Selain Menimba Ilmu Agama, Santri Belajar Makna Hidup, dan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Sabtu, 02 Mei 2020 - 10:35 WIB
loading...
Selain Menimba Ilmu...
Pintu gerbang Pondok Pesantren Annur 3 Murah Banyu, Kecamatan Bululawang , Kabupaten Malang,Jawa Timur. Suasana di pesantren ini masih sangat asri dengan banyaknya pohon rindang danbangunan bernuasa tradisional Jawa. Foto/Koran SINDO/Yuswantoro
A A A
Cemburu pada samudera yang menampung segala...

Cemburu pada sang ombak, yang selalu bergerak...

SEPENGGAL lagu yang dilantunkan Iwan Fals ini mengisyaratkan makna air dalam perjalanan hidup manusia. Lagu ini menghadirkan makna mendalam tentang manusia yang harus belajar pada air samudra.

Semangat dan filosofi belajar pada air yang menghidupi, juga hadir di Pondok Pesantren (Ponpes) Annur 3 Murah Banyu.

Pesantren ini terletak di wilayah Kecamatan Bukulawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejak berdiri pada 1984 silam, KH Achmad Qusyairi Anwar, sang pendiri pesantren, telah menyematkan kata "Murah Banyu", yang artinya dalam bahasa Indonesia " Murah Air".

"Air selalu penting dalam kehidupan manusia, karena air selalu menghidupi kehidupan," ujar Muhammad Umar Faruq, putra pertama KH Achmad Qusyairi Anwar, yang kini turut membantu mengelola pesantren tersebut.

Pria ramah yang akrab disapa Gus Umar tersebut mengungkapkan, ayahnya sengaja menyematkan nama Murah Banyu, namun hingga kini tidak banyak yang mengungkapkan makna di balik penyematan nama tersebut.

"Karena ayah saya tidak banyak menyampaikan alasannya, makanya banyak yang menafsirkan nama Murah Banyu tersebut. Dan semua penafsiran-penafsiran tersebut, dinilai oleh ayah saya baik," ujar anak pertama dari 10 bersaudara ini.

Ada yang menafsirkan, Murah Banyu itu terkait dengan sejarah pesantren yang awalnya memang sulit air. Saat itu para satri putri harus mengambil air untuk kehidupan sehari-hari di Sungai Manten, yang letaknya jauh di belakang pesantren.

Tidak ingin para santri putrinya kesulitan, akhirnya sang kiai berinisiatif membuat sumur bor. Hasilnya bisa dinikmati sampai sekarang, di mana pesantren ini kini memiliki kelimpahan air dari sumur bor tersebut.

Gus Umar menyebut ada juga yang memaknai Murah Banyu sebagai air suci yang menyucikan. Kehadiran pesantren dinilai sebagai salah satu upaya menyucikan perjalanan manusia lewat pendalaman ilmu keislamannya.

"Ada juga yang memaknainya sebagai samudra. Murah Banyu, artinya pesantren ini layaknya samudra. Siapa pun yang memasukinya menjadi netral. Samudra juga sangat luas dan kaya, sehingga apa pun sumber kehidupan ada di sana," tuturnya.

Apa pun paham dan warna yang masuk ke pesantren, layaknya masuk ke dalam lautan luas, semuanya menjadi netral karena nilai-nilai air yang netral.

Pesantren memiliki dasar nilai-nilai kebaikan yang kuat, sehingga ketika ada nilai-nilai baru yang masuk ke pesantren menjadi netral dan tidak menggoyahkan nilai-nilai kebaikan yang sudah tertanam di dalam pesantren.

Samudra juga memiliki kekayaan luar biasa untuk kehidupan. Demikian juga dengan pesantren yang memiliki banyak kekayaan ilmu kehidupan, tentunya bisa menjadi sumber kehidupan bagi manusia.

Layaknya samudra, KH Achmad Qusyairi Anwar yang sejak beberapa tahun terakhir harus terbaring karena sakit stroke, disebut Gus Umar memang memiliki cara berbeda dalam menjalankan kepemimpinan di pesantren tersebut. Dia tanpa canggung berteman dengan semua kalangan, tanpa memandang status sosial dan perilakunya.

"Ayah saya temannya sangat banyak dan bermacam-macam orangnya. Beliau tidak pernah memilih ataupun memberikan penilaian terhadap temannya. Meskipun temannya ini ada yang buruk perilakunya, ayah saya tetap diam dan menjadikannya sebagai sahabat," ungkap Gus Umar.

Gus Umar sempat mengungkap, sang ayah selalu berpikir positif tentang teman-temannya tersebut. Menurut ayahnya, tidak masalah teman-temannya itu berperilaku buruk, namun masih mau datang ke pesantren. Artinya, mereka juga baik karena sudah datang ke pesantren.

Sifat sang kiai dalam membangun pertemanan ini memengaruhi kehidupan di dalam pesantren. Pesantren dinilai seperti samudra yang mampu menampung segala rupa manusia, dan belajar tentang kehidupan yang bergerak seperti gelombang.

Pesantren yang awalnya khusus mengasuh santri putri itu, akhirnya berkembang untuk mendidik anak-anak duafa. Seiring perkembangan zaman, pesantren yang kini dihuni sekitar 1.000 santri itu, sejak 2011 juga mengasuh santri putra. Santrinya datang dari berbagai wilayah di Indonesia, termasuk dari Malaysia.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1333 seconds (0.1#10.140)