Tuhan itu sama

Sabtu, 13 Juli 2013 - 08:00 WIB
Tuhan itu sama
Tuhan itu sama
A A A
Ada yang salah kaprah dalam cara kita memahami dan menghayati Ramadan yakni seakan-akan Tuhan pada Ramadan itu berbeda dari Tuhan di luar Ramadan. Lihatlah cara orang menahan marah.

Kalau ada orang yang menjengkelkan saat berpuasa, ada yang menahan marah dengan gumaman, “Untung ini bulan puasa. Kalau bukan bulan puasa, sudah kuhajar, kau.” Kalau ada orang yang melakukan kesalahan atau maksiat seringkali kita mengingatkan dengan kalimat, “Hai, jangan begitulah. Ini kan Ramadan.” Bahkan ada yang mengatakan agar kita menghindari politik karena ini Ramadan. “Jangan berpolitik dululah. Ini kan Ramadan,” demikian sering kita dengar.

Ini sama belaka dengan kesalahkaprahan saat kita sedang melakukan ibadah haji atau ibadah umrah di Tanah Suci. Kerapkali seseorang menahan marah atau menghindari perbuatan maksiat karena merasa ada di Tanah Suci. “Jangan marah-marahlah. Ini di Tanah Suci ,” atau, “Eh, jangan begitu, kita sedang di Mekkah.” Ihwal tersebut memberi kesan kuat bahwa saat Ramadan atau sedang di Tanah Suci kita tidak boleh berbuat salah, tetapi saat bukan Ramadan atau di luar Tanah Suci boleh melakukan apa saja.

Padahal Tuhan maupun malaikat pencatat amal adalah Tuhan dan malaikat-malaikat yang sama, baik pada saat Ramadan maupun bukan Ramadan, baik saat di Tanah Suci maupun saat di bumi Indonesia. Tuhan yang sama dan satu itu Allah Subhanahu Wataala jua. Bukan yang lain. Sebenarnya cara mengekspresikan seperti itu, tanpa disadari, sudah membedakan siapa Tuhan pada Ramadan dan siapa Tuhan di luar Ramadan atau sekurang-kurangnya membedakan sifat-sifat Tuhan pada Ramadan dan di luar Ramadan.

Kita didorong untuk berhati-hati serta takut pada murka Tuhan atau berharap rahmat dari Tuhan hanya pada Ramadan. Sementara di luar Ramadan seakan-akan kita ditoleransi untuk berbuat apa saja. Haruslah disadari bahwa berbuat baik dan berbuat jelek itu tetap dinilai berpahala atau berdosa kapan pun dan di mana pun. Allah maupun para malaikat bekerja di semua waktu dan semua ruang atau di dimensi-dimensi lain di luar ruang dan waktu.

Di dalam kitab suci Alquran ditegaskan, “Kapan pun dan ke mana pun engkau hadapkan dirimu, di sana ada monitor dari kemahakuasaan Allah.” Aynamaa tuwalluu fa tsamma wajhullaah. Jadi tidaklah tepat upaya menahan diri itu hanya dihayati sebagai upaya menangguhkan untuk melampiaskannya sampai selesainya Ramadan atau sampai ke luar dari Tanah Suci. Sedang berpuasa maupun tidak sedang berpuasa pada Ramadan atau di luar Ramadan, di Tanah Suci atau di mana pun, kita harus menahan hawa nafsu dari berbagai godaan setan.

Maka itu, menjadi tidak relevan pula pernyataan agar kita tidak berpolitik saat bulan puasa. Kesalahan dari pernyataan tentang politik dan puasa itu ada dua. Pertama, membedakan Tuhan dan cara kerja Tuhan antara pada Ramadan dan pada luar Ramadan. Kedua, mengesankan secara kuat bahwa berpolitik itu perbuatan jelek sehingga tak boleh dilakukan pada bulan baik. Padahal berpolitik itu tidak selalu jelek, bahkan berpolitik itu bisa menjadi amal ibadah yang pahalanya besar sejauh dilakukan sesuai niat dan cara yang baik yakni membangun kesejahteraan masyarakat.

Saya pernah mengatakan bahwa berpolitik itu bisa menjadi haram atau wajib. Berpolitik itu haram kalau dilakukan dengan cara tipu-tipu dan koruptif, tetapi berpolitik menjadi wajib jika dimaksudkan untuk mencegah kemungkaran dan membangun kemaslahatan. Jadi tak bisalah kita mengimbau agar orang tidak berpolitik pada Ramadan. Kalau Tuhan dan cara kerjanya selalu sama di mana pun dan kapan pun, lantas apakah makna bahwa Ramadan adalah bulan istimewa?

Bukankah Tuhan yang mengatakan bahwa Ramadan bulan yang mulia dan Allah sendirilah yang memberi pahala bagi yang berpuasa? Pernyataan Tuhan yang seperti itu sama sekali tak boleh diartikan bahwa ada perbedaan antara Tuhan dan cara kerjanya berdasar waktu dan tempat tertentu. Pahala dan dosa, janji dan ancaman, yang diberikan Tuhan itu tetaplah berlaku kapan pun dan di mana pun. Pada Ramadan Tuhan tetap murka dan mencatatnya sebagai dosa kalau kita berbuat maksiat. Sebaliknya, meski di luar Ramadan Tuhan akan memberi pahala kebaikan jika kita berbuat baik.

Dengan demikian, kebaikan atau keistimewaan Ramadan dengan ritual khusus ini haruslah dimaknai sebagai tune up bagi diri kita. Ibarat merawat mobil yang sudah dipakai sekian lama, diri kita ini harus dibersihkan dan diremajakan berbagai onderdil rohaniahnya agar menjadi bersih dan baik kembali. Sebab itu, orang yang bisa berpuasa dengan baik, dengan iman dan ihtisab, dinyatakan berhasil melakukan tune up atas dirinya sehingga menjadi idul fitri alias suci kembali.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0576 seconds (0.1#10.140)