Peran emansipatoris agama

Rabu, 08 Agustus 2012 - 14:36 WIB
Peran emansipatoris agama
Peran emansipatoris agama
A A A
PERINTAH ibadah puasa yang diturunkan Allah SWT mengandung makna yang demikian dalam. Puasa bukan hanya kewajiban menahan lapar dan haus, melainkan lebih dari itu yakni sebagai media untuk pendewasaan spiritual dalam memaknai hakikat beragama.

Di bulan suci inilah kita diperintahkan untuk merefleksikan seluruh perjalanan kita sebagai manusia dalam mengemban amanah-Nya sebagai khalifah filard. Kita dituntut untuk mawas diri, berkaca, serta berefleksi tentang bagaimana kita memaknai keberagamaan kita selama ini.

Apakah keberagamaan kita di luar Ramadan selama ini hanyalah kepura-puraan belaka, apakah kita selama ini mengaku beragama tapi memakan hak-hak orang lain, beragama, tapi tak peduli persoalan sosial yang berkembang, atau mungkin juga kita beragama, tapi justru tingkah laku jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri.

Intinya, Allah menurunkan Ramadan agar kita benar-benar menjadi insan yang muttaqin dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu menjadi wakil Allah di muka bumi. Misi utama diturunkannya agama adalah untuk menuntun umat manusia ke jalan yang benar, membebaskan manusia dari segala macam ketidakadilan, kebodohan, serta menjalin persaudaraan sesama umat manusia. Itu pula misi utama Rasulullah diutus sebagai nabi, yakni menyempurnakan akhlak umat manusia.

Pada titik inilah maka misi yang terkandung dalam kebenaran agama tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan komitmen solidaritas dan emansipasi. Komitmen emansipatoris sebagai salah satu ukuran kebenaran (agama) harus mampu membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu zamannya, mengentaskan dari ketertindasan, kebodohan, serta eksploitasi struktural maupun kultural.

Maka di sinilah keberadaan agama dengan segenap ajaran sucinya juga harus memperhatikan hak-hak kaum minoritas yang seringkali tak tersentuh kebijakan negara.

Karena itu, keberpihakan dan praksis emansipatoris harus menjadi kata kunci yang menjadi ruh dari sebuah keberagamaan kita bersama. Di sinilah Ramadan akan mengasah dan menempa pribadi-pribadi yang takwa menjadi lebih peka dan dewasa baik secara spiritual, emosional, maupun dewasa secara sosial. Apa maknanya? Ramadan sebagai madrasah ruhaniyyah (sekolah jiwa) di mana di dalamnya kita ditempa menjadi pribadi yang berkualitas (insan kamil) diharapkan mampu menjadikan masing-masing kita untuk meletakkan agama bukan sebagai benda mati, tetapi lebih dari itu harus meletakkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang dinamis.

Agama dengan demikian tidak lagi berwajah tua, renta, dan beku, tapi mampu menjadi pemantik bagi sebuah transformasi sosial dengan peran profetis dan sosial yang diembannya. Dengan peran profetis itulah, keberadaan agama menjadi betul-betul bermakna dan menemukan relevansinya dalam kehidupan.

Agama betul-betul menjadi rahmatan lil ‘alamin. Maka sakralitas peradaban umat manusia dengan demikian sesungguhnya ditentukan oleh signifikansi agama itu sendiri dalam mewujudkan masa depan peradaban yang lebih manusiawi. Ibadah Ramadan yang sedang kita laksanakan diharapkan mampu melahirkan sebuah kesadaran keberagamaan yang dinamis, yang pada akhirnya mampu melahirkan sebuah sikap serta pandangan keberagamaan yang progresif dan transformatif.

Ketika itu semua terwujud, di situlah sesungguhnya kualitas ketakwaan kita menjadi meningkat dan kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Karena itu, momentum Ramadan haruslah benar-benar kita manfaatkan untuk muhasabah (refleksi) bahwa agama tidak boleh berhenti melakukan pembacaan terhadap problematika umat. Dengan itu, barulah wahyu sesungguhnya bisa ditafsir maknanya berkaitan dengan makna agama bagi perjuangan hidup.

H MARWAN JA’FAR
Ketua FPKB DPR dan Ketua Dewan Pembina Laskar Aswaja
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6318 seconds (0.1#10.140)