Mengenal Paham Asy'ariyah sebagai Bapak Teologi Islam
A
A
A
DR KH Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Alumni Institute of Arab Studies Kairo-Mesir
Sering kita mendengar istilah 'Aswaja' atau singkatan dari istilah Ahlussunnah wal Jama'ah. Istilah 'Ahlussunnah wal Jama'ah' muncul dari satu istilah yang sangat populer dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud No 4597 berikut ini:
Pada redaksi hadits di atas terdapat istilah 'Al-Jama'ah yang kemudian populer dengan istilah "Ahlu Sunnah wal Jama'ah".
Pokok dasar pemahaman akidah "Ahulussunnah wal Jama'ah" selalu disandarkan pada aliran teologi akidah ketuhanan bermazhab "Al-Asy'ariyyah" dan "Al-Maturidiyyah".
Jika dalam mazhab Fiqh, kita mengenal empat imam mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafie, dan Imam Hambali, maka dalam mazhab akidah teologi Aswaja kita hanya akan mengenal dan memiliki dua imam utama saja, yaitu: Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Pendiri mazhab teologi al-Asy'ari'ah adalah Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang bernama lengkap Abu Hasan al-Asy'ari Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy'ari.
Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875 M dan masih merupakan keturunan dari sahabat Rasulullah, Abu Musa al-Asy'ari yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW .
Pada mulanya, Imam Abu Hasan al-Asy'ari merupakan tokoh filosof beraliran Mu'tazillah yang kemudian berpindah haluan menentang teologi Mu'tazillah yang dianggapnya pemahaman Mu'tazillah telah menyimpang dan menyesatkan umat Islam.
Pemahaman Imam Abu Hasan al-Asy'ari juga dipengaruhi oleh paham Kullabiyyah, hingga akhirnya beliau mendirikan paham mazhab sendiri yang dikenal dengan aliran teologi "Al-Asy'ariyyah".
Dalam karya tulisnya, Al-Ibanah bisa menjadi persoalan teologi mendasar dimana ketika menentukan sifat bagi Allah, Imam Abu Hasan al-Asy'ari membagi ada 7 sifat Ma'ani, yaitu sifat yang wajib bagi Allah, seperti:
1. Sifat Hayat (Mahahidup)
2. Sifat Qudrat (Mahakuasa)
3. Sifat Iradah (Mahaberkehendak)
4. Sifat 'Ilmu (Mahatahu)
5. Sifat Kalam (Mahaberkata-kata)
6. Sifat Sama' (Mahamendengar)
7. Sifat Bashar (Mahamelihat).
Selanjutnya, paham ini berkembang pesat dengan penambahan serta penyempurnaan 20 sifat bagi Allah atau yang lebih dikenal dengan istilah "Sifat Dua Puluh" untuk mensifati sifat wajib bagi sifat-sifat Allah.
Akidah al-Asy'ariah sangat menentang dan menolak pemahaman "al-Mujassimah"" yaitu pemahaman yang menyerupakan Allah dengan sifat makhluk atau sifat kebendaan lainnya.
Mahasuci Allah, dari sifat Mujassimah, seperti: paham yang menyatakan Allah berada di langit, Allah turun ke langit dunia dan Allah memiliki wajah, mata, tangan dan sifat lain sebagainya yang menyerupai makhluk.
Padahal, Allah tidak menyerupai apa pun, baik dalam bentuk tashawuri, maupun dalam bentuk takhayyali. Maha Suci Allah dari berbagai penyifatan tersebut.
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami sifat-sifat yang wajib bagi Allah, Imam Abu Hasan al-Asy'ari melakukan interpretasi ulang (takwil) dalam menjelaskan ayat-ayat atau hadits tekstual yang berkenaan sifat-sifat yang mutasyabihat bagi Allah dengan pendekatan logika, semisal:
• "Tangan Allah" seperti yang terdapat pada Aurah Al-Fath di dalam Alqur'an.
Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mentakwilkan bahwa yang dimaksud "Tangan" di sana bukan dalam pengertian Hakiki, seperti tangan manusia, melainkan sebagai Majaz atau bentuk kiasan kebahasaan. Kemudian, Imam Abu Hasan al-Asy'ari mentakwilkan "Yadun" sebagai "Al-Qudrah" atau kekuasaan bagi Allah.
Jika dipahami tanpa takwil, maka akan rancu pemahamannya, sebab mustahil bagi Allah memiliki 'tangan', karena jika Allah memiliki tangan sebagaimana makhluk berarti Allah menyerupai makhluk. Hal itu jelas mustahil dan bertentangan dengan nash al-Qur'an, "Dia Tidak Menyerupai Sesuatu Apapun".
Pemahaman ini juga dianut oleh sebagian para imam dan ulama besar sesudahnya, seperti Imam Ghazali, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, hingga para imam muhaditsin lainnya yang populer dalam karya-karya mereka.
Akidah al-Asy'ariah berkembang pesat dari abad ke-11M hingga ke-12 M dan kemudian dijadikan akidah resmi Dinasti Ghaznawi di India, lalu berkembang pesat di Pakistan, Afghanistan hingga Indonesia.
Sejak Bani Seljuk berkuasa, teologi aliran Al-Asy'ariyyah juga berkembang pesat di Baghdad dan India setelah penguasa Dinasti Saljuk, Nizam Muluk mendirikan Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad dan India pada kisaran abad ke 11 hingga ke 14 M.
Aliran teologi al-Asy'ariah pun dibawa masuk oleh para pendakwah Walisongo ke Nusantara kisaran abad ke-15 M dan berkembang pesat di kalangan umat Islam di Indonesia hingga hari ini dengan istilah yang populer dengan istilah "Ahlusunnah wal Jama'ah".
Hal ini menegasikan tentang kebenaran hadits di atas bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Dari Mu'awiyyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah SAW berdiri di antara kami, lalu beliau bersabda:
"Perhatikanlah, sungguh umat-umat terdahulu dari golongan ahli kitab sebelum kalian, telah terpecah menjadi 72 golongan, dan pada agama ini (Islam) kalian akan terpecah menjadi 73 golongan, dan 72 golongan berada di neraka, sedangkan hanya ada satu golongan yang berada di surga, yaitu "Al-Jama'ah." [HR. Abu Daud No 4597]
Pada redaksi hadits lain disebutkan, "Ahlussunnah wal Jama'ah". Dan ada pula riwayat yang menyebutkan, "Ana wa Ashhaby!"
Bersyukur dan berterima kasihlah atas perjuangan dan usaha keras ijtihad para ulama masa dahulu yang telah mencurahkan segenap pemikiran serta keilmuan mereka, sehingga kita mendapatkan kemudahan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama ini.
Inilah akidah dan aliran mazhan teologi "Al-Asy'ariyyah" yang menjadi panutan dan pemahaman para guru-guru serta ulama-ulama kita sejak dahulu yang harus tetap kita pegang dan pertahankan sampai ajal nanti. Wallahu A'lam
Pakar Ilmu Linguistik Arab & Tafsir Alquran
Alumni Institute of Arab Studies Kairo-Mesir
Sering kita mendengar istilah 'Aswaja' atau singkatan dari istilah Ahlussunnah wal Jama'ah. Istilah 'Ahlussunnah wal Jama'ah' muncul dari satu istilah yang sangat populer dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud No 4597 berikut ini:
Pada redaksi hadits di atas terdapat istilah 'Al-Jama'ah yang kemudian populer dengan istilah "Ahlu Sunnah wal Jama'ah".
Pokok dasar pemahaman akidah "Ahulussunnah wal Jama'ah" selalu disandarkan pada aliran teologi akidah ketuhanan bermazhab "Al-Asy'ariyyah" dan "Al-Maturidiyyah".
Jika dalam mazhab Fiqh, kita mengenal empat imam mazhab, seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafie, dan Imam Hambali, maka dalam mazhab akidah teologi Aswaja kita hanya akan mengenal dan memiliki dua imam utama saja, yaitu: Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi.
Pendiri mazhab teologi al-Asy'ari'ah adalah Imam Abu Hasan al-Asy'ari yang bernama lengkap Abu Hasan al-Asy'ari Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-asy'ari.
Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875 M dan masih merupakan keturunan dari sahabat Rasulullah, Abu Musa al-Asy'ari yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW .
Pada mulanya, Imam Abu Hasan al-Asy'ari merupakan tokoh filosof beraliran Mu'tazillah yang kemudian berpindah haluan menentang teologi Mu'tazillah yang dianggapnya pemahaman Mu'tazillah telah menyimpang dan menyesatkan umat Islam.
Pemahaman Imam Abu Hasan al-Asy'ari juga dipengaruhi oleh paham Kullabiyyah, hingga akhirnya beliau mendirikan paham mazhab sendiri yang dikenal dengan aliran teologi "Al-Asy'ariyyah".
Dalam karya tulisnya, Al-Ibanah bisa menjadi persoalan teologi mendasar dimana ketika menentukan sifat bagi Allah, Imam Abu Hasan al-Asy'ari membagi ada 7 sifat Ma'ani, yaitu sifat yang wajib bagi Allah, seperti:
1. Sifat Hayat (Mahahidup)
2. Sifat Qudrat (Mahakuasa)
3. Sifat Iradah (Mahaberkehendak)
4. Sifat 'Ilmu (Mahatahu)
5. Sifat Kalam (Mahaberkata-kata)
6. Sifat Sama' (Mahamendengar)
7. Sifat Bashar (Mahamelihat).
Selanjutnya, paham ini berkembang pesat dengan penambahan serta penyempurnaan 20 sifat bagi Allah atau yang lebih dikenal dengan istilah "Sifat Dua Puluh" untuk mensifati sifat wajib bagi sifat-sifat Allah.
Akidah al-Asy'ariah sangat menentang dan menolak pemahaman "al-Mujassimah"" yaitu pemahaman yang menyerupakan Allah dengan sifat makhluk atau sifat kebendaan lainnya.
Mahasuci Allah, dari sifat Mujassimah, seperti: paham yang menyatakan Allah berada di langit, Allah turun ke langit dunia dan Allah memiliki wajah, mata, tangan dan sifat lain sebagainya yang menyerupai makhluk.
Padahal, Allah tidak menyerupai apa pun, baik dalam bentuk tashawuri, maupun dalam bentuk takhayyali. Maha Suci Allah dari berbagai penyifatan tersebut.
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami sifat-sifat yang wajib bagi Allah, Imam Abu Hasan al-Asy'ari melakukan interpretasi ulang (takwil) dalam menjelaskan ayat-ayat atau hadits tekstual yang berkenaan sifat-sifat yang mutasyabihat bagi Allah dengan pendekatan logika, semisal:
• "Tangan Allah" seperti yang terdapat pada Aurah Al-Fath di dalam Alqur'an.
Imam Abu Hasan Al-Asy'ari mentakwilkan bahwa yang dimaksud "Tangan" di sana bukan dalam pengertian Hakiki, seperti tangan manusia, melainkan sebagai Majaz atau bentuk kiasan kebahasaan. Kemudian, Imam Abu Hasan al-Asy'ari mentakwilkan "Yadun" sebagai "Al-Qudrah" atau kekuasaan bagi Allah.
Jika dipahami tanpa takwil, maka akan rancu pemahamannya, sebab mustahil bagi Allah memiliki 'tangan', karena jika Allah memiliki tangan sebagaimana makhluk berarti Allah menyerupai makhluk. Hal itu jelas mustahil dan bertentangan dengan nash al-Qur'an, "Dia Tidak Menyerupai Sesuatu Apapun".
Pemahaman ini juga dianut oleh sebagian para imam dan ulama besar sesudahnya, seperti Imam Ghazali, Imam Ibnu Katsir, Imam Nawawi, hingga para imam muhaditsin lainnya yang populer dalam karya-karya mereka.
Akidah al-Asy'ariah berkembang pesat dari abad ke-11M hingga ke-12 M dan kemudian dijadikan akidah resmi Dinasti Ghaznawi di India, lalu berkembang pesat di Pakistan, Afghanistan hingga Indonesia.
Sejak Bani Seljuk berkuasa, teologi aliran Al-Asy'ariyyah juga berkembang pesat di Baghdad dan India setelah penguasa Dinasti Saljuk, Nizam Muluk mendirikan Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad dan India pada kisaran abad ke 11 hingga ke 14 M.
Aliran teologi al-Asy'ariah pun dibawa masuk oleh para pendakwah Walisongo ke Nusantara kisaran abad ke-15 M dan berkembang pesat di kalangan umat Islam di Indonesia hingga hari ini dengan istilah yang populer dengan istilah "Ahlusunnah wal Jama'ah".
Hal ini menegasikan tentang kebenaran hadits di atas bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Dari Mu'awiyyah bin Abi Sufyan bahwa Rasulullah SAW berdiri di antara kami, lalu beliau bersabda:
"Perhatikanlah, sungguh umat-umat terdahulu dari golongan ahli kitab sebelum kalian, telah terpecah menjadi 72 golongan, dan pada agama ini (Islam) kalian akan terpecah menjadi 73 golongan, dan 72 golongan berada di neraka, sedangkan hanya ada satu golongan yang berada di surga, yaitu "Al-Jama'ah." [HR. Abu Daud No 4597]
Pada redaksi hadits lain disebutkan, "Ahlussunnah wal Jama'ah". Dan ada pula riwayat yang menyebutkan, "Ana wa Ashhaby!"
Bersyukur dan berterima kasihlah atas perjuangan dan usaha keras ijtihad para ulama masa dahulu yang telah mencurahkan segenap pemikiran serta keilmuan mereka, sehingga kita mendapatkan kemudahan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama ini.
Inilah akidah dan aliran mazhan teologi "Al-Asy'ariyyah" yang menjadi panutan dan pemahaman para guru-guru serta ulama-ulama kita sejak dahulu yang harus tetap kita pegang dan pertahankan sampai ajal nanti. Wallahu A'lam
(rhs)