Joker dan Thaha Husien, Iktibar Menjaga Kekejaman Lisan

Senin, 21 Oktober 2019 - 18:45 WIB
Joker dan Thaha Husien, Iktibar Menjaga Kekejaman Lisan
Joker dan Thaha Husien, Iktibar Menjaga Kekejaman Lisan
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Alquran
Alumnus Institute of Arab Studies Kairo-Mesir


Joker berfokus pada perjalanan sosok komedian gagal, Arthur Fleck (dibintangi Phoenix), pria yang diabaikan oleh masyarakat dan berubah menjadi penjahat yang sangat keji.

Arthur tumbuh dari masyarakat kalangan bawah yang terus gagal untuk meraih kesuksesan dalam profesinya sebagai komedian stand up. Hidupnya kerap dirundung pilu.

Hal itu diperjelas dalam trailer, kala berusaha menghibur seorang anak kecil di dalam bus sekalipun raut muka Arthur Fleck terlihat sedang diliputi rasa kecewa dan putus asa. Ia kemudian dihardik oleh ibu si anak karena dianggap mengganggu.

Selain itu, pekerjaannya sebagai badut yang bertugas memegang papan penanda di jalanan membuatnya dirundung. Bahkan pernah sampai terkapar di sebuah gang. Arthur Fleck tampak terbiasa diperlakukan tak adil oleh lingkungan sekitar.

Titik terbawah hidup Arthur terjadi saat ia diolok-olok oleh presenter yang diperankan Robert De Niro lewat siaran TV nasional. Begitu banyak kekecewaan yang membuatnya menjadi pribadi pahit dan akhirnya, berubah menjadi pembunuh.

Arthur mengubah identitas dirinya dengan menjadi Joker, menampilkan pribadi baru yang jahat. Ya, ini hanya sekadar film. Tapi, dalam kehidupan realita, fenomena yang mirip atau bahkan sama boleh jadi terjadi hal yang sama pula.

Kisah nyata terjadi pada pribadi seorang sastrawan Arab besar bernama Thaha Husien yang lahir tahun 1917 di Mesir. Thaha Husien, seorang anak miskin jenius yang terlahir mengalami kebutaan sejak kecilnya.

Meski dalam keadaan buta, Husien mampu mengkhatamkan hafalan Alqur'an pada usia 7 tahun. Dalam usia dini, Husien telah dikenal sebagai anak yang memiliki prestasi gemilang. Dia pernah menjuarai lomba hafalan yang menobatkan dirinya patut disebut sebagai seorang Hafidz Qur'an.

Namun, apa yang terjadi dengan orang-orang di sekelilingnya yang tak melihat prestasi gemilangnya, hanya lantaran dia terlahir dalam keadaan buta. Orang-orang di sekitarnya yang merasa dirinya sudah saleh, sudah merasa lebih baik dan lebih suci melecehkannya kekurangan fisiknya.

Seorang ulama Al-Azhar memanggilnya dengan sebutan merendahkan "Ya Dhayyir" yang berarti "Si buta". Panggilan itu rupanya punya kesan mendalam yang sangat menyakitkan di dalam hati anak jenius itu. Husien sangat membenci panggilan itu.

Bahkan, dia sangat membenci semua yang beraroma Al-Azhar. Meski Thaha Husien sendiri pernah belajar di Al-Azhar. Namun, dia tidak mau menyelesaikannya.

Hal itu, disebabkan ketidaksesuaian hatinya dengan lingkungannya yang tak terlalu menghargai intelektualitas, hanya disebabkan keraguan orang-orang di sekelilingnya yang lebih melihat pada kecacatan fisiknya.

Thaha Husien, justru menyelesaikan kuliah di Darul Ulum Cairo University dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang gemilang. Di sana ia lebih dihargai. Ia berguru pada para pemikir Barat yang mengarahkannya kritis dan sinis terhadap ajaran Islam.

Pertemuannya dengan para gurunya, seperti Prof Nallino, Prof Ennolittman dan Prof Santilana yang mengenalkannya ide-ide pembaharuan sekulerisme dan liberalisme dalam bidang pemikiran yang selanjutnya mengantarkannya ke tahap jenjang magister dan doktoral di Sorbonne University, Prancis.

Di sana, Thaha Husien yang jenius dan pernah menjadi penghafal Alqur'an, justru berubah menjadi pengkritik Islam serta menyerang pemikiran ulama-ulama Al-Azhar yang jumud, dan sistem pendidikan Al-Azhar yang terkebelakang, menurut kritikannya. Perlakuan masa kelam dan sakit hatinya merubah sudut pandangnya menjadi pembenci ulama dan Islam.

Dengan potensi kejeniusan serta analisa keilmuannya yang mendalam, Thaha Husien sepatutnya menjadi seorang ulama besar, namun tidak pada kenyataannya. Dia justru menjadi seorang sastrawan besar, professor ternama, bahkan pernah menduduki jabatan Menteri Pendidikan Mesir.

Padahal sekiranya dia menjadi ulama, ia mampu tampil sekelas Syekh Kisyk atau lebih hebat dari itu. Terbukti, dalam bidang Syair Arab, dia mendapat julukan sebagai 'Amid Syair Araby' atau Bapak Sastrawan Arab.

Namun, barangkali sudah menjadi pilihannya, untuk memilih sebagai pengusung sekulerisme dan liberalisme yang terus menerus menyerang Islam. Thaha Husien berbalik menyerang kisah-kisah di dalam Alqur'an yang didakwanya hanya cerita fiktif belaka (Usthurah).

Thaha Husien menjadi tokoh liberal Mesir yang kerap kali menyerang pemikiran Islam atas nama pembaharuan dan kebebasan berpikir. Ya, itu sudah menjadi pilihannya.

Tapi, apa yang menjadi pilihan Thaha Husien tidak terlepas dari sejarah kelam masa kecilnya yang pernah diperlakukan tidak adil. Barangkali dari kisah ini kita dapat belajar bahwa jangan pernah melontarkan kata-kata yang mengerdilkan siapa pun.

Betapa banyak orang yang semula ingin berubah dan berproses menjadi orang baik, akhirnya berbalik menjadi keadaan semulanya. Bahkan lebih jahat lagi, hanya lantaran mendapatkan cemoohan dan hinaan dari orang-orang yang yang merasa dirinya telah saleh, namun belum terjaga lisan dan hati mereka.

Lidah memang tidak bertulang. Namun, betapa banyak orang menjadi jahat hanya disebabkan kejahatan lidah. Intinya, jagalah lisan untuk tidak menyakiti siapa pun meski orang yang kita anggap dia belum lebih baik dalam kadar pandangan penilaian dan pengetahuan kita.

Joker sebagai tokoh antagonis fiktif maupun Thaha Husien sebagai tokoh pemikir Islam liberal yang sangat kontroversial secara realitas. Atau siapa pun itu yang pernah mengalami masa lalu yang sama, hanyalah refleksi dari kekejaman sikap orang-orang yang terlahir dari kekecewaan di lingkungan sekitar yang tidak adil memperlakukan mereka.

Hingga akhirnya, boleh jadi menjadi semacam pembenaran terhadap peran antagonis yang mereka perankan atau sikap belas dendam atau sensasi ingin menjawab dan membuktikan tantangan yang berbeda dari apa yang selama ini mereka deritakan.

Meskipun kita tidak pernah sepakat terhadap pembenaran atas kejahatan, tapi kita harus sepakat untuk menjaga lidah kita untuk tidak melahirkan orang-orang yang berpotensi antagonis hanya disebabkan kata-kata tajam kita yang mungkin merasa dirinya sudah menjadi lebih baik.

Jika ada orang yang menjadi jahat akibat ucapan orang-orang yang merasa dirinya lebih baik, lebih saleh, lebih suci, bukankah dia juga kelak akan turut bersaham dalam menciptakan kejahatan itu? Allahu A'lam.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5140 seconds (0.1#10.140)