Syariat Jilbab dan Sejarahnya, Dikenal di Masa Nabi Ibrahim, Disahkan Syaratnya Saat Islam Datang
Kamis, 02 Maret 2023 - 12:00 WIB
Hukum berjilbab bagi muslimah ramai kembali diperbincangkan. Ada sebagian muslimah yang menganggap bahwa jilbab atau berjilbab tidak wajib bagi seorang muslimah, apalagi di Indonesia yang notabene masih kental dengan budaya dan adat-istiadat. Benarkah demikian? Bagaimana sebenarnya sejarah jilbab ini?
Adalah takdir dan hikmah Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan manusia dengan nafsu seksual yang tinggi, Ketika nafsu bergejolak, dia akan sangat membangkang terhadap Allah. Allah SWT menanamkan dalam tabiat manusia ketertarikan terhadap lawan jenis, sesuatu yang mengantarkan kepada gairah. Di antara tabiat perempuan adalah mampu membangkitkan hasrat laki-laki dan menarik perhatiannya.
Jika manusia dibiarkan menuruti hawa nafsunya, tentu gaya hidup serba boleh akan tersebar di tengah masyarakat, tiada lagi kehormatan dan garis keturunan akan terabaikan. Akibatnya manusia menjadi seperti hewan yang tidak mengenal siapa paman siapa bibi. Oleh sebab itu, untuk melindungi kehormatan menjadi salah satu tujuan utama syariat, sebagai bentuk penghormatan terhadap berbagai larangan Allah SWT, penjaga terhadap keturunan, penyucian nasab, dan perlindungan masyarakat dari kehinaan dan kerusakaan. Semua itulah yang mendasari persyariatan jilbab atau hijab bagi perempuan.
Hijab dalam bahasa Arab hijb, hijab bentuknya plural hujub, secara bahasa berarti 'mencegah jangan sampai terjadi," menutup dan menghalangi. Hijab adalah antonim dari kata sufur yang artinya terbuka.
Hijab Sebelum Islam
Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya bukan hanya Islam yang mensyariatkan hijab . Bahkan, hijab sudah dikenal sejak masa Ibrahim alaihi salam dan telah menjadi tradisi masyarakat Ibrani pada masa nabi-nabi mereka hingga pasca kenabian Al-Masih, nabi terakhir mereka. Pengaruhnya masih kita rasakan hingga sekarang ini. Ini tampak jelas pada pakaian resmi para pendeta dan kebiasaan perempuan Nasrani yang memakai penutup kepala dan sebagian wajah mereka setiap kali memasuki gereja, meskipun yang digunakan tipis.
Dalam Perjanjian Lama Kitab Penciptaan (24/64-65) disebutkan,"Dia menengadahkan kepalanya dengan pelan. Dia memandang Ishaq, lalu turun dari untanya dan berkata pada hamba sahaya,"Siapa laki-laki yang berjalan di ladang untuk berjumpa dengan kita?" hamba sahaya itu menjawab,"Dia tuanku. "Dia pun langsung mengambil cadar dan menutu wajahnya.
Dalam kitab yang sama (38/14) disebutkan," Dia menanggalkan pakaian yang menghiasinya lalu menutup dirinya dengan cara dan berselimut kemudian duduk di bagian dalam 'ainam yang terdapat di jalan Timnah."
Keterangan di atas membuktikan bahwa cadar yang hanya memperlihatkan dua mata pada masa Ibrahim sudah dikenal luas.
Hijab di Masa Jahiliyah
Beberapa syair jahiliyah mengindikasikan bahwa saat itu sebagian wanita merdeka dan wanita terhormat biasa menutup wajah mereka dan membukanya, kecuali ketika darurat. Di Antara buktinya adalah sebagai berikut :
Suatu hari, istri Nu'man bin al Mundzir lewat di depan nabighah. Tiba-tiba kerudung yang dikenakan terjatuh. Dia pun segera menutup wajahnya dengan tangan kiri, lalu membungkuk dan memungut kerudungnya dengan tangan kanan. Nu'man meminta Nabighah untuk melukiskan kejadian ini dalam bait syair.
Nabighah pun menggubah syair berikut :
"Kerudungnya terjatuh tanpa sengaja
Diraihnya kerudung itu sambil melindungi dirinya dengan tangan
Yang diwarnai merah lembut, jari-jarinya seperti
pohon 'anam yang dahannya selalu bergoyang
Dia menatapnya sebab hajat yang belum engkau penuhi
seperti tatapan orang sakit pada para penjenguk
Tulang dada anak rusa tampak berhimpun berwarna
kehitaman seperti hitamnya dua biji mata
Maksud syair ini, mengandung arti bahwa perempuan berhijab dari pandangan para lelaki bukan muhrim. Dia harus melindungi dirinya dengan tangannya dari pandangan orang lain saat kerudungnya terjatuh.
Syair ini juga menyiratkan, bahwa zaman jahiliyah bangsa Arab telah mengenal hijab sebagai penutup wajah wanita. Bagi wanita yang telah beranjak dewasa, hijab atau jilbab dikenakan sebagai pertanda bahwa ia siap untuk dinikahi. Selain itu, pada masa itu hanya wanita merdeka yang boleh mengenakan jilbab. Sedangkan wanita yang merupakan budak atau gundik tidak diperkenankan untuk mengenakan jilbab.
Dikisahkan pula, sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :
“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri di depan keluarga Husain atau di hadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat dinikmati bila telah tiba saatnya.”
Jilbab dalam Islam
Berbeda dengan jilbab pada masa jahiliah yang membedakan antara wanita terhormat dengan wanita yang merupakan seorang budak. Jilbab pada masa kedatangan Islam justru membawa keadilan dan perlindungan bagi setiap muslimah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur : 31)
Ayat perintah jilbab tersebut turun karena beberapa peristiwa yang menimpa istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah rhadiyallahu'anha:
“Setelah turunnya perintah berhijab, suatu ketika Sau’dah (salah seorang istri Rasulullah) keluar untuk membuang hajat. Sau’dah adalah seorang wanita berbadan besar sehingga akan langsung dikenali jika berpapasan dengan orang yang telah mengenalnya. Di tengah jalan, Umar melihatnya. Umar lalu berkata, ‘Wahai Sau’dah, kami sungguh masih dapat mengenali engkau. Oleh karena itu, pertimbangkanlah kembali bagaimana cara engkau keluar!’
Mendengar ucapan Umar itu, Sau’dah langsung berbalik pulang dengan cepat. Pada saat itu, Rasulullah tengah makan malam di rumah saya dan di tangan beliau tengah tergenggam minuman. Ketika masuk ke rumah, Sau’dah langsung berkata, ‘Wahai Rasulullah, baru saja saya keluar untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, Umar lalu berkata begini dan begini kepada saya.’
Tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah. Ketika wahyu selesai dan beliau kembali ke kondisi semula, minuman yang ketika itu beliau pegang masih tetap berada di tangannya. Rasulullah lalu berkata, ‘Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar rumah untuk menunaikan hajat kalian.” (Shahih Bukhari, kitab at-Tafsiir, hadits nomor 4795).
Ibnu Sa’d, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dari Abu Malik yang berkata,
“Para istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, beberapa orang munafik kemudian mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman. Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur orang-orang tersebut.
Akan tetapi, mereka balik berkata, ‘Sesungguhnya kami hanya melakukannya dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan jari).’ Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini.” Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.
Dalil lain yang lebih tegas adalah firman Allah dalam QS Al-Ahzab : 59
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Sebuah hadis menjelaskan :
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.”
Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, iblis dan golongannya bisa melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf:27)
“Setan menyebabkan terbukanya aurat mereka padahal sebelumnya tertutup, ini adalah karena permusuhan yang nyata”
Maka dari itu, jilbab atau penutup aurat bukan hanya sebagai identitas Muslim saja, namun merupakan perintah Allah SWT pada umat manusia. Kedua agama sawami sebelumnya juga telah memerintahkan jilbab pada wanitanya.
Syarat Sah Hijab
Tidak ada alasan bagi muslimah untuk tidak mengenakan hijab secara syar’i. Meskipun keilmuan agamanya masih minim, namun bukan berarti diperbolehkan memakai hijab yang tidak syar’i. Jadi kewajiban memakai hijab sesuai syariat itu merupakan hukum mutlak bagi setiap muslimah.
Seorang muslimah wajib mengetahui bagaimana kriteria hijab muslimah yang syar’i. Sebagaimana telah dijelaskan, hijab itu mencakup seluruh pakaian wanita dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berikut syarat-syarat hijab muslimah syar’i seperti dijelaskan Syaik Abdul Wahhab Abdussalam Thawilah dalam buku 'Panduan Berbusana Islami: Berpenampilan sesuai Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah", dan wajib diketahui setiap muslimah:
1. Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi
2. Tidak berfungsi sebagai perhiasan (yaitu bukan untuk memperindah diri)
3. Kainnya tebal tidak tipis apalagi menerawang
4. Lebar, tidak ketat yang menampakkan bentuk lekukan tubuh
5. Tidak diberi pewangi atau parfum
6. Tidak menyerupai pakaian lelaki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
8. Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang)
Wallahu A'lam
Adalah takdir dan hikmah Allah Subhanahu wa ta'ala menciptakan manusia dengan nafsu seksual yang tinggi, Ketika nafsu bergejolak, dia akan sangat membangkang terhadap Allah. Allah SWT menanamkan dalam tabiat manusia ketertarikan terhadap lawan jenis, sesuatu yang mengantarkan kepada gairah. Di antara tabiat perempuan adalah mampu membangkitkan hasrat laki-laki dan menarik perhatiannya.
Jika manusia dibiarkan menuruti hawa nafsunya, tentu gaya hidup serba boleh akan tersebar di tengah masyarakat, tiada lagi kehormatan dan garis keturunan akan terabaikan. Akibatnya manusia menjadi seperti hewan yang tidak mengenal siapa paman siapa bibi. Oleh sebab itu, untuk melindungi kehormatan menjadi salah satu tujuan utama syariat, sebagai bentuk penghormatan terhadap berbagai larangan Allah SWT, penjaga terhadap keturunan, penyucian nasab, dan perlindungan masyarakat dari kehinaan dan kerusakaan. Semua itulah yang mendasari persyariatan jilbab atau hijab bagi perempuan.
Hijab dalam bahasa Arab hijb, hijab bentuknya plural hujub, secara bahasa berarti 'mencegah jangan sampai terjadi," menutup dan menghalangi. Hijab adalah antonim dari kata sufur yang artinya terbuka.
Hijab Sebelum Islam
Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya bukan hanya Islam yang mensyariatkan hijab . Bahkan, hijab sudah dikenal sejak masa Ibrahim alaihi salam dan telah menjadi tradisi masyarakat Ibrani pada masa nabi-nabi mereka hingga pasca kenabian Al-Masih, nabi terakhir mereka. Pengaruhnya masih kita rasakan hingga sekarang ini. Ini tampak jelas pada pakaian resmi para pendeta dan kebiasaan perempuan Nasrani yang memakai penutup kepala dan sebagian wajah mereka setiap kali memasuki gereja, meskipun yang digunakan tipis.
Dalam Perjanjian Lama Kitab Penciptaan (24/64-65) disebutkan,"Dia menengadahkan kepalanya dengan pelan. Dia memandang Ishaq, lalu turun dari untanya dan berkata pada hamba sahaya,"Siapa laki-laki yang berjalan di ladang untuk berjumpa dengan kita?" hamba sahaya itu menjawab,"Dia tuanku. "Dia pun langsung mengambil cadar dan menutu wajahnya.
Dalam kitab yang sama (38/14) disebutkan," Dia menanggalkan pakaian yang menghiasinya lalu menutup dirinya dengan cara dan berselimut kemudian duduk di bagian dalam 'ainam yang terdapat di jalan Timnah."
Keterangan di atas membuktikan bahwa cadar yang hanya memperlihatkan dua mata pada masa Ibrahim sudah dikenal luas.
Hijab di Masa Jahiliyah
Beberapa syair jahiliyah mengindikasikan bahwa saat itu sebagian wanita merdeka dan wanita terhormat biasa menutup wajah mereka dan membukanya, kecuali ketika darurat. Di Antara buktinya adalah sebagai berikut :
Suatu hari, istri Nu'man bin al Mundzir lewat di depan nabighah. Tiba-tiba kerudung yang dikenakan terjatuh. Dia pun segera menutup wajahnya dengan tangan kiri, lalu membungkuk dan memungut kerudungnya dengan tangan kanan. Nu'man meminta Nabighah untuk melukiskan kejadian ini dalam bait syair.
Nabighah pun menggubah syair berikut :
"Kerudungnya terjatuh tanpa sengaja
Diraihnya kerudung itu sambil melindungi dirinya dengan tangan
Yang diwarnai merah lembut, jari-jarinya seperti
pohon 'anam yang dahannya selalu bergoyang
Dia menatapnya sebab hajat yang belum engkau penuhi
seperti tatapan orang sakit pada para penjenguk
Tulang dada anak rusa tampak berhimpun berwarna
kehitaman seperti hitamnya dua biji mata
Maksud syair ini, mengandung arti bahwa perempuan berhijab dari pandangan para lelaki bukan muhrim. Dia harus melindungi dirinya dengan tangannya dari pandangan orang lain saat kerudungnya terjatuh.
Syair ini juga menyiratkan, bahwa zaman jahiliyah bangsa Arab telah mengenal hijab sebagai penutup wajah wanita. Bagi wanita yang telah beranjak dewasa, hijab atau jilbab dikenakan sebagai pertanda bahwa ia siap untuk dinikahi. Selain itu, pada masa itu hanya wanita merdeka yang boleh mengenakan jilbab. Sedangkan wanita yang merupakan budak atau gundik tidak diperkenankan untuk mengenakan jilbab.
Dikisahkan pula, sejak Zubair bin Salma (yang menceritakan keluarga Al- Husain) :
“Aku tidak tahu dan aku mesti akan tahu, Apakah aku sedang berdiri di depan keluarga Husain atau di hadapan para wanita, Bila dikatakan para wanita yang bersembunyi, Maka benarlah bahwa wanita yang melindungi dirinya mendapat ke hormatan.”Sajak Taufail bin Auf-Ghanawi: “Dengan penutup muka tidak akan mengurangi kehormatannya kemuliaannya tetap terjaga, dan kecantikannya dapat dinikmati bila telah tiba saatnya.”
Jilbab dalam Islam
Berbeda dengan jilbab pada masa jahiliah yang membedakan antara wanita terhormat dengan wanita yang merupakan seorang budak. Jilbab pada masa kedatangan Islam justru membawa keadilan dan perlindungan bagi setiap muslimah.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur : 31)
Ayat perintah jilbab tersebut turun karena beberapa peristiwa yang menimpa istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihiwa sallam. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah rhadiyallahu'anha:
“Setelah turunnya perintah berhijab, suatu ketika Sau’dah (salah seorang istri Rasulullah) keluar untuk membuang hajat. Sau’dah adalah seorang wanita berbadan besar sehingga akan langsung dikenali jika berpapasan dengan orang yang telah mengenalnya. Di tengah jalan, Umar melihatnya. Umar lalu berkata, ‘Wahai Sau’dah, kami sungguh masih dapat mengenali engkau. Oleh karena itu, pertimbangkanlah kembali bagaimana cara engkau keluar!’
Mendengar ucapan Umar itu, Sau’dah langsung berbalik pulang dengan cepat. Pada saat itu, Rasulullah tengah makan malam di rumah saya dan di tangan beliau tengah tergenggam minuman. Ketika masuk ke rumah, Sau’dah langsung berkata, ‘Wahai Rasulullah, baru saja saya keluar untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, Umar lalu berkata begini dan begini kepada saya.’
Tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah. Ketika wahyu selesai dan beliau kembali ke kondisi semula, minuman yang ketika itu beliau pegang masih tetap berada di tangannya. Rasulullah lalu berkata, ‘Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar rumah untuk menunaikan hajat kalian.” (Shahih Bukhari, kitab at-Tafsiir, hadits nomor 4795).
Ibnu Sa’d, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dari Abu Malik yang berkata,
“Para istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, beberapa orang munafik kemudian mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman. Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur orang-orang tersebut.
Akan tetapi, mereka balik berkata, ‘Sesungguhnya kami hanya melakukannya dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan jari).’ Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini.” Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi.
Dalil lain yang lebih tegas adalah firman Allah dalam QS Al-Ahzab : 59
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِىُّ قُلْ لِّاَزۡوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ يُدۡنِيۡنَ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ جَلَابِيۡبِهِنَّ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَنۡ يُّعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوۡرًا رَّحِيۡمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Sebuah hadis menjelaskan :
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.”
Allah Ta’ala berfirman,
يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ لَا يَفۡتِنَـنَّكُمُ الشَّيۡطٰنُ كَمَاۤ اَخۡرَجَ اَبَوَيۡكُمۡ مِّنَ الۡجَـنَّةِ يَنۡزِعُ عَنۡهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوۡءاٰتِهِمَا ؕ اِنَّهٗ يَرٰٮكُمۡ هُوَ وَقَبِيۡلُهٗ مِنۡ حَيۡثُ لَا تَرَوۡنَهُمۡ ؕ اِنَّا جَعَلۡنَا الشَّيٰطِيۡنَ اَوۡلِيَآءَ لِلَّذِيۡنَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ
“Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga; ia menanggalkan pakaiannya dari keduanya untuk memperlihatkan–kepada keduanya–‘auratnya. Sesungguhnya, iblis dan golongannya bisa melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf:27)
“Setan menyebabkan terbukanya aurat mereka padahal sebelumnya tertutup, ini adalah karena permusuhan yang nyata”
Maka dari itu, jilbab atau penutup aurat bukan hanya sebagai identitas Muslim saja, namun merupakan perintah Allah SWT pada umat manusia. Kedua agama sawami sebelumnya juga telah memerintahkan jilbab pada wanitanya.
Syarat Sah Hijab
Tidak ada alasan bagi muslimah untuk tidak mengenakan hijab secara syar’i. Meskipun keilmuan agamanya masih minim, namun bukan berarti diperbolehkan memakai hijab yang tidak syar’i. Jadi kewajiban memakai hijab sesuai syariat itu merupakan hukum mutlak bagi setiap muslimah.
Seorang muslimah wajib mengetahui bagaimana kriteria hijab muslimah yang syar’i. Sebagaimana telah dijelaskan, hijab itu mencakup seluruh pakaian wanita dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berikut syarat-syarat hijab muslimah syar’i seperti dijelaskan Syaik Abdul Wahhab Abdussalam Thawilah dalam buku 'Panduan Berbusana Islami: Berpenampilan sesuai Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah", dan wajib diketahui setiap muslimah:
1. Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi
2. Tidak berfungsi sebagai perhiasan (yaitu bukan untuk memperindah diri)
3. Kainnya tebal tidak tipis apalagi menerawang
4. Lebar, tidak ketat yang menampakkan bentuk lekukan tubuh
5. Tidak diberi pewangi atau parfum
6. Tidak menyerupai pakaian lelaki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
8. Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang)
Baca Juga
Wallahu A'lam
(wid)