Adakah Radikalisme pada Umat Islam Indonesia?

Rabu, 30 Oktober 2019 - 14:42 WIB
Adakah Radikalisme pada Umat Islam Indonesia?
Adakah Radikalisme pada Umat Islam Indonesia?
A A A
Ustaz Miftahur Rahman el-Banjary
Pakar Semantik Arab dari Institute of Arab League Cairo

Sekitar Mei 2018 lalu, saya dan tim peneliti mewakili Indonesia dalam mempersentasikan jurnal ilmiah pada konferensi internasional di Ain Shams University, Cairo Mesir.

Jurnal yang kami persentasikan tentang proses deradikalisme di Indonesia dengan judul: "The Unity of Moderate Moslems and Deradicalization Process in Indonesia."

Dalam konferensi tingkat dunia yang dihadiri mayoritas para peneliti dan intelektual di kawasan Timur Tengah, dan sebagian ada yang dari Kanada, Indonesia dan Malaysia itu, kami hadir menyampaikan kepada dunia bahwa istilah radikalisme pada dasarnya bukan berkonten negatif.

Radikal pada dasarnya bermakna 'berpikir secara mendalam', sebab dia diambil dari akar kata latinnya, yaitu radix. Namun, akibat streotipe Baratlah yang menggeser makna radikalisme menjadi semacam gerakan revolusioner yang mengancam, mengerikan dan penuh dengan kebencian dan kekerasan.

Jika kemudian diksi kata "radikal" dianggap sebagai sebuah upaya perubahan dalam satu fenomena sosial kemasyarakatan secara totalitas dan revolusioner, maka boleh jadi perubahan sosial kemasyarakatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap masyakarat Arab Jahiliyyah dengan mengusung ideologi anti-paganisme, misalnya pun, bisa dianggap 'radikal' bagi pihak lawannya.

Demikian pula, kebangkitan para ulama yang menggaungkan resolusi jihad terhadap kolonialisme serta perlawanan para pejuang kemerdekaan yang menggerakkan semangat perlawanan anti-imperialisme boleh jadi juga merupakan sikap radikalisme bagi penjajah Belanda maupun Jepang.

Jadi, pada awalnya, istilah 'radikal' itu netral dan bermakna positif. Bahkan, dalam kajian filsafat sendiri, syarat seorang filosof harus mampu berpikir secara kritis, sistematis, dan radikal. Lantas, apa yang salah dengan diksi kata radikal itu sendiri?

Kesalahannya bukan pada aspek semantiknya, namun pada sosio-geopolitiknya, dimana diksi kata radikal -pada akhirnya dijadikan sebagai senjata pembunuh karakter- untuk melabeli lawan politik terhadap kelompok atau gerakan tertentu dengan penyematan yang tidak adil dan sangat terkesan politis.

Selanjutnya, istilah radikalisme dari bahasa Latin radix yang berarti 'akar' itu mulai populer sebagai opini politik yang dipergunakan akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal.

Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh.

Begitu 'radikalisme' historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.

Dalam kajian semantik (علم الدلالة), paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan bahasa atau pergeseran makna. Sebuah diksi kata, bisa mengalami perluasan arti (توسع المعنى); penyempitan arti (تضيق المعنى); keumuman arti (تعميم المعنى); dan kekhususan arti (تخصيص المعنى).

Nah, dalam kasus diksi kata radikal ini pula mengalami hal yang sama, yaitu pergeseran makna dari aspek positif ke makna yang negatif (تحويل المعنى من الإيجابي إلى السلبي) atau gradasi makna.

Jika pada kajian aspek linguistik, hal ini merupakan sesuatu yang wajar dan biasa terjadi. Akan tetapi, khusus dalam kasus pemaknaan 'Radikal' berubah menjadi 'radikalisme' ternyata memiliki aspek sosiolinguistik serta aspek psikolinguistik yang sangat signifikan dan terkesan sangat merugikan.

Lebih-lebih, pada akhirnya jika diksi kata ini diarahkan dan dibidikkan pada penyematan sebelah pihak saja yang terkesan tidak adil terhadap kaum muslimin yang sedang berjuang menegakkan aspek syariatnya.

Di sinilah salah satu bentuk 'Ghazwatul Fikri' (perang pemikiran) yang dipropagandakan pihak orientalis Barat demi menggiring satu opini bahwa di kalangan umat Islam terdapat satu gerakan yang bersifat radikalisme, barbarian serta membahayakan.

Padahal, jika mau memang mau jujur dan objektif, gerakan yang dinegasikan sebagai gerakan revolusioner atau reformis, ternyata bukan hanya terdapat di dalam Islam saja.

Jika dikaji dalam sejarah, kita akan temukan ada banyak gerakan revolusioner, bahkan lebih mengarah pada tindakan genosida/pembantaian yang dilakukan oleh kelompok di luar penganut Islam terhadap lawannya.

Bahkan, tidak sedikit sasaran genosida itu dilakukan terhadap umat Islam sendiri, seperti pembantaian Ratu Elizabeth di Spanyol, maupun kejadian umat Islam di Burma beberapa tahun yang lalu.

Namun, streotipe Barat tidak pernah menyebut bahwa kelompok di luar penganut Islam sebagaimana pelabelan yang disematkan pada umat Islam, yaitu radikal dan teroris. Ini tentu penyematan yang tidak adil dan hanya menggiring pada pembusukan citra umat Islam saja.

Lantas, apakah radikalisme hanya disematkan pada umat Islam? Jika radikalisme berakar dari kata yang bermakna positif, mengapa tidak ada upaya untuk meaktualisasikan kembali pada maknanya yang hakiki? Jika ada kemudian dampaknya yang negatif, mengapa objek sasaran dan tudingannya hanya mengarah pada kelompok muslim saja?

Pada akhirnya, di sinilah kita baru mengerti dan paham bahwa 'diksi politis' radikalisme yang telah mengalami reduksi kata memang sengaja dibiarkan, didiamkan, diendap dan membusuk demi kepentingan politis pembusukan terhadap umat Islam.

Sayangnya, banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang belum memahami dan menyadarinya ancaman dan penggiringan opini ini. Bahkan, banyak ormas Islam saat ini yang kemudian terjebak ikut mempropagandakan untuk ikut memeranginya. Inilah mengapa umat Islam sampai hari ini sulit menggapai kebangkitan kembali Islam yang gemilang, Islam yang rahmatan lil 'alamin. Allahu A'lam.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4925 seconds (0.1#10.140)