Inflasi ceramah Ramadan

Sabtu, 04 Agustus 2012 - 12:44 WIB
Inflasi ceramah Ramadan
Inflasi ceramah Ramadan
A A A
RAMADAN adalah bulan ibadah di mana muslim menunaikan ibadah puasa, tarawih, tadarus, iktikaf, dan sedekah. Selain itu, Ramadan adalah bulan ceramah di mana muslim menyelenggarakan ceramah-ceramah keagamaan di masjid, musala, perkantoran, radio, dan televisi.

Ceramah Ramadan adalah tradisi keagamaan yang dikembangkan para pendakwah Islam di Indonesia. Alquran memerintahkan agar kaum beriman berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran (QS Al- Asr: 3) dan kasih sayang (QS Al- Balad: 17). Muslim wajib saling mengingatkan agar selamat dan sukses dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dalam hadis disebutkan: Agama adalah nasihat (al-dinu al-nasihat). Ceramah dianjurkan sepanjang masa, bukan khusus di bulan Ramadan. Intensifikasi dan ekstensifikasi ceramah Ramadan adalah kreativitas pendakwah Islam untuk menjadikan Ramadan sebagai momentum peningkatan iman dan takwa.

Miskin makna
Sangat disayangkan, ceramah Ramadan justru terasa berlebihan dan miskin makna. Pertama, pengertian tausiah sebatas ceramah. Menurut al-Qurtubi di dalam tafsirnya, kata “tawasau” dalam surah al-Asr: 3 berarti “tahabbu”: saling mencintai, menyayangi, berbagi kasih dengan saling mengingatkan, menasihati, dan memberi. Frasa “tawasau bi almarhamah” di dalam surah al- Balad: 17 berarti kasih sayang (rahmat) kepada makhluk.

Merujuk al-Qurtubi, tawasau harus diimplementasikan dalam bentuk konseling, aksi, dan tindakan yang menyelamatkan sesama manusia. Peringatan dapat berupa sanksi hukum bagi yang bersalah atau advokasi bagi yang lemah. Berwasiat kepada makhluk berarti melestarikan alam semesta, flora dan fauna. Kedua, ceramah dilaksanakan semata-mata sebagai formalitas mengisi waktu kosong, atau syarat-rukun suatu pertemuan.

Di media massa, khususnya televisi, ceramah telah menjadi bagian dari hiburan dan komersialisasi Ramadan. Ceramah Ramadan takluk pada budaya pop dan subordinat program komedi yang merajai tayangan media televisi. Para ustad dituntut tampil ngepop dan melucu sebagaimana layaknya komedian. Televisi adalah “lahan basah” dan media strategis bagi para ustad untuk memopulerkan diri. Tentu saja tidak seluruh ustad di televisi larut dalam arus budaya pop dan takluk pada kehendak rating pemirsa.

Tetapi tanpa ketulusan dan komitmen dakwah yang tegas, ceramah agama terasa sangat kering nilai dan miskin makna spiritual. Ketiga, materi ceramah sangat monoton, monolitik, dan repetitif. Pertama, pengurus atau takmir masjid tidak cukup berkualitas dan kreatif mengembangkan topik aktual dan kontekstual. Mereka terlalu sibuk menyusun jadwal ceramah dan penceramah. Kedua, kualitas penceramah yang “asal comot”: masih taraf belajar atau “langganan tetap”: jam terbang tinggi, mendalami agama dan raja podium tetapi keterbatasan waktu, ceramahnya tidak ubahnya album rekaman.

Peningkatan mutu dan manajemen
Walaupun terdapat banyak kelemahan, tradisi ceramah Ramadan tetap penting dikembangkan. Ceramah Ramadan adalah pendidikan publik yang strategis. Pengembangan ceramah Ramadan dapat dilakukan melalui beberapa cara. Pertama, pengkajian yang berbasis teks (text-based) berdasarkan buku atau kitab tertentu. Model ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi pendidikan agama di masjid, pesantren, atau madrasah.

Pengkajian Tafsir al-Misbah oleh Prof Quraish Shihab di televisi adalah bentuk modern dari model tradisional ini. Alternatif lainnya adalah pengkajian berbasis tema (theme-based). Pengkajian disusun untuk tema tertentu dengan pengkajian yang berkelanjutan. Dengan model ini, umat akan memiliki landasan dan wawasan keberagamaan yang mendalam dan kuat. Kedua, peningkatan kapasitas dan profesionalisme pengurus atau takmir masjid.

Selama ini masjid dikelola dengan manajemen “seikhlasnya”. Praktiknya, para takmir bekerja serabutan, mengerjakan semuanya, sebisanya, seluangnya, dan imbalan seadanya. Masjid dan komunitasnya perlu mengembangkan pengelolaan dengan lebih profesional sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Konsep ikhlas dan profesional perlu ditafsirkan kembali dalam konteks ketakmiran dan tata kelola masjid yang modern.

Dengan kualitas dan profesionalitas, takmir mampu mengelola kegiatan keagamaan lebih baik, kreatif dan inovatif. Ketiga, diperlukan pelaksanaan regulasi yang lebih tegas oleh pihak-pihak berwenang untuk mengawasi siaran-siaran di media massa, khususnya siaran agama di televisi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu lebih tajam menilai dan memastikan agar isi dan penyajian acara agama tidak menyimpang, bertentangan, kontraproduktif, dan merusak umat.

Jika langkah-langkah pembaharuan tidak dilakukan, ceramah Ramadan berdampak apapun dalam kehidupan sosial dan keadaban publik. Ceramah menggema, korupsi tetap menggurita, kriminalitas merajalela, dan moral porak-poranda. Saatnya kita berbenah agar ceramah tidak hanya formalitas, rutinitas, seremonial, dan pengisi waktu luang belaka.

ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah;
Dosen IAIN Walisongo, Semarang
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3737 seconds (0.1#10.140)