Berfiqih Tanpa Mazhab, Mungkinkah?
loading...
A
A
A
Tg DR Miftah el-Banjary MA
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia
Mempelajari agama yang benar-benar bersanad dan bersumber dari rangkaian keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat itu tidaklah mudah.
Tidak semudah belajar dari media sosial atau meme yang beredar, perlu kesungguhan menghapalkan matan-matan dari setiap bidang keilmuan yang dipelajari.
Hari ini banyak orang berslogan, "Kami mempelajari Islam hanya dari sumber utamanya, Al-Qur'an dan Hadis saja."
Statement ini seakan menggiring opini untuk menafikan peran serta jasa besar para ulama yang telah bersungguh-sungguh menginfakkan diri mereka demi memberikan pemahaman yang komprehensif, valid, tepat dan shahih tentang bagaimana sesungguhnya agama ini dipahami, diamalkan dan dijalankan.
Sebagai generasi umat akhir zaman yang terpaut lebih dari 14 abad dengan masa Rasulullah SAW, tentu kita tidak akan mampu menggali serta menjalankan hukum syariat agama ini secara tepat, sebagaimana di masa Nabi, Sahabat dan Tabi'in.
Oleh karena itulah, kita membutuhkan peran ijtihad, fatwa serta pemikiran para ulama generasi sesudahnya untuk menjelaskannya hingga sampai pada generasi kita saat ini.
Alih-alih dengan congkaknya ingin memahami hukum syariat yang bersumber langsung dari Al-Qur'an serta hadits-hadis Nabi, perlu disadari bahwa untuk memahami rentetan rangkaian keilmuan dari masa generasi Tabi'ut Tabien hingga hari ini, kita harus membutuhkan proses waktu panjang untuk membaca ribuan fatwa ijtihad Fuqaha dalam bentuk jutaan jilid karya-karya mereka.
Para ulama selevel Imam Muzanni saja tidak semudah membalikkan tangan untuk bisa mensyarahkan karya Imam Syafie. Selevel Imam Nawawi saja yang boleh dikatakan mampu mendirikan Mazhab Fiqh sendiri saja, masih bertaqlid pada Imam Syafi'i.
Semisal, memahami ijtihad Imam Syafie dalam kitab "Al-Umm" yang merupakan induk kitab Fiqh Syafi'i saja, perlu disyarahkan oleh muridnya Imam al-Muzanni dalam kitabnya yang bernama "Mukhtasar al-Muzanni".
Apakah Imam Muzanni dengan begitu mudahnya memahami dan kemudian langsung mensyarahkan kitab gurunya itu?
Imam Muzanni merupakan salah satu diantara murid terbaik Imam Syafi'i, murid kesayangan serta murid terpandai. Lantas, apa yang kemudian dikatakan oleh Imam Muzanni manakala dia mulai mencoba memahami serta mempelajari karya gurunya itu, kitab "Al-Umm" karya Imam Syafi'i?
Kata Imam al-Muzanni, "Aku perlu membaca dan menela'ah Kitab al-Umm karya guruku Imam Syafi'i sebanyak 500 kali berulang-ulang, hingga aku benar-benar memahami setiap maknanya." Subhanallah!
Selanjutnya, Kitab "Mukhtasar al-Muzanni" tersebut kembali disyarahkan oleh Imam al-Haramain dengan judul "Nihayut Mathlab".
Selanjutnya oleh Imam Al-Ghazali diringkaskan lagi menjadi karyanya berjudul kitab "Al-Basith", kemudian diringkaskan menjadi kitab "Al-Wasith" dan terakhir diringkaskan dalam kitab bernama "al-Wajiz".
Karya-karya Imam Al-Ghazali ini kemudian disyarahkan lagi oleh Imam ar-Rafi'e dengan dua karyanya berjudul: "Al-Muharrar" dan "Fath Aziez".
Kitab "Al-Muharrar" disyarahkan oleh Imam Nawawi selanjutnya menghasilkan karya baru berjudul "Minhajut Thalibin". Sedangkan kitab "Fath Aziez" yang masih karya Imam ar-Rafi'e disyarahkan sama oleh Imam Nawawi dengan judul: "Raudhatut Thalibin".
Berawal dari Kitab "Raudhatut Thalibin" karya Imam Nawawi ini melahirkan kitab "Raudh at-Thalib" karya Imam al-Muqry. Dari kitab "Raudh ath-Thalib" kembali disyarahkan oleh Imam Zakariyya al-Anshari yang selanjutnya melahirkan karya besar berjudul "Asna al-Mathalib".
Sedangkan karya paling monemental Imam Nawawi yang satunya ini yang kemudian menjadi karya "Masterpiece" dalam bidang Fiqh Syafiyyah yang paling ramai dan banyak mendapatkan perhatian para Fuqaha beratus-ratus tahun adalah kitab yang bernama"Minhajut Thalibin".
Dari karya "Minhajut Thalibin" Imam Nawawi inilah lahir karya Imam Jalaluddin al-Mahalli berjudul "Kanz Raghibin" dan kitab "Tuhfah al-Muhtaj" karya Imam Ibn Hajar al-Haitamy.
Pakar Ilmu Linguistik Arab,
Pimpinan Majelis Dalail Khairat Komunitas Indonesia-Malaysia
Mempelajari agama yang benar-benar bersanad dan bersumber dari rangkaian keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat itu tidaklah mudah.
Tidak semudah belajar dari media sosial atau meme yang beredar, perlu kesungguhan menghapalkan matan-matan dari setiap bidang keilmuan yang dipelajari.
Hari ini banyak orang berslogan, "Kami mempelajari Islam hanya dari sumber utamanya, Al-Qur'an dan Hadis saja."
Statement ini seakan menggiring opini untuk menafikan peran serta jasa besar para ulama yang telah bersungguh-sungguh menginfakkan diri mereka demi memberikan pemahaman yang komprehensif, valid, tepat dan shahih tentang bagaimana sesungguhnya agama ini dipahami, diamalkan dan dijalankan.
Sebagai generasi umat akhir zaman yang terpaut lebih dari 14 abad dengan masa Rasulullah SAW, tentu kita tidak akan mampu menggali serta menjalankan hukum syariat agama ini secara tepat, sebagaimana di masa Nabi, Sahabat dan Tabi'in.
Oleh karena itulah, kita membutuhkan peran ijtihad, fatwa serta pemikiran para ulama generasi sesudahnya untuk menjelaskannya hingga sampai pada generasi kita saat ini.
Alih-alih dengan congkaknya ingin memahami hukum syariat yang bersumber langsung dari Al-Qur'an serta hadits-hadis Nabi, perlu disadari bahwa untuk memahami rentetan rangkaian keilmuan dari masa generasi Tabi'ut Tabien hingga hari ini, kita harus membutuhkan proses waktu panjang untuk membaca ribuan fatwa ijtihad Fuqaha dalam bentuk jutaan jilid karya-karya mereka.
Para ulama selevel Imam Muzanni saja tidak semudah membalikkan tangan untuk bisa mensyarahkan karya Imam Syafie. Selevel Imam Nawawi saja yang boleh dikatakan mampu mendirikan Mazhab Fiqh sendiri saja, masih bertaqlid pada Imam Syafi'i.
Semisal, memahami ijtihad Imam Syafie dalam kitab "Al-Umm" yang merupakan induk kitab Fiqh Syafi'i saja, perlu disyarahkan oleh muridnya Imam al-Muzanni dalam kitabnya yang bernama "Mukhtasar al-Muzanni".
Apakah Imam Muzanni dengan begitu mudahnya memahami dan kemudian langsung mensyarahkan kitab gurunya itu?
Imam Muzanni merupakan salah satu diantara murid terbaik Imam Syafi'i, murid kesayangan serta murid terpandai. Lantas, apa yang kemudian dikatakan oleh Imam Muzanni manakala dia mulai mencoba memahami serta mempelajari karya gurunya itu, kitab "Al-Umm" karya Imam Syafi'i?
Kata Imam al-Muzanni, "Aku perlu membaca dan menela'ah Kitab al-Umm karya guruku Imam Syafi'i sebanyak 500 kali berulang-ulang, hingga aku benar-benar memahami setiap maknanya." Subhanallah!
Selanjutnya, Kitab "Mukhtasar al-Muzanni" tersebut kembali disyarahkan oleh Imam al-Haramain dengan judul "Nihayut Mathlab".
Selanjutnya oleh Imam Al-Ghazali diringkaskan lagi menjadi karyanya berjudul kitab "Al-Basith", kemudian diringkaskan menjadi kitab "Al-Wasith" dan terakhir diringkaskan dalam kitab bernama "al-Wajiz".
Karya-karya Imam Al-Ghazali ini kemudian disyarahkan lagi oleh Imam ar-Rafi'e dengan dua karyanya berjudul: "Al-Muharrar" dan "Fath Aziez".
Kitab "Al-Muharrar" disyarahkan oleh Imam Nawawi selanjutnya menghasilkan karya baru berjudul "Minhajut Thalibin". Sedangkan kitab "Fath Aziez" yang masih karya Imam ar-Rafi'e disyarahkan sama oleh Imam Nawawi dengan judul: "Raudhatut Thalibin".
Berawal dari Kitab "Raudhatut Thalibin" karya Imam Nawawi ini melahirkan kitab "Raudh at-Thalib" karya Imam al-Muqry. Dari kitab "Raudh ath-Thalib" kembali disyarahkan oleh Imam Zakariyya al-Anshari yang selanjutnya melahirkan karya besar berjudul "Asna al-Mathalib".
Sedangkan karya paling monemental Imam Nawawi yang satunya ini yang kemudian menjadi karya "Masterpiece" dalam bidang Fiqh Syafiyyah yang paling ramai dan banyak mendapatkan perhatian para Fuqaha beratus-ratus tahun adalah kitab yang bernama"Minhajut Thalibin".
Dari karya "Minhajut Thalibin" Imam Nawawi inilah lahir karya Imam Jalaluddin al-Mahalli berjudul "Kanz Raghibin" dan kitab "Tuhfah al-Muhtaj" karya Imam Ibn Hajar al-Haitamy.