Hakikat dan Sejarah Penamaan Santri di Indonesia
A
A
A
KH Miftahur Rahman el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Alquran,
Pengasuh Ponpes Sibtul Amin, Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur
Asia Tenggara memiliki ciri khas dalam menghadirkan dakwah dan pendidikan Islam. Lembaga pesantren salah satunya. Penamaan pesantren cenderung diterima luas di Jawa. Adapun di Sumatera, lembaga yang sama bernama Surau atau Meunasah (Aceh).
Di ranah Melayu luar Indonesia, umpamanya Malaysia atau Kamboja, istilah 'pondok' lebih akrab dijumpai, sementara itu, masyarakat Filipina dan Singapura memakai istilah 'Madrasah'. Para pembelajarnya lebih akrab disebut dengan istilah 'Santri'.
Istilah kata 'santri' tidak akan ditemukan dalam dunia Arab, sebab kata santri sendiri penamaan yang khas dari istilah pendidikan asli di bumi Nusantara. Kata 'santri' berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti orang yang mempelajari kitab suci.
Profesor Johns menyebutkan istilah kata 'Santri' berasal dari bahasa Tamil dengan arti 'guru'. Tak jauh beda, CC Berg berpendapat bahwa kata 'santri berasal dari kata 'Shastri' atau 'Cantrik' dalam bahasa Sanskerta yang berarti 'Orang yang mengetahui isi kitab suci' atau 'Orang yang mengikuti guru'.
Meskipun istilah santri pada awalnya merujuk pada para pembaca kitab suci Hindu atau Budha, namun pada perjalanannya istilah santri justru lebih identik dengan para penuntut ilmu agama dalam Islam. Sehingga, kata santri ini lebih tepat disejajarkan dengan istilah 'Thalibul Ilmi' atau 'Murid' atau 'Salik' dalam bahasa Arab.
Jika melihat lebih dalam lagi hakikat santri, maka kita akan menemukan semua cerminan karakteristik penuntut ilmu yang banyak digambarkan di dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan dan akhlak seorang penuntut ilmu terdapat di dalam diri seorang santri sejati. Memang, begitulah Islam mendidik dan membentuk kepribadian diri seorang santri.
Ada tiga hal yang menjadi fokus dalam membentuk identitas kepribadian seorang santi, yaitu: Ilmu, amal dan akhlak. Ketiga komponen ini tidak bisa terpisahkan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Jika salah satunya, hilang atau kurang, maka dia tidak patut lagi disebut sebagai seorang santri sejati.
Dalam hal keilmuan, di pondok-pondok pesentren, para santri umumnya mempelajari ragam keilmuan, mulai dari tata bahasa Arab, nahwu, sharaf, tafsir dan membaca Alqur'an (Qira'at), tauhid, fiqh 4 madzhab, khususnya madzhab Imam Syafi'i, akhlak, mantiqh, sirah/sejarah, hingga tasawuf.
Metodologi pembelajaran ala santri lebih menekankan pada pembelajaran yang bersifat klasikal, seperti: halaqah yang dipimpin oleh seorang ustaz atau kyai dengan membacakan kitab-kitab turats/klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'Kitab Kuning' atau 'Kitab Arab Gundul'.
Bukan sekedar mempelajari keilmuan, namun hal yang lebih penting bagi seorang santri adalah bagaimana mengamalkan atau menerapkan keilmuan itu dalam kehidupan kesehariannya. Maka di sinilah letak pembeda antara identitas seorang santri dengan pelajar atau mahasiswa.
Lebih detail lagi, menurut definisi KH Hasyim Jepara bahwa kata 'Santri' berasal dari lima huruf Arab. Santri berasal dari huruf Sin, Nun, Ta, Ra, Ya. Santri berasal dari huruf Sin, Salik fil ibadah (penempuh jalan ibadah). Seorang santri adalah seorang yang ahli dan tekun dalam beribadah serta tetap berpegang teguh istiqmah mempertahankan ibadah yang lurus semata mengharapkan ridha Allah SWT.
Kedua, Naibun anis syuyukh (penerus para pendahulu). Seorang santri haruslah memiliki cita-cita dan semangat tinggi untuk meneruskan perjuangan para ulama sepuh pendahulunya. Seorang santri harus menjadikan waktunya adalah ilmu sehingga tidak ada waktu yang tersisa, kecuali untuk menuntut ilmu.
Ketiga, Ta'ibun anid dzunub (senantiasa bertaubat dari segala kesalahan). Dalam hal ini, seorang santri harus terus menerus bermuhasabah merenungi kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan serta memperbanyak membaca istighfar dalam rangka untuk memperbaiki kualitas dirinya.
Keempat, Raghibun fil Khayrat (Senang dengan hal-hal yang positif). Seorang santri harus menyibukkan dirinya dalam melakukan hal-hal kebaikan. Berbuat baik terhadap siapa pun. Dalam hal ini, seorang santri harus memiliki prinsip, sebagaimana perkataan Imam Abdullah al-Mubarak, "Barangsiapa yang tidak disibukkan oleh kebaikan, niscaya dia akan disibukkan dalam keburukan."
Kelima, yaqin 'ala man 'an'amallahu ma'ah (yakin atas jaminan rezeki yang dikarunikan padanya). Seorang santri harus tetap berfokus pada dua hal utama, yaitu ilmu dan ibadah. Di luar itu, dia harus yakin bahwa dia tidak perlu menyibukkan dirinya dalam hal mencari rezeki. Dia harus memiliki keyakinan bahwa Allah telah menjamin rezeki bagi para penuntut ilmu.
Terakhir, hal yang tak dapat dipisahkan dari identitas seorang santri adalah esensi moralitasnya yang terus menerus dibina, dipupuk, ditekankan melebihi semua aspek ilmu dan amal. Seorang santri harus mampu menunjukkan kepribadian yang superior (akhlakul karimah) terhadap siapa pun, kapan pun dan dimana saja dia berada.
Tentu nilai-nilai penghargaan serta penghormatan yang ditunjukkan seorang santri bukan saja terhadap Kyai-nya, sesama santri, orang tua, dan semua muslim yang ia temui. Bahkan, sikap penghormatan terhadap orang yang berbeda agama dan keyakinan pun pula harus ditunjukkan kemuliaan akhlak tersebut.
Sikap toleransi terhadap perbedaan agama dan keyakinan yang ditunjukkan oleh seorang santri harus menunjukkan sikap kemuliaan serta ketinggian marwah Islam. Bukan justru ikut merendahkan marwah Islam dengan cara mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ritual kepercayaan agama lain yang melanggar batas-batas syariat Islam itu sendiri.
Berkaca pada film "The Santri" yang dirilis pada Hari Santri 22 Oktober 2019, yang seharusnya menunjukkan identitas seorang santri sejati, justru pada tayangan film itu malah menodai identitas santri itu sendiri.
Sungguh disayangkan, adanya adegan pasangan santri-santriwati yang digambarkan melakukan hubungan pacaran, berdua-duaan bukan mahram. Bahkan ada adegan dimana ada santriwati yang ikut membawakan nasi tumpeng masuk dalam kegiatan ritual kebaktian di dalam gereja atas nama membawa pesan-pesan perdamaian dan pluralisme. Na'udzubillah.
Tentu hal itu bukan bermaksud mengukuhkan identitas seorang santri yang sangat tunduk dan patuh pada aturan agama secara ketat. Melainkan upaya propaganda menyerang serta melakukan pembusukan terhadap citra positif identitas santri dan kehidupan pesantren yang merupakan gerbang terakhir yang mampu mempertahankan kemurnian pendidikan Islam serta pembentukan karakteristik moralitas anak bangsa.
Jadi, momentum Hari Santri Nasional ini bukan sekadar mengukuhkan eksistensi dan identitas santri. Namun, lebih dari itu, bagaimana pesan yang dibawa menunjukkan esensi moralitas dan menjadi inisiator perbaikan moralitas yang melanda generasi bangsa saat ini.
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Alquran,
Pengasuh Ponpes Sibtul Amin, Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur
Asia Tenggara memiliki ciri khas dalam menghadirkan dakwah dan pendidikan Islam. Lembaga pesantren salah satunya. Penamaan pesantren cenderung diterima luas di Jawa. Adapun di Sumatera, lembaga yang sama bernama Surau atau Meunasah (Aceh).
Di ranah Melayu luar Indonesia, umpamanya Malaysia atau Kamboja, istilah 'pondok' lebih akrab dijumpai, sementara itu, masyarakat Filipina dan Singapura memakai istilah 'Madrasah'. Para pembelajarnya lebih akrab disebut dengan istilah 'Santri'.
Istilah kata 'santri' tidak akan ditemukan dalam dunia Arab, sebab kata santri sendiri penamaan yang khas dari istilah pendidikan asli di bumi Nusantara. Kata 'santri' berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti orang yang mempelajari kitab suci.
Profesor Johns menyebutkan istilah kata 'Santri' berasal dari bahasa Tamil dengan arti 'guru'. Tak jauh beda, CC Berg berpendapat bahwa kata 'santri berasal dari kata 'Shastri' atau 'Cantrik' dalam bahasa Sanskerta yang berarti 'Orang yang mengetahui isi kitab suci' atau 'Orang yang mengikuti guru'.
Meskipun istilah santri pada awalnya merujuk pada para pembaca kitab suci Hindu atau Budha, namun pada perjalanannya istilah santri justru lebih identik dengan para penuntut ilmu agama dalam Islam. Sehingga, kata santri ini lebih tepat disejajarkan dengan istilah 'Thalibul Ilmi' atau 'Murid' atau 'Salik' dalam bahasa Arab.
Jika melihat lebih dalam lagi hakikat santri, maka kita akan menemukan semua cerminan karakteristik penuntut ilmu yang banyak digambarkan di dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan dan akhlak seorang penuntut ilmu terdapat di dalam diri seorang santri sejati. Memang, begitulah Islam mendidik dan membentuk kepribadian diri seorang santri.
Ada tiga hal yang menjadi fokus dalam membentuk identitas kepribadian seorang santi, yaitu: Ilmu, amal dan akhlak. Ketiga komponen ini tidak bisa terpisahkan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Jika salah satunya, hilang atau kurang, maka dia tidak patut lagi disebut sebagai seorang santri sejati.
Dalam hal keilmuan, di pondok-pondok pesentren, para santri umumnya mempelajari ragam keilmuan, mulai dari tata bahasa Arab, nahwu, sharaf, tafsir dan membaca Alqur'an (Qira'at), tauhid, fiqh 4 madzhab, khususnya madzhab Imam Syafi'i, akhlak, mantiqh, sirah/sejarah, hingga tasawuf.
Metodologi pembelajaran ala santri lebih menekankan pada pembelajaran yang bersifat klasikal, seperti: halaqah yang dipimpin oleh seorang ustaz atau kyai dengan membacakan kitab-kitab turats/klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'Kitab Kuning' atau 'Kitab Arab Gundul'.
Bukan sekedar mempelajari keilmuan, namun hal yang lebih penting bagi seorang santri adalah bagaimana mengamalkan atau menerapkan keilmuan itu dalam kehidupan kesehariannya. Maka di sinilah letak pembeda antara identitas seorang santri dengan pelajar atau mahasiswa.
Lebih detail lagi, menurut definisi KH Hasyim Jepara bahwa kata 'Santri' berasal dari lima huruf Arab. Santri berasal dari huruf Sin, Nun, Ta, Ra, Ya. Santri berasal dari huruf Sin, Salik fil ibadah (penempuh jalan ibadah). Seorang santri adalah seorang yang ahli dan tekun dalam beribadah serta tetap berpegang teguh istiqmah mempertahankan ibadah yang lurus semata mengharapkan ridha Allah SWT.
Kedua, Naibun anis syuyukh (penerus para pendahulu). Seorang santri haruslah memiliki cita-cita dan semangat tinggi untuk meneruskan perjuangan para ulama sepuh pendahulunya. Seorang santri harus menjadikan waktunya adalah ilmu sehingga tidak ada waktu yang tersisa, kecuali untuk menuntut ilmu.
Ketiga, Ta'ibun anid dzunub (senantiasa bertaubat dari segala kesalahan). Dalam hal ini, seorang santri harus terus menerus bermuhasabah merenungi kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan serta memperbanyak membaca istighfar dalam rangka untuk memperbaiki kualitas dirinya.
Keempat, Raghibun fil Khayrat (Senang dengan hal-hal yang positif). Seorang santri harus menyibukkan dirinya dalam melakukan hal-hal kebaikan. Berbuat baik terhadap siapa pun. Dalam hal ini, seorang santri harus memiliki prinsip, sebagaimana perkataan Imam Abdullah al-Mubarak, "Barangsiapa yang tidak disibukkan oleh kebaikan, niscaya dia akan disibukkan dalam keburukan."
Kelima, yaqin 'ala man 'an'amallahu ma'ah (yakin atas jaminan rezeki yang dikarunikan padanya). Seorang santri harus tetap berfokus pada dua hal utama, yaitu ilmu dan ibadah. Di luar itu, dia harus yakin bahwa dia tidak perlu menyibukkan dirinya dalam hal mencari rezeki. Dia harus memiliki keyakinan bahwa Allah telah menjamin rezeki bagi para penuntut ilmu.
Terakhir, hal yang tak dapat dipisahkan dari identitas seorang santri adalah esensi moralitasnya yang terus menerus dibina, dipupuk, ditekankan melebihi semua aspek ilmu dan amal. Seorang santri harus mampu menunjukkan kepribadian yang superior (akhlakul karimah) terhadap siapa pun, kapan pun dan dimana saja dia berada.
Tentu nilai-nilai penghargaan serta penghormatan yang ditunjukkan seorang santri bukan saja terhadap Kyai-nya, sesama santri, orang tua, dan semua muslim yang ia temui. Bahkan, sikap penghormatan terhadap orang yang berbeda agama dan keyakinan pun pula harus ditunjukkan kemuliaan akhlak tersebut.
Sikap toleransi terhadap perbedaan agama dan keyakinan yang ditunjukkan oleh seorang santri harus menunjukkan sikap kemuliaan serta ketinggian marwah Islam. Bukan justru ikut merendahkan marwah Islam dengan cara mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ritual kepercayaan agama lain yang melanggar batas-batas syariat Islam itu sendiri.
Berkaca pada film "The Santri" yang dirilis pada Hari Santri 22 Oktober 2019, yang seharusnya menunjukkan identitas seorang santri sejati, justru pada tayangan film itu malah menodai identitas santri itu sendiri.
Sungguh disayangkan, adanya adegan pasangan santri-santriwati yang digambarkan melakukan hubungan pacaran, berdua-duaan bukan mahram. Bahkan ada adegan dimana ada santriwati yang ikut membawakan nasi tumpeng masuk dalam kegiatan ritual kebaktian di dalam gereja atas nama membawa pesan-pesan perdamaian dan pluralisme. Na'udzubillah.
Tentu hal itu bukan bermaksud mengukuhkan identitas seorang santri yang sangat tunduk dan patuh pada aturan agama secara ketat. Melainkan upaya propaganda menyerang serta melakukan pembusukan terhadap citra positif identitas santri dan kehidupan pesantren yang merupakan gerbang terakhir yang mampu mempertahankan kemurnian pendidikan Islam serta pembentukan karakteristik moralitas anak bangsa.
Jadi, momentum Hari Santri Nasional ini bukan sekadar mengukuhkan eksistensi dan identitas santri. Namun, lebih dari itu, bagaimana pesan yang dibawa menunjukkan esensi moralitas dan menjadi inisiator perbaikan moralitas yang melanda generasi bangsa saat ini.
(rhs)