Puasa melawan nifak-tamak

Senin, 29 Juli 2013 - 09:49 WIB
Puasa melawan nifak-tamak
Puasa melawan nifak-tamak
A A A
WAKTU itu di bulan Ramadan. Rasulullah menjumpai seseorang yang tengah memaki hamba sahayanya, padahal dia sedang berpuasa.

Nabi kemudian menghampiri orang itu seraya berkata, ”Makanlah kurma ini.” Sahabat Nabi itu kaget. ”Aku ini sedang berpuasa ya Rasulullah,” katanya. Nabi kemudian bersabda, ”Rubba min shaim laisa min shiyamihi illa al-ju’i wa al-athasi.” Artinya, banyak orang yang berpuasa tetapi tiada hasil dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

Sekelumit kisah di masa Nabi Muhammad tersebut menunjukkan betapa puasa Ramadan bukanlah sekadar ritual dan rutinitas belaka. Bukan hanya berlapar-lapar, menahan haus, dan tidak menyalurkan pemenuhan nafsu biologis secara lahir semata.

Puasa semestinya melahirkan transformasi atau perubahan perilaku yang radikal dalam diri setiap muslim yang menunaikannya. Puasa harus merasuk ke jantung hati untuk membersihkan jiwa dari segala hawa nafsu yang kotor (fuzara) menuju jiwa yang utama atau muttaqa(QS Asy-Syams: 7–8).

Puasa antinifak

Puasa yang hakiki dan tidak sekadar verbalitas akan mampu mengikis sifat nifak (kemunafikan) yang bersarang dalam diri manusia. Sifat nifak itu, menurut sabda Nabi, ada tiga cirinya, yakni jika berbicara suka dusta, bila berjanji tidak menepati, dan manakala diberi kepercayaan berkhianat. Sifat munafik tumbuh dalam diri manusia yang imannya keropos.

Dengan puasa sifat nifak dapat dihilangkan karena sesungguhnya ibadah yang satu ini dapat melatih dan menumbuhkembangkan kejujuran bagi pelakunya. Ketika berpuasa, siapa pun tidak akan pernah tahu apakah yang bersangkutan membatalkan puasanya atau tidak, kecuali dirinya dan Tuhan yang mengetahui. Apabila puasa dijadikan jalan rohaniah membentuk pribadi-pribadi yang jujur secara autentik, segala penyakit kemunafikan yang diperagakan elite dan warga bangsa akan sirna.

Sifat nifak bahkan diperagakan oleh sebagian elite politik agama yang merasa diri suci di ruang publik, tetapi perangainya jauh panggang dari api. Perilaku korup, suka berdusta, gemar beretorika tetapi kenyataannya berbeda, mengakali sistem, banyak mengumbar janji manis minus tindakan nyata, tak pernah mengakui salah, dan berbagai perangai yang serbaparadoks lainnya menjadi pemandangan umum di negeri ini. Hal itu merupakan pertanda masih meluasnya sifat nifak.

Ketika perilaku nifak meluas, sesungguhnya esensi dan fungsi sublimasi puasa serta ibadah-ibadah lain dari mayoritas penduduk yang mengaku muslim penting untuk dipertanyakan. Adakah puasa dan berbagai ibadah ritual itu benar-benar membentuk kepribadian takwa atau sekadar verbalitas laksana kembang api yang meriah, tetapi kehilangan substansi.

Puasa antitamak

Puasa yang hakiki secara revolusioner sesungguhnya juga dapat menghilangkan sifat tamak dalam diri manusia. Tamak atau serakah terhadap dunia merupakan sifat bawaan manusia yang cenderung selalu ingin berlebih dengan meraih serta menumpuk-numpuk harta, kuasa, dan segala kesenangan duniawi (QS At-Takatsur, Al- Humazah, danAli Imran: 14).

Nabi Muhammad bersabda mengenai sifat tamak manusia dengan memberikan perumpamaan. Andaikan manusia itu diberi satu gunung emas, dia akan meminta gunung yang kedua dan seterusnya meminta yang ketiga. Qarun setelah diberi kekayaan berlimpah lupa diri.

Kaum Saba dan ‘Ad ingkar nikmat dan menjadi durhaka setelah dianugerahi Allah negeri yang kekayaannya melimpah. Karena tamak itulah, tidak sedikit anak cucu Adam menghinakan diri demi harta, takhta, dan segala perhiasan duniawi yang penuh glamor. Menggunakan segala cara demi meraih kegemerlapan dunia itu.

Mereka tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang pantas dan tidak pantas. Pada titik ini puasa dapat dijadikan proses transformasi rohaniah untuk mengekang sifat tamak. Makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis merupakan kebutuhan alamiah manusia yang niscaya. Manusia bahkan dianjurkan untuk memenuhinya dengan cara yang halal dan baik serta tidak boleh menegasikannya secara ghuluw atau ekstrem.

Puasa yang mampu melewati tahap lahir menuju jantung terdalam batin ialah puasa khawash al-khawas, tulis Al-Ghazali. Puasa tersebut adalah puasa para hamba Tuhan yang superspesial, yang melampaui puasa syariat menuju tangga hakikat dan makrifat. Itulah puasa yang mampu meraih puncak rohaniah tertinggi, yaitu mencapai derajat kualitas takwa sebagaimana tujuan ibadah Ramadan ini (QS Al- Baqarah[2]: 183).

HAEDAR NASHIR
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4658 seconds (0.1#10.140)