Batal Haji, Baiknya Diganti dengan Menyantuni Fakir Miskin

Jum'at, 27 Maret 2020 - 09:48 WIB
Batal Haji, Baiknya Diganti dengan Menyantuni Fakir Miskin
Batal Haji, Baiknya Diganti dengan Menyantuni Fakir Miskin
A A A
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah melakukan lockdown dua tempat suci: Makkah dan Madinah. Penyelenggaraan umrah ditutup untuk jamaah asing maupun lokal. Larangan ini bersifat sementara, untuk mencegah penyebaran virus corona baru, COVID-19.

Hingga Kamis kemarin (26/3/2020) tercatat ada 900 kasus atau orang yang terinfeksi dengan dua orang di antaranya meninggal dan 29 pasien disembuhkan.

Belum ada tanda-tanda pandemi mereda, meski di China—negara pertama virus itu muncul—tidak ada kasus baru yang berasal dari lokal, melainkan kasus impor. Situasi ini memicu kekhawatiran pandemi COVID-19 bisa meniadakan pelaksanaan ibadah haji tahun ini.

Berbeda dengan umrah yang biasanya bisa dilakukan kapan saja, ibadah haji hanya boleh dilakukan pada hari-hari awal Dzul-Hijjah, bulan terakhir dari kalender Islam.

Kini, calon jamaah haji Indonesia tentu saja harap-harap cemas menunggu kepastian tentang keberangkataan mereka ke Tanah Suci. Pemerintah Indonesia pun masih menunggu kepastian dari Pemerintah Saudi. Sejauh ini penjaga dua tempat suci umat Islam itu juga belum dapat memastikan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 dapat dilaksanakan atau ditiadakan.

Menunaikan ibadah haji menjadi dambaan setiap muslim. Begitu juga mereka yang kini sudah masuk daftar tunggu. Sudah bertahun-tahun mereka menanti giliran berangkat ke Tanah Suci. Serangan corona, bisa jadi, telah membuyarkan impian mereka. Haruskah mereka kecewa?

Ada sebuah kisah yang bisa diambil hikmahnya. Tengoklah kisah seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq. Dikisahkan, Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), ulama asal Marwaz, Khurasan, berkeinginan pergi haji. Untuk itu, ia bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan.

“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya.

“Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya.

“Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.

Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.

Ibnu Mubarok lalu memberi salam kepadanya. Ia menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita Ibnu Mubarok, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Dan setelah sadar, Ibnu Mubarok memohon agar Muwaffaq menceritakan pengalaman hajinya hingga ia memperoleh predikat haji mabrur tersebut.

Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.

Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.

Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya. “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.

Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.

Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Namun batal pergi haji karena uzur syar’i tidak perlu diratapi. Jika umur panjang, masih ada waktu di tahun-tahun berikutnya.

Lebih jauh lagi, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama. Apalagi di tengah wabah corona yang sedang mengganas ini. Karena, beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar. Wallahu a'lam.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3983 seconds (0.1#10.140)