Puasa dan Peran Emansipatoris Agama
A
A
A
PERINTAH ibadah puasa yang diturunkan Allah SWT mengandung makna yang demikian dalam. Ia bukan sekadar kewajiban menahan lapar dan dahaga saja di siang hari, tetapi lebih dari itu juga sebagai media untuk pendewasaan spiritual kita dalam memaknai hakikat kita beragama.
Di bulan suci inilah kita diperintahkan untuk merefleksikan seluruh perjalanan kita sebagai manusia dalam mengemban amanah-Nya sebagai khalifah fil ard. Kita dituntut untuk mawas diri, berkaca, serta berefleksi tentang bagaimana kita memaknai keberagamaan kita selama ini.
Apakah keberagamaan kita di luar Ramadan selama ini hanyalah kepura-puraan belaka? Apakah kita selama ini mengaku beragama tapi memakan hak-hak orang lain, beragama tapi tak peduli persoalan sosial yang berkembang, atau mungkin juga kita beragama tapi justru tingkah laku kita jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri. Intinya, Allah menurunkan Ramadan agar kita benar-benar menjadi insan yang muttaqin dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu menjadi wakil Allah di muka bumi.
Misi utama diturunkannya agama adalah untuk menuntun umat manusia ke jalan yang benar, membebaskan manusia dari segala macam ketidakadilan, kebodohan serta menjalin persaudaraan sesama umat manusia. Itu pula misi utama Rasulullah diutus sebagai Nabi, yakni menyempurnakan akhlak umat manusia. Pada titik inilah maka misi yang terkadung dalam kebenaran agama tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan komitmen solidaritas dan emansipasi.
Komitmen emansipatoris sebagai salah satu ukuran kebenaran (agama) harus mampu membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu zamannya, mengentaskan dari ketertindasan, kebodohan, serta eksploitasi struktural maupun kultural. Maka, di sinilah keberadaan agama dengan segenap ajaran sucinya juga harus memperhatikan hak-kak kaum minoritas yang seringkali tak tersentuh kebijakan negara.
Karenanya, keberpihakan dan praksis emansipatoris harus menjadi kata kunci yang menjadi ruh dari sebuah keberagamaan kita bersama. Di sinilah Ramadan akan mengasah dan menempa pribadi-pribadi yang takwa menjadi lebih peka dan dewasa baik secara spiritual, emosional maupun dewasa secara sosial.
Apa maknanya? Ramadan sebagai madrasah ruhaniyyah (sekolah jiwa), di mana di dalamnya kita ditempa untuk menjadi pribadi yang berkualitas (insan kamil) diharapkan mampu menjadikan masing-masing kita untuk meletakkan agama bukan sebagai benda mati, tetapi lebih dari itu harus meletakkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang dinamis. Agama dengan demikian tidak lagi berwajah tua, renta dan beku, tapi mampu menjadi pemantik bagi sebuah transformasi sosial dengan peran profetis dan sosial yang diembannya.
Dengan peran profetis itulah maka keberadaan agama menjadi betul-betul bermakna dan menemukan relevansinya dalam kehidupan. Agama betul-betul menjadi rahmatan lil 'alamin. Maka, sakralitas peradaban umat manusia dengan demikian sesungguhnya ditentutan oleh signifikansi agama itu sendiri dalam mewujudkan masa depan peradaban yang lebih manusiawi.
Ibadah Ramadan yang sedang kita laksanakan tentu diharapkan mampu melahirkan sebuah kesadaran keberagamaan yang dinamis, yang pada akhirnya mampu melahirkan sebuah sikap serta pandangan keberagamaan yang progresif dan transformatif. Ketika itu semua terwujud, maka di situlah sesungguhnya kualitas ketakwaan kita menjadi meningkat dan kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Sebagai hidayah Tuhan yang paling suci, agama harus berani tampil paling depan dan mengambil sikap tegas terutama dalam hal persoalan keadilan, pemihakan terhadap orang-orang yang lemah serta perebutan makna-makna pemerdekaan (tauhid) lainnya. Karena tujuan risalah al-Islamiyah intinya adalah bagaimana membawa ide agama untuk menegakkan tatanan sosial yang adil sebagai cita-cita ketakwaan.
Semuanya itu tidak mungkin akan terwujud, tanpa kita semua sebagai umat beragama berani merumuskan apa yang sesungguhnya sedang bergolak dalam sejarah, sehingga agama tetap menemukan pesan dasarnya untuk menahan terjadinya dehumanisasi (nahy 'anil munkar) dan melakukan aksi emansipatoris (amr bil ma'ruf).
Karenanya, momentum Ramadan harus benar-benar kita manfaatkan untuk muhasabah (refleksi) bahwa agama tidak boleh berhenti melakukan pembacaan terhadap problematika umat. Sebab dengan itu barulah wahyu sesungguhnya bisa ditafsir maknanya berkaitan dengan makna agama bagi perjuangan hidup.
Keprihatinan kita selama ini adalah bahwa agama dalam banyak hal telah menjadi kesalehan eskapistik yang membiarkan dirinya menjadi simbol yang bisa bahkan acuh terhadap kemungkaran sosial yang terus berlangsung. Padahal semestinya agama mengambil prakarsa untuk mempertanyakan keadaan sosial ekonomi yang timpang, tidak hanya dalam bentuk menanamkan kesalehan ritual belaka, tapi yang lebih penting dari itu mewujudkan kesalehan sosial yang mampu membongkar proses dehumanisasi. Inilah inti dari peran emansipatoris agama, dan ibadah puasa diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi yang bertaKwa yang mampu membawa misi suci agama. (*)
ACHMAD MAULANI,
Kandidat Doktor Universitas Indonesia, alumni Pesantren Manbaul Ulum Banyuwangi.
Di bulan suci inilah kita diperintahkan untuk merefleksikan seluruh perjalanan kita sebagai manusia dalam mengemban amanah-Nya sebagai khalifah fil ard. Kita dituntut untuk mawas diri, berkaca, serta berefleksi tentang bagaimana kita memaknai keberagamaan kita selama ini.
Apakah keberagamaan kita di luar Ramadan selama ini hanyalah kepura-puraan belaka? Apakah kita selama ini mengaku beragama tapi memakan hak-hak orang lain, beragama tapi tak peduli persoalan sosial yang berkembang, atau mungkin juga kita beragama tapi justru tingkah laku kita jauh dari nilai-nilai agama itu sendiri. Intinya, Allah menurunkan Ramadan agar kita benar-benar menjadi insan yang muttaqin dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu menjadi wakil Allah di muka bumi.
Misi utama diturunkannya agama adalah untuk menuntun umat manusia ke jalan yang benar, membebaskan manusia dari segala macam ketidakadilan, kebodohan serta menjalin persaudaraan sesama umat manusia. Itu pula misi utama Rasulullah diutus sebagai Nabi, yakni menyempurnakan akhlak umat manusia. Pada titik inilah maka misi yang terkadung dalam kebenaran agama tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan komitmen solidaritas dan emansipasi.
Komitmen emansipatoris sebagai salah satu ukuran kebenaran (agama) harus mampu membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu zamannya, mengentaskan dari ketertindasan, kebodohan, serta eksploitasi struktural maupun kultural. Maka, di sinilah keberadaan agama dengan segenap ajaran sucinya juga harus memperhatikan hak-kak kaum minoritas yang seringkali tak tersentuh kebijakan negara.
Karenanya, keberpihakan dan praksis emansipatoris harus menjadi kata kunci yang menjadi ruh dari sebuah keberagamaan kita bersama. Di sinilah Ramadan akan mengasah dan menempa pribadi-pribadi yang takwa menjadi lebih peka dan dewasa baik secara spiritual, emosional maupun dewasa secara sosial.
Apa maknanya? Ramadan sebagai madrasah ruhaniyyah (sekolah jiwa), di mana di dalamnya kita ditempa untuk menjadi pribadi yang berkualitas (insan kamil) diharapkan mampu menjadikan masing-masing kita untuk meletakkan agama bukan sebagai benda mati, tetapi lebih dari itu harus meletakkan dan menjadikannya sebagai sesuatu yang dinamis. Agama dengan demikian tidak lagi berwajah tua, renta dan beku, tapi mampu menjadi pemantik bagi sebuah transformasi sosial dengan peran profetis dan sosial yang diembannya.
Dengan peran profetis itulah maka keberadaan agama menjadi betul-betul bermakna dan menemukan relevansinya dalam kehidupan. Agama betul-betul menjadi rahmatan lil 'alamin. Maka, sakralitas peradaban umat manusia dengan demikian sesungguhnya ditentutan oleh signifikansi agama itu sendiri dalam mewujudkan masa depan peradaban yang lebih manusiawi.
Ibadah Ramadan yang sedang kita laksanakan tentu diharapkan mampu melahirkan sebuah kesadaran keberagamaan yang dinamis, yang pada akhirnya mampu melahirkan sebuah sikap serta pandangan keberagamaan yang progresif dan transformatif. Ketika itu semua terwujud, maka di situlah sesungguhnya kualitas ketakwaan kita menjadi meningkat dan kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung.
Sebagai hidayah Tuhan yang paling suci, agama harus berani tampil paling depan dan mengambil sikap tegas terutama dalam hal persoalan keadilan, pemihakan terhadap orang-orang yang lemah serta perebutan makna-makna pemerdekaan (tauhid) lainnya. Karena tujuan risalah al-Islamiyah intinya adalah bagaimana membawa ide agama untuk menegakkan tatanan sosial yang adil sebagai cita-cita ketakwaan.
Semuanya itu tidak mungkin akan terwujud, tanpa kita semua sebagai umat beragama berani merumuskan apa yang sesungguhnya sedang bergolak dalam sejarah, sehingga agama tetap menemukan pesan dasarnya untuk menahan terjadinya dehumanisasi (nahy 'anil munkar) dan melakukan aksi emansipatoris (amr bil ma'ruf).
Karenanya, momentum Ramadan harus benar-benar kita manfaatkan untuk muhasabah (refleksi) bahwa agama tidak boleh berhenti melakukan pembacaan terhadap problematika umat. Sebab dengan itu barulah wahyu sesungguhnya bisa ditafsir maknanya berkaitan dengan makna agama bagi perjuangan hidup.
Keprihatinan kita selama ini adalah bahwa agama dalam banyak hal telah menjadi kesalehan eskapistik yang membiarkan dirinya menjadi simbol yang bisa bahkan acuh terhadap kemungkaran sosial yang terus berlangsung. Padahal semestinya agama mengambil prakarsa untuk mempertanyakan keadaan sosial ekonomi yang timpang, tidak hanya dalam bentuk menanamkan kesalehan ritual belaka, tapi yang lebih penting dari itu mewujudkan kesalehan sosial yang mampu membongkar proses dehumanisasi. Inilah inti dari peran emansipatoris agama, dan ibadah puasa diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi yang bertaKwa yang mampu membawa misi suci agama. (*)
ACHMAD MAULANI,
Kandidat Doktor Universitas Indonesia, alumni Pesantren Manbaul Ulum Banyuwangi.
(zik)