Puncak Spritual Tertinggi itu Ridha kepada Allah
A
A
A
Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof DR KH Nasaruddin Umar MA menyampaikan tausiyah yang menggugah hati pada malam ke-27 i'tikaf Ramadhan, Sabtu dinihari (1/6/2019).
Pada malam pertama i'tikaf telah dibahas beberapa anak tangga untuk mencapai puncak spritual. Kemudian dibahas tentang hakikat taubat dan keutamaan bersyukur yang juga memiliki tingkatan. Setelah itu bagaimana menjadi orang yang ikhlas hingga menjadi seseorang yang mendapat predikat mukhlas. (Baca Juga: Nasaruddin Umar: Orang yang Mukhlas Tidak Bisa Digoda Iblis)
Tadi malam Prof Nasaruddin Umar menyampaikan nasihat tentang keutamaan ridha. Ridha kepada Allah merupakan anak tangga tertinggi untuk mencapai puncak spritual. "Jangan sampai Ramadhan berakhir kita tak dapat apa-apa kecuali bulan Ramadhan berlalu begitu saja," kata Nasaruddin Umar memberikan nasihatnya di hadapan ribuan jamaah i'tikaf di Masjid Istiqlal.
Ridha dalam bahasa Arab hampir sama maknanya dengan rela, namun keduanya tidak sama. Kombinasi antara cinta dan tawakkal inilah yang dikatakan ridha. Salah satu contoh yang disebut ridha adalah selalu berbaik sangka apapun yang datang dari Allah. Orang yang tidak pernah menggerutu ketika diuji dengan penderitaan atau penyakit juga disebut ridha.
Prof Nasaruddin menjelaskan, ridha adalah ketika seseorang tidak lagi membedakan antara kenikmatan dengan penderitaan. Ridha juga bisa diartikan apabila seseorang lulus ketika diuji dengan kemewahan dan kenikmatan, kebahagiaan.
"Orang yang memiliki tingkat ridha paling tinggi maka ia tidak akan perduli kenikmatan maupun penderitaan," paparnya.
Orang yang sudah sampai ke tingkat ridha, ia tidak akan pernah bertanya tentang kebijakan ataupun ketentuan Allah. Ada orang sudah mencapai ridha, tapi masih mengharapkan hikmah. Orang yang mencapai tingkat ridha, ia tidak akan membedakan antara kenikmatan dan penderitaan. Apapun yang datang menimpanya, ia menerimanya dengan hati yang ridha.
Lihatlah kisah Nabi Ayyub 'alaihissalam yang diuji dengan derita penyakit yang cukup lama sampai beliau dibuang dan dijauhi istrinya. Ternyata kesabaran, kepasrahan dan keridhaannya terhadap ujian penyakit itu membuatnya lulus ujian. Allah menyembuhkan penyakit Nabi Ayyub dan melepaskannya dari penderitan tersebut.
Apabila seseorang mencapai tingkat ma'rifat maka tidak akan mungkin merasakan kekecewaan dalam hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam Qur'an, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216)
Orang awam, apabila mendapat nikmat pasti bersyukur. Tapi bagi orang khawas (beramal semata-mata karena Allah), penderitaan maupun kenikmatan tetap disyukurinya. Suatu ketika tokoh sufi perempuan Rabiah Al 'Adawiyah pernah ditanya tentang Iblis, apakah engkau membenci Iblis. Kemudian Rabiah menjawab tanpa bertele tele. "Bagaimana bisa aku membenci siapapun termasuk Iblis sedangkan seluruh relung hatiku dipenuhi cinta kepada Allah".
Sepanjang hidupnya, Rabiah hanya sibuk mencintai Rabbnya. Ia hanya sibuk memadu kasih dengan Tuhan. Bahkan tak tahu bagaimana cara membenci setan, karena hatinya hanya dipenuhi cinta kepada Allah.
Demikian hakikat ridha kepada Allah. Semoga Lailatul Qadar menghampiri jamaah qiyamul Lail di Masjid Istiqlal yang dengan Lailatul Qadar itu bisa memberikan kebaikan dan mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
Pada malam pertama i'tikaf telah dibahas beberapa anak tangga untuk mencapai puncak spritual. Kemudian dibahas tentang hakikat taubat dan keutamaan bersyukur yang juga memiliki tingkatan. Setelah itu bagaimana menjadi orang yang ikhlas hingga menjadi seseorang yang mendapat predikat mukhlas. (Baca Juga: Nasaruddin Umar: Orang yang Mukhlas Tidak Bisa Digoda Iblis)
Tadi malam Prof Nasaruddin Umar menyampaikan nasihat tentang keutamaan ridha. Ridha kepada Allah merupakan anak tangga tertinggi untuk mencapai puncak spritual. "Jangan sampai Ramadhan berakhir kita tak dapat apa-apa kecuali bulan Ramadhan berlalu begitu saja," kata Nasaruddin Umar memberikan nasihatnya di hadapan ribuan jamaah i'tikaf di Masjid Istiqlal.
Ridha dalam bahasa Arab hampir sama maknanya dengan rela, namun keduanya tidak sama. Kombinasi antara cinta dan tawakkal inilah yang dikatakan ridha. Salah satu contoh yang disebut ridha adalah selalu berbaik sangka apapun yang datang dari Allah. Orang yang tidak pernah menggerutu ketika diuji dengan penderitaan atau penyakit juga disebut ridha.
Prof Nasaruddin menjelaskan, ridha adalah ketika seseorang tidak lagi membedakan antara kenikmatan dengan penderitaan. Ridha juga bisa diartikan apabila seseorang lulus ketika diuji dengan kemewahan dan kenikmatan, kebahagiaan.
"Orang yang memiliki tingkat ridha paling tinggi maka ia tidak akan perduli kenikmatan maupun penderitaan," paparnya.
Orang yang sudah sampai ke tingkat ridha, ia tidak akan pernah bertanya tentang kebijakan ataupun ketentuan Allah. Ada orang sudah mencapai ridha, tapi masih mengharapkan hikmah. Orang yang mencapai tingkat ridha, ia tidak akan membedakan antara kenikmatan dan penderitaan. Apapun yang datang menimpanya, ia menerimanya dengan hati yang ridha.
Lihatlah kisah Nabi Ayyub 'alaihissalam yang diuji dengan derita penyakit yang cukup lama sampai beliau dibuang dan dijauhi istrinya. Ternyata kesabaran, kepasrahan dan keridhaannya terhadap ujian penyakit itu membuatnya lulus ujian. Allah menyembuhkan penyakit Nabi Ayyub dan melepaskannya dari penderitan tersebut.
Apabila seseorang mencapai tingkat ma'rifat maka tidak akan mungkin merasakan kekecewaan dalam hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam Qur'an, "...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216)
Orang awam, apabila mendapat nikmat pasti bersyukur. Tapi bagi orang khawas (beramal semata-mata karena Allah), penderitaan maupun kenikmatan tetap disyukurinya. Suatu ketika tokoh sufi perempuan Rabiah Al 'Adawiyah pernah ditanya tentang Iblis, apakah engkau membenci Iblis. Kemudian Rabiah menjawab tanpa bertele tele. "Bagaimana bisa aku membenci siapapun termasuk Iblis sedangkan seluruh relung hatiku dipenuhi cinta kepada Allah".
Sepanjang hidupnya, Rabiah hanya sibuk mencintai Rabbnya. Ia hanya sibuk memadu kasih dengan Tuhan. Bahkan tak tahu bagaimana cara membenci setan, karena hatinya hanya dipenuhi cinta kepada Allah.
Demikian hakikat ridha kepada Allah. Semoga Lailatul Qadar menghampiri jamaah qiyamul Lail di Masjid Istiqlal yang dengan Lailatul Qadar itu bisa memberikan kebaikan dan mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.
(rhs)