Kisah Nabi Musa Mengaku Bani Israel Tak Sanggup Sholat Meski Kurang dari Lima Waktu
Jum'at, 27 Januari 2023 - 10:38 WIB
Dalam peristiwa mikraj , Nabi Muhammad SAW berjumpa dengan Nabi Musa as dan nabi-nabi sebelumnya. Pada kesempatan itu Nabi Musa mengaku bahwa umatnya, yakni Bani Israil , tak sanggup mengerjakan kewajiban sholat kendati kurang dari lima waktu dalam sehari semalam.
Pengakuan Nabi Musa ini disampaikan saat beliau mendengar Allah SWT memerintahkan kepada umat Muhammad untuk sholat 5 waktu dalam sehari.
"Hai Muhammad, demi Allah, sesungguhnya aku telah membujuk Bani Israil:—umatku— untuk mengerjakan yang lebih sedikit dari lima waktu, tetapi mereka kelelahan, akhirnya mereka meninggalkannya," ujar Nabi Musa dengan harapan Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk meminta keringanan.
"Umatmu lebih lemah, tubuh, hati, badan, penglihatan, dan pendengarannya; maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintakanlah keringanan kepada-Nya buatmu," bujuk Nabi Musa.
Pada mulanya, Allah mewajibkan kepada umat Nabi Muhammad untuk sholat 50 waktu sehari semalam. Kewajiban ini disampaikan Allah kepada Nabi SAW saat di Sidratul Muntaha, satu tempat yang lebih tinggi dari langit ketujuh, tempat Nabi Muhammad berjumpa Nabi Musa.
Setelah mendengar firman Allah tentang kewajiban sholat itu, Jibril membawa Nabi Muhammad turun dari Sidratul Muntaha. Sesampainya mereka ke tempat Musa berada, maka Nabi Musa pun menahan keduanya dan berkata, "Hai Muhammad, apakah yang telah diperintahkan oleh Tuhanmu untukmu?"
Nabi SAW menjawab, "Tuhanku telah memerintahkan kepadaku sholat lima puluh kali setiap siang dan malam hari."
Musa berkata, "Sesungguhnya umatku tidak akan mampu mengerjakannya, sekarang kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan dari-Nya buatmu dan buat umatmu."
Nabi SAW menoleh kepada Jibril, seakan-akan beliau meminta saran darinya mengenai hal tersebut. Dan Jibril menjawab, "Baiklah jika kamu menghendakinya."
Jibril pun membawanya lagi naik kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahasuci, lalu Nabi SAW memohon kepada Allah SWT yang berada di tempat-Nya. "Wahai Tuhanku berikanlah keringanan buat kami, karena sesungguhnya umatku tidak akan mampu memikulnya."
Maka Allah memberikan keringanan sepuluh sholat kepadanya. Nabi SAW kembali kepada Musa dan Musa menahannya. Maka Musa terus menerus membolak-balikannya dari dia ke Tuhannya, hingga jadilah sholat lima waktu.
Setelah ditetapkan sholat lima waktu, Musa pun masih meragukan kemampuan umat Nabi Muhammad dan menyarakan agar meminta keringanan kepada Allah SWT.
Setiap kali mendapat saran dari Nabi Musa, Nabi SAW selalu menoleh kepada Jibril untuk meminta pendapatnya, dan Malaikat Jibril dengan senang hati menerimanya, akhirnya pada kali yang kelima Jibril membawanya naik dan ia berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya umatku adalah orang-orang yang lemah, tubuh, hati, pendengaran, penglihatan, dan jasad mereka, maka berilah keringanan lagi buat kami."
Maka Tuhan Yang Mahaperkasa, Mahasuci, lagi Mahatinggi berfirman, "Hai Muhammad." Nabi SAW menjawab, "Labbaikawasa'daika (saya penuhi seruan-Mu dengan penuh kebahagiaan)." Allah berfirman, "Sesungguhnya keputusan yang ada pada-Ku ini tidak dapat diubah lagi, persis seperti apa yang telah Aku tetapkan atas dirimu di dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz). Maka setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan. Dan kewajiban sholat itu telah tercatat lima puluh kali di dalam Ummul Kitab, sedangkan bagimu tetap lima kali."
Nabi SAW kembali kepada Musa dan Musa berkata "Apakah yang telah engkau lakukan?"
Nabi SAW menjawab, "Allah telah memberikan keringanan bagi kami, Dia telah memberikan kepada kami setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan yang semisal."
Musa berkata, "Sesungguhnya, demi Allah, saya telah membujuk Bani Israil untuk mengerjakan yang lebih ringan dari itu, tetapi mereka meninggalkannya. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan buat dirimu juga."
Rasulullah SAW bersabda, "Hai Musa, sesungguhnya —demi Allah— saya malu kepada Tuhanku, karena terlalu sering bolak-balik kepada-Nya."
Musa berkata, "Kalau begitu, turunlah engkau dengan menyebut nama Allah."
Kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari di dalam Kitabut Tauhid, bagian dari kitab sahihnya. Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam Sifatun Nabi SAW, dari Ismail ibnu Abu Uwais, dari saudaranya (yaitu Abu Bakar Abdul Hamid), dari Sulaiman ibnu Bilal. Imam Muslim meriwayatkannya dari Harun ibnu Sa'id dari Ibnu Wahb dari Sulaiman, yang di dalam riwayatnya Sulaiman memberikan tambahan, ada pula yang dikuranginya, serta ada yang didahulukan dan yang dibelakangkan.
Sholat Sebelum Mikraj
Menilik kisah ini, maka sesungguhnya kewajiban sholat juga berlaku bagi umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, perintah sholat lima kali sehari sebagai kewajiban diperoleh Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT langsung beliau mikraj. Lalu, bagaimana sholat Nabi sebelum perintah itu diperoleh?
Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” mengatakan bahwa sesungguhnya kapan kewajiban sholat itu dimulai banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. "Ada yang menyebutkan, sholat sudah dikerjakan Nabi Muhammad SAW sejak beliau diangkat menjadi rasul," tuturnya.
Pada awal kerasulannya, ada yang mengatakan, beliau biasa melakukan sholat dua rakaat pada waktu pagi dan petang. Namun, yang jelas dalam masalah sholat lima waktu, kata Ibnu Hajar, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa sholat lima waktu itu diwajibkan Allah kepada beliau dan umatnya yaitu pada malam kejadian di-isra' dan mikraj-kannya Nabi Muhammad SAW.
Adapun perkataan Aisyah ra yang menyatakan bahwa Khadijah wafat sebelum diwajibkannya sholat (sedangkan disebutkan bahwa Nabi melakukan sholat wajib bersama Khadijah). Menurut pendapat yang kuat (mu'tamad) menyatakan bahwa sholatnya tersebut adalah sholat sebelum diwajibkannya sholat lima waktu.
Jadi, yang dimaksudkan oleh Aisyah dengan perkataannya bahwa Khadijah wafat sebelum difardhukan sholat adalah sebelum difardhukan sholat lima waktu. Maka, tidaklah ada pertentangan di antara kedua pendapat itu. "Benar memang bahwa Khadijah wafat sebelum peristiwa isra' dan mikraj," demikian penjelasan Imam Ibnu Hajar.
Yahya Ibnu Salam juga berpendapat semua keterangan mengenai wajib sholat dalam Al-Quran Al-Karim yang turun sebelum terjadinya peritiwa di-isra' dan mikraj-kan Nabi Muhammad SAW, bukanlah sholat lima waktu.
Sholat lima waktu itu baru diwajibkan pada malam Nabi Muhammad SAW di-isra' dan mikraj-kan. Hal itu terjadi setahun sebelum hijrahnya ke Madinah.
Al-lmam Qadhi berkata, “Tidak dinafikkan (diingkari) bahwa Khadijah mendirikan sholat bersama Rasulullah SAW setelah sholat diwajibkan. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Khadijah meninggal sebelum hijrahnya Rasulullah SAW dan bahwa sholat lima waktu diwajibkan pada malam kejadian isra' mikraj-nya Rasulullah SAW."
Ibnu Dahiyah menegaskan bahwa yang dimaksud sholatnya Khadijah bersama Rasulullah SAW adalah sholat yang dikerjakan Rasulullah SAW sejak diangkat menjadi rasul, yaitu sebanyak dua rakaat pada waktu pagi (Subuh) dan dua rakaat pada waktu petang (Ashar). Sedangkan, sholat lima waktu diwajibkan pada malam isra mi'raj, yakni setelah wafatnya Khadijah.”
Nabi Musa Menangis
Sementara itu, Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya Rahiq al-Makhtum menjelaskan bahwa perjumpaan Nabi Muhammad saat sampai di langit keenam, bukan ketujuh.
Al-Mubarakfuri menjelaskan pada saat mikraj itu Nabi Muhammad SAW melalui tujuh lapis langit. Setiap langit terdapat nabi-nabi terdahulu. Langit pertama bertemu Nabi Adam, langit kedua bertemu Nabi Yahya bin Zakaria dan Nabi Isa bin Maryam, langit ketiga bertemu Nabi Yusuf, langit keempat bertemu Nabi Idris, langit kelima bertemu Nabi Harun bin Imran, langit keenam bertemu Nabi Musa bin Imran, dan langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim.
Setiap Nabi yang dijumpai Nabi Muhammad mengucapkan salam, lalu mereka menjawab dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Tapi ada yang aneh. Nabi Muhammad sempat terhenti saat berjumpa dengan Nabi Musa. Ketika hendak melanjutkan perjalanan ke langit ketujuh, Nabi Musa tiba-tiba menangis.
“Apa yang membuatmu menangis?” tanya Nabi Muhammad penasaran. “Aku menangis, karena ada orang yang lebih muda diutus setelahku, tapi umatnya lebih banyak yang masuk surga daripada umatku,” jawab Nabi Musa.
Nabi Musa menangis karena merasa sedih, jumlah umatnya lebih sedikit dari umat Nabi Muhammad dan kemuliaan umatnya juga dikalahkan oleh umat Nabi Muhammad yang lebih muda darinya. Padahal, masa umat Nabi Musa jauh lebih lama dibanding masa umat Nabi Muhammad.
Syaikh Badruddin Ahmad al-Aini dalam kitabnya Umdtaul Qari menjelaskan, “Musa menangis karena merasa sedih atas umatnya. Jumlahnya lebih sedikit dibanding umat Muhammad dan keutamaannya kalah dengan umat Muhammad.”
Sikap Nabi Musa demikian bukanlah karena rasa iri (hasud) dengan Nabi Muhammad. Melainkan karena merasa menyesal. Mengapa dulu umatnya banyak melanggar perintah Allah, sehingga mempengaruhi derajat kedudukannya di sisi Tuhannya.
Ketaatan suatu umat merupakan prestasi seorang Nabi. Semakin tinggi tingkat ketaatannya, semakin tinggi pula derajat Nabi yang membimbingnya di sisi Allah.
Sebaliknya, semakin umatnya sering melanggar perintah Allah, derajat Nabinya pun tidak setinggi Nabi yang berprestasi menuntun umat ke jalan ketaatan lebih gemilang. Musa merasa sangat menyesal. Ia telah dikaruniai usia yang panjang melebihi usia Nabi Muhammad.
Begitu pun umatnya lebih panjang usianya dibanding usia umat Muhammad. Tapi Nabi Musa gagal membina umatnya. Umatnya kalah banyak dibanding umat Muhammad. Sudah kalah banyak, kalah taat pula. Sesal Musa.
Salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada nabi-nabinya adalah besarnya rasa kasih sayang yang dimiliki setiap nabi-Nya. Jadi, di samping Musa merasa kurang berhasil dengan pencapaiannya, juga karena rasa sayang pada umatnya. Mengapa tidak bisa membimbing mereka lebih maksimal.
Syaikh Musa Lasyin, dengan mengutip ucapan Ibnu Abi Jamrah dalam Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim mengatakan, sesungguhnya Allah telah menjadikan rasa welas asih (rahmah) pada hati nabi-nabi-Nya, melebihi yang Ia berikan kepada hamba selain mereka. Oleh karena itu, Musa menangis karena rasa sayang terhadap umatnya.
Pengakuan Nabi Musa ini disampaikan saat beliau mendengar Allah SWT memerintahkan kepada umat Muhammad untuk sholat 5 waktu dalam sehari.
"Hai Muhammad, demi Allah, sesungguhnya aku telah membujuk Bani Israil:—umatku— untuk mengerjakan yang lebih sedikit dari lima waktu, tetapi mereka kelelahan, akhirnya mereka meninggalkannya," ujar Nabi Musa dengan harapan Nabi Muhammad kembali menghadap Allah untuk meminta keringanan.
"Umatmu lebih lemah, tubuh, hati, badan, penglihatan, dan pendengarannya; maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintakanlah keringanan kepada-Nya buatmu," bujuk Nabi Musa.
Pada mulanya, Allah mewajibkan kepada umat Nabi Muhammad untuk sholat 50 waktu sehari semalam. Kewajiban ini disampaikan Allah kepada Nabi SAW saat di Sidratul Muntaha, satu tempat yang lebih tinggi dari langit ketujuh, tempat Nabi Muhammad berjumpa Nabi Musa.
Setelah mendengar firman Allah tentang kewajiban sholat itu, Jibril membawa Nabi Muhammad turun dari Sidratul Muntaha. Sesampainya mereka ke tempat Musa berada, maka Nabi Musa pun menahan keduanya dan berkata, "Hai Muhammad, apakah yang telah diperintahkan oleh Tuhanmu untukmu?"
Nabi SAW menjawab, "Tuhanku telah memerintahkan kepadaku sholat lima puluh kali setiap siang dan malam hari."
Musa berkata, "Sesungguhnya umatku tidak akan mampu mengerjakannya, sekarang kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan dari-Nya buatmu dan buat umatmu."
Nabi SAW menoleh kepada Jibril, seakan-akan beliau meminta saran darinya mengenai hal tersebut. Dan Jibril menjawab, "Baiklah jika kamu menghendakinya."
Jibril pun membawanya lagi naik kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahasuci, lalu Nabi SAW memohon kepada Allah SWT yang berada di tempat-Nya. "Wahai Tuhanku berikanlah keringanan buat kami, karena sesungguhnya umatku tidak akan mampu memikulnya."
Maka Allah memberikan keringanan sepuluh sholat kepadanya. Nabi SAW kembali kepada Musa dan Musa menahannya. Maka Musa terus menerus membolak-balikannya dari dia ke Tuhannya, hingga jadilah sholat lima waktu.
Setelah ditetapkan sholat lima waktu, Musa pun masih meragukan kemampuan umat Nabi Muhammad dan menyarakan agar meminta keringanan kepada Allah SWT.
Setiap kali mendapat saran dari Nabi Musa, Nabi SAW selalu menoleh kepada Jibril untuk meminta pendapatnya, dan Malaikat Jibril dengan senang hati menerimanya, akhirnya pada kali yang kelima Jibril membawanya naik dan ia berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya umatku adalah orang-orang yang lemah, tubuh, hati, pendengaran, penglihatan, dan jasad mereka, maka berilah keringanan lagi buat kami."
Maka Tuhan Yang Mahaperkasa, Mahasuci, lagi Mahatinggi berfirman, "Hai Muhammad." Nabi SAW menjawab, "Labbaikawasa'daika (saya penuhi seruan-Mu dengan penuh kebahagiaan)." Allah berfirman, "Sesungguhnya keputusan yang ada pada-Ku ini tidak dapat diubah lagi, persis seperti apa yang telah Aku tetapkan atas dirimu di dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuz). Maka setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan. Dan kewajiban sholat itu telah tercatat lima puluh kali di dalam Ummul Kitab, sedangkan bagimu tetap lima kali."
Nabi SAW kembali kepada Musa dan Musa berkata "Apakah yang telah engkau lakukan?"
Nabi SAW menjawab, "Allah telah memberikan keringanan bagi kami, Dia telah memberikan kepada kami setiap amal kebaikan berpahala sepuluh kali lipat kebaikan yang semisal."
Musa berkata, "Sesungguhnya, demi Allah, saya telah membujuk Bani Israil untuk mengerjakan yang lebih ringan dari itu, tetapi mereka meninggalkannya. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan buat dirimu juga."
Rasulullah SAW bersabda, "Hai Musa, sesungguhnya —demi Allah— saya malu kepada Tuhanku, karena terlalu sering bolak-balik kepada-Nya."
Musa berkata, "Kalau begitu, turunlah engkau dengan menyebut nama Allah."
Kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari di dalam Kitabut Tauhid, bagian dari kitab sahihnya. Imam Bukhari meriwayatkannya di dalam Sifatun Nabi SAW, dari Ismail ibnu Abu Uwais, dari saudaranya (yaitu Abu Bakar Abdul Hamid), dari Sulaiman ibnu Bilal. Imam Muslim meriwayatkannya dari Harun ibnu Sa'id dari Ibnu Wahb dari Sulaiman, yang di dalam riwayatnya Sulaiman memberikan tambahan, ada pula yang dikuranginya, serta ada yang didahulukan dan yang dibelakangkan.
Sholat Sebelum Mikraj
Menilik kisah ini, maka sesungguhnya kewajiban sholat juga berlaku bagi umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, perintah sholat lima kali sehari sebagai kewajiban diperoleh Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT langsung beliau mikraj. Lalu, bagaimana sholat Nabi sebelum perintah itu diperoleh?
Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” mengatakan bahwa sesungguhnya kapan kewajiban sholat itu dimulai banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. "Ada yang menyebutkan, sholat sudah dikerjakan Nabi Muhammad SAW sejak beliau diangkat menjadi rasul," tuturnya.
Pada awal kerasulannya, ada yang mengatakan, beliau biasa melakukan sholat dua rakaat pada waktu pagi dan petang. Namun, yang jelas dalam masalah sholat lima waktu, kata Ibnu Hajar, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa sholat lima waktu itu diwajibkan Allah kepada beliau dan umatnya yaitu pada malam kejadian di-isra' dan mikraj-kannya Nabi Muhammad SAW.
Adapun perkataan Aisyah ra yang menyatakan bahwa Khadijah wafat sebelum diwajibkannya sholat (sedangkan disebutkan bahwa Nabi melakukan sholat wajib bersama Khadijah). Menurut pendapat yang kuat (mu'tamad) menyatakan bahwa sholatnya tersebut adalah sholat sebelum diwajibkannya sholat lima waktu.
Jadi, yang dimaksudkan oleh Aisyah dengan perkataannya bahwa Khadijah wafat sebelum difardhukan sholat adalah sebelum difardhukan sholat lima waktu. Maka, tidaklah ada pertentangan di antara kedua pendapat itu. "Benar memang bahwa Khadijah wafat sebelum peristiwa isra' dan mikraj," demikian penjelasan Imam Ibnu Hajar.
Yahya Ibnu Salam juga berpendapat semua keterangan mengenai wajib sholat dalam Al-Quran Al-Karim yang turun sebelum terjadinya peritiwa di-isra' dan mikraj-kan Nabi Muhammad SAW, bukanlah sholat lima waktu.
Sholat lima waktu itu baru diwajibkan pada malam Nabi Muhammad SAW di-isra' dan mikraj-kan. Hal itu terjadi setahun sebelum hijrahnya ke Madinah.
Al-lmam Qadhi berkata, “Tidak dinafikkan (diingkari) bahwa Khadijah mendirikan sholat bersama Rasulullah SAW setelah sholat diwajibkan. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Khadijah meninggal sebelum hijrahnya Rasulullah SAW dan bahwa sholat lima waktu diwajibkan pada malam kejadian isra' mikraj-nya Rasulullah SAW."
Ibnu Dahiyah menegaskan bahwa yang dimaksud sholatnya Khadijah bersama Rasulullah SAW adalah sholat yang dikerjakan Rasulullah SAW sejak diangkat menjadi rasul, yaitu sebanyak dua rakaat pada waktu pagi (Subuh) dan dua rakaat pada waktu petang (Ashar). Sedangkan, sholat lima waktu diwajibkan pada malam isra mi'raj, yakni setelah wafatnya Khadijah.”
Nabi Musa Menangis
Sementara itu, Safyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya Rahiq al-Makhtum menjelaskan bahwa perjumpaan Nabi Muhammad saat sampai di langit keenam, bukan ketujuh.
Al-Mubarakfuri menjelaskan pada saat mikraj itu Nabi Muhammad SAW melalui tujuh lapis langit. Setiap langit terdapat nabi-nabi terdahulu. Langit pertama bertemu Nabi Adam, langit kedua bertemu Nabi Yahya bin Zakaria dan Nabi Isa bin Maryam, langit ketiga bertemu Nabi Yusuf, langit keempat bertemu Nabi Idris, langit kelima bertemu Nabi Harun bin Imran, langit keenam bertemu Nabi Musa bin Imran, dan langit ketujuh bertemu Nabi Ibrahim.
Setiap Nabi yang dijumpai Nabi Muhammad mengucapkan salam, lalu mereka menjawab dan mengakui kenabian Muhammad SAW. Tapi ada yang aneh. Nabi Muhammad sempat terhenti saat berjumpa dengan Nabi Musa. Ketika hendak melanjutkan perjalanan ke langit ketujuh, Nabi Musa tiba-tiba menangis.
“Apa yang membuatmu menangis?” tanya Nabi Muhammad penasaran. “Aku menangis, karena ada orang yang lebih muda diutus setelahku, tapi umatnya lebih banyak yang masuk surga daripada umatku,” jawab Nabi Musa.
Nabi Musa menangis karena merasa sedih, jumlah umatnya lebih sedikit dari umat Nabi Muhammad dan kemuliaan umatnya juga dikalahkan oleh umat Nabi Muhammad yang lebih muda darinya. Padahal, masa umat Nabi Musa jauh lebih lama dibanding masa umat Nabi Muhammad.
Syaikh Badruddin Ahmad al-Aini dalam kitabnya Umdtaul Qari menjelaskan, “Musa menangis karena merasa sedih atas umatnya. Jumlahnya lebih sedikit dibanding umat Muhammad dan keutamaannya kalah dengan umat Muhammad.”
Sikap Nabi Musa demikian bukanlah karena rasa iri (hasud) dengan Nabi Muhammad. Melainkan karena merasa menyesal. Mengapa dulu umatnya banyak melanggar perintah Allah, sehingga mempengaruhi derajat kedudukannya di sisi Tuhannya.
Ketaatan suatu umat merupakan prestasi seorang Nabi. Semakin tinggi tingkat ketaatannya, semakin tinggi pula derajat Nabi yang membimbingnya di sisi Allah.
Sebaliknya, semakin umatnya sering melanggar perintah Allah, derajat Nabinya pun tidak setinggi Nabi yang berprestasi menuntun umat ke jalan ketaatan lebih gemilang. Musa merasa sangat menyesal. Ia telah dikaruniai usia yang panjang melebihi usia Nabi Muhammad.
Begitu pun umatnya lebih panjang usianya dibanding usia umat Muhammad. Tapi Nabi Musa gagal membina umatnya. Umatnya kalah banyak dibanding umat Muhammad. Sudah kalah banyak, kalah taat pula. Sesal Musa.
Salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada nabi-nabinya adalah besarnya rasa kasih sayang yang dimiliki setiap nabi-Nya. Jadi, di samping Musa merasa kurang berhasil dengan pencapaiannya, juga karena rasa sayang pada umatnya. Mengapa tidak bisa membimbing mereka lebih maksimal.
Syaikh Musa Lasyin, dengan mengutip ucapan Ibnu Abi Jamrah dalam Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim mengatakan, sesungguhnya Allah telah menjadikan rasa welas asih (rahmah) pada hati nabi-nabi-Nya, melebihi yang Ia berikan kepada hamba selain mereka. Oleh karena itu, Musa menangis karena rasa sayang terhadap umatnya.
(mhy)