu saja, muslim memanfaatkan ruang itu paling sering, tidak hanya untuk salat Jumat, tetapi juga salat lima waktu, serta pengajian dalam bahasa Inggris, maupun bahasa Arab. Kegiatan ini dikelola oleh organisasi mahasiswa yang legal dan diakui Universitas, yaitu Islamic Society (saya pernah menjadi President, atau dalam bahasa Indonesia Ketua Takmir).Buku-buku Fazlur Rahman, maupun Qaradhawi tidak populer, bahkan versi bahasa Inggrisnya tidak ada, atau “sengaja dibuang” dari rak buku perpustakaan Islamic Society. Fazlur Rahman dipandang kurang baik bagi sebagian orang, dan Yusuf Qaradhawi dipandang keliru dalam beberapa pendapatnya di bukunya, Halal dan Haram dalam Islam.
Padahal buku Tema Pokok Alquran memberikan wawasan yang komprehensif tentang Alquran, dan buku Islam Ekstrim serta Fikih Ikhtilaf mengajak pembaca untuk menenggang perbedaan, untuk bertoleransi dalam perbedaan-perbedaan internal kaum muslimin terkait fikih. Kalau antarmuslim saja, kita tidak bisa akur, bagaimana kita akan akur dengan pengguna lain agama Multi-Faith Chaplaincy?
Saya menjadi cukup akrab dengan para pendeta pengguna Multi-Faith Chaplaincy, dan bahkan ada yang memberi saya Bible, King James Version, yang masih saya simpan hingga sekarang. Sebagian orang akan menuduh saya kurang taat kepada Alquran, karena membaca Bible. Tetapi, kalau kita baca (7:157) Nabi Muhammad dideskripsikan sebagai Nabi yang tertulis namanya di Taurat dan Injil. Dan, benar, ada di (Isaiah:42).
Muhammad al-Ghazali, ulama Mesir menulis buku Kaifa Nata'amal Ma'a Alquran (How do we approach the Qur'an). Di salah satu halaman, beliau menjelaskan tentang ayat (55:39) “Hari ketika manusia dan jinn tidak ditanya tentang dosanya”, yang seolah bertentangan dengan (37:24) “Mereka dihentikan dan ditanya pertanggungjawabannya”. Beliau menjelaskan tanpa merujuk ayat lain.
Tetapi, santri Google akan dengan mudah memperoleh ayat-ayat lain yang terkait dengan mengetikkan “Quran they will not be questioned” di Google. Syaikh al-Ghazali, hafal Alquran. Mana ada santri Google yang hafal Alquran? Ketika menulis Kaifa Nata'amal Ma'a al-Qur'an, mesin pencari belum seperti saat ini, bahkan Internet juga belum ada, kecuali masih terbatas di Universitas dan Lembaga Penelitian di negara maju. Beliau mungkin masih mengandalkan indeks Alquran, yang disusun secara manual, sehingga belum sekomprehensif mesin pencari.
Tentu saja bukan kesalahan beliau bila beliau tidak merujuk ke (28:78): “Para pendosa tidak ditanya tentang dosa-dosanya”, atau (55:41): “Para pendosa akan dikenali dari tanda-tandanya.....”. Kita sudah mulai memasuki zaman Industrie 4.0. Tentu, mekanisme identifikasi, verifikasi, validasi oleh Allah, jauh lebih canggih dari pada Internet of Things, ataupun Cyber-Physical Systems.
Keberatan kita atas Santri Google barangkali karena sikap kritis dalam memproses informasi belum meluas. Ada, tentu saja, sebagian anak muda yang menunjukkan sikap kritis. Sikap kritis itu, bagi Nabi Ibrahim diistilahkan oleh Alquran sebagai hanif (dari kata hanafa, yang berarti condong kepada sesuatu, yakni kebenaran). Bahkan Nabi Muhammad diperintah untuk mengikuti Nabi Ibrahim (4:125).
Ibrahim mempertanyakan banyak hal, tidak hanya berhala yang disembah kaumnya (19:42), tetapi juga bertanya kepada Allah SWT, bagaimana Dia menghidupkan orang mati (2:260).
Pendidikan yang menitikberatkan padarote learning (hafalan), dan melupakan critical thinking, dan reasoning dikhawatirkan menghasilkan manusia yang langsung menelan apapun yang dia baca atau dengar, tanpa melakukan filtering, tanpa melakukan verifikasi, tanpa melakukan validasi, tanpa melakukan tabayun (49:6). Untuk mampu melakukanfiltering, manusia harus banyak membaca dan berpikir, bukan hanya membaca buku, tetapi juga membaca alam.
(rhs)