Lebih Afdhal Mana Mengeluarkan Zakat Fitrah, Beras atau Uang?
A
A
A
Ustaz Dr Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran Kebahasaan Alumni Jami’ah Dual Arabiyah Mesir
Seiring kemajuan zaman dan kemudahan teknologi saat ini mengharuskan para ulama mujtahid kontemporer melihat lebih banyak lagi hukum syariat yang relevan dengan persoalan kekinian, Sehingga memudahkan terlaksana syariat itu di kalangan umat Islam dan harus dicarikan solusinya dengan pandangan ijtihad-ijtihad terbaru. Salah satunya, persoalan zakat fitrah.
Pertanyaan yang sering muncul “Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah diganti dengan uang, bagaimana hukumnya?” dan “Mana yang lebih afdhal?”
Pandangan Imam 4 Mazhab Tentang Kebolehan Membayar Zakat Fitrah dengan Uang
Melihat persoalan ini, penulis melihat munculnya perbedaan pandangan di kalangan ulama klasik (paling tidak) disebabkan perbedaan sudut pandang memahami dalil antara aspek tekstual dan kontekstual. Kalangan mayoritas Mazhab Maliki, Syafie dan Hanbali melandaskan dalil mereka dari tekstual hadis yang diriwiyatkan oleh Ibnu ‘Umar yang mengatakan: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum.” (Shahih Bukhari, No.1503 dan Shahih Muslim, No.984).
Dari hadis di atas, para ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa tidak sah hukumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan. Imam Malik menyatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitrah dengan mata uang apa pun, bukan begitu yang diperintahkan Nabi.” (lihat Kitab Mudawwanah Syahnun).Imam Syafie, “Menunaikan zakat fitah wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (lihat kitab ad-Din al-Khash). Imam Ahmad, “Siapa saja yang melakukan zakat fitrah memakai mata uang, maka zakatnya tidak sah.” (dinukil dari kitab al-Mughni).
Kalangan mazhab Syafiyyah, semisal Imam Nawawi dan as-Syaukani memperbolehkan zakat fitrah dengan uang, tapi dengan syarat kondisi darurat, seperti sulitnya memperoleh makanan pokok. Artinya, selama ada makanan pokok, tidak sah mengeluarkan zakat dengan senilai mata uang.
Sedangkan kalangan ulama Mazhab Hanafi memperbolehkan zakat fitrah diganti dengan uang. Mereka melandaskan dalil secara kontekstual hadits atau maqâshid syariah-nya. Para ulama madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya Idul Fitri, sebagaimana dijelaskan pada satu hadis: "Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, No. 67)
Menurut pandangan mereka, mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhal, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.
Bagaimana Solusinya dan Mana yang Lebih Afdhal?
Dengan kecanggihan zaman teknologi saat ini, memungkinkan seseorang bisa saja bertransaksi zakat secara online, ulama kontemporer semisal Syekh Yusuf al-Qardhawi memilih berijtihad. Berdasarkan fatwa-fatwa kontemporer, Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan zakat dibayar dengan harganya (tunai). Syekh Qaradhawi menyebut pendapat ini juga dikeluarkan oleh Abu Hanifah, Hasan al-Bashri, Sufyan at-Tsauri dan Umar bin Abdul Azis.
Menurut Syekh Qaradhawi, Nabi SAW memfardhukan zakat fitrah dengan makanan yang banyak terdapat di lingkungan dan masanya ketika itu dengan tujuan memudahkan mereka. Saat itu uang perak atau emas menjadi barang yang sangat berharga, sehingga sangat sedikit orang yang memilikinya. Setiap orang saat itu lebih mudah mengeluarkan makanan dibanding yang lain. Jadi faktor kemudahan itu menjadi ukuran barometernya. Prinsip beragama itu adalah kemudahan.
Jadi mana yang lebih afdhal menurut konteks kekinian? Jika berdasarkan mayoritas ulama klasik, maka afdhalnya tetap ditekankan berzakat fitrah dengan beras, karena berzakat uang tidak ada pembeda dengan zakat maal/harta yang sudah ada kewajiban dan ketentuannya.
Jika pun seseorang tidak memiliki beras, maka solusinya dia bisa membeli beras di tempat ‘amil zakat. Dan pengelola ‘amil zakat ada baiknya menyediakan beras tersebut demi kemudahan orang berzakat. Namun, jika merujuk pada konteks fatwa ulama kontemporer, maka uang lebih afdhal secara konteks kekinian, karena uang juga salah satu faktor kebahagiaan orang-orang fakir miskin yang juga menjadi subtansi hadits nabi di atas. Wallahu A’lam!
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran Kebahasaan Alumni Jami’ah Dual Arabiyah Mesir
Seiring kemajuan zaman dan kemudahan teknologi saat ini mengharuskan para ulama mujtahid kontemporer melihat lebih banyak lagi hukum syariat yang relevan dengan persoalan kekinian, Sehingga memudahkan terlaksana syariat itu di kalangan umat Islam dan harus dicarikan solusinya dengan pandangan ijtihad-ijtihad terbaru. Salah satunya, persoalan zakat fitrah.
Pertanyaan yang sering muncul “Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah diganti dengan uang, bagaimana hukumnya?” dan “Mana yang lebih afdhal?”
Pandangan Imam 4 Mazhab Tentang Kebolehan Membayar Zakat Fitrah dengan Uang
Melihat persoalan ini, penulis melihat munculnya perbedaan pandangan di kalangan ulama klasik (paling tidak) disebabkan perbedaan sudut pandang memahami dalil antara aspek tekstual dan kontekstual. Kalangan mayoritas Mazhab Maliki, Syafie dan Hanbali melandaskan dalil mereka dari tekstual hadis yang diriwiyatkan oleh Ibnu ‘Umar yang mengatakan: "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum.” (Shahih Bukhari, No.1503 dan Shahih Muslim, No.984).
Dari hadis di atas, para ulama yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa tidak sah hukumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan. Imam Malik menyatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitrah dengan mata uang apa pun, bukan begitu yang diperintahkan Nabi.” (lihat Kitab Mudawwanah Syahnun).Imam Syafie, “Menunaikan zakat fitah wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (lihat kitab ad-Din al-Khash). Imam Ahmad, “Siapa saja yang melakukan zakat fitrah memakai mata uang, maka zakatnya tidak sah.” (dinukil dari kitab al-Mughni).
Kalangan mazhab Syafiyyah, semisal Imam Nawawi dan as-Syaukani memperbolehkan zakat fitrah dengan uang, tapi dengan syarat kondisi darurat, seperti sulitnya memperoleh makanan pokok. Artinya, selama ada makanan pokok, tidak sah mengeluarkan zakat dengan senilai mata uang.
Sedangkan kalangan ulama Mazhab Hanafi memperbolehkan zakat fitrah diganti dengan uang. Mereka melandaskan dalil secara kontekstual hadits atau maqâshid syariah-nya. Para ulama madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya Idul Fitri, sebagaimana dijelaskan pada satu hadis: "Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, No. 67)
Menurut pandangan mereka, mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhal, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.
Bagaimana Solusinya dan Mana yang Lebih Afdhal?
Dengan kecanggihan zaman teknologi saat ini, memungkinkan seseorang bisa saja bertransaksi zakat secara online, ulama kontemporer semisal Syekh Yusuf al-Qardhawi memilih berijtihad. Berdasarkan fatwa-fatwa kontemporer, Syekh Yusuf Qaradhawi membolehkan zakat dibayar dengan harganya (tunai). Syekh Qaradhawi menyebut pendapat ini juga dikeluarkan oleh Abu Hanifah, Hasan al-Bashri, Sufyan at-Tsauri dan Umar bin Abdul Azis.
Menurut Syekh Qaradhawi, Nabi SAW memfardhukan zakat fitrah dengan makanan yang banyak terdapat di lingkungan dan masanya ketika itu dengan tujuan memudahkan mereka. Saat itu uang perak atau emas menjadi barang yang sangat berharga, sehingga sangat sedikit orang yang memilikinya. Setiap orang saat itu lebih mudah mengeluarkan makanan dibanding yang lain. Jadi faktor kemudahan itu menjadi ukuran barometernya. Prinsip beragama itu adalah kemudahan.
Jadi mana yang lebih afdhal menurut konteks kekinian? Jika berdasarkan mayoritas ulama klasik, maka afdhalnya tetap ditekankan berzakat fitrah dengan beras, karena berzakat uang tidak ada pembeda dengan zakat maal/harta yang sudah ada kewajiban dan ketentuannya.
Jika pun seseorang tidak memiliki beras, maka solusinya dia bisa membeli beras di tempat ‘amil zakat. Dan pengelola ‘amil zakat ada baiknya menyediakan beras tersebut demi kemudahan orang berzakat. Namun, jika merujuk pada konteks fatwa ulama kontemporer, maka uang lebih afdhal secara konteks kekinian, karena uang juga salah satu faktor kebahagiaan orang-orang fakir miskin yang juga menjadi subtansi hadits nabi di atas. Wallahu A’lam!
(rhs)