Tradisi Nyadran di Bulan Syaban, Sudah Ada di Era Majapahit
Jum'at, 03 Maret 2023 - 13:49 WIB
Sebagian masyarakat Islam di Jawa menyelenggarakan tradisi Nyadran pada bulan Syaban atau menjelang Ramadhan . Rupanya, tradisi ini sudah dilakukan orang-orang Jawa sebelum masuknya Islam di Indonesia. Tradisi ini pada masa lalu dilakukan umat Hindu-Budha . Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi Nyadran yaitu tradisi craddha.
Fahmi Suaidi dan Abu Aman dalam bukunya berjudul "Ensiklopedia Syirik dan Bid'ah (Solo, Aqwam, 2012) menyebut di era Islam kegiatan ini biasanya diiringi dengan acara slametan dengan membuat makanan berupa ketan, kolak atau apem.
"Tradisi Nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi Nyadran yaitu tradisi craddha," tulisnya.
Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
Tradisi Nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.
Pelaksanaan tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekadar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban.
Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Pelaksanaan tradisi nyadran pada umumnya dengan membaca doa dan ayat-ayat yang ada di Al-Quran. Selanjutnya juga ada tahlillan yang di tengah lingkaran terdapat kenduri dan sesajinya. Tahap terakhir tabur bunga dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng dan makan bersama.
Campuran Hindu-Budha-Islam
Schrieke sebagaimana dikutip Koentjaraningrat dalam buku berjudul "Kebudayaan Jawa" mengatakan budaya tradisi Nyadran ini ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, yakni campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Buddha dan Islam.
Sinkretistik tersebut tampak ketika acara tahlilan dimulai pada Sholawat mengalunkan tembang-tembang berbahasa Arab – Jawa. Tampak pada perlengkapan kenduri yang dibawa oleh masing-masing anggota keluarga yang memiliki leluhur. Ada juga yang membakar kemenyan, dupa agar bau harum dari kemenyan dan dupa tersebut bisa mengingat keharuman atau perbuatan baiknya ketika leluhur hidup di dunia ini.
Muhammad Arifin dkk. dalam "Upaya Mempertahankan Tradisi Nyadran di Tengah Arus Modernisasi" menyebut tradisi nyadran mengandung nilai-nilai yang baik bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Salah satunya adalah mengajarkan kita untuk menghargai jasa-jasa dan menghormati para leluhur yang telah tiada dengan mendoakan agar memperoleh ketenangan di alamnya.
Selanjutnya dalam tradisi nyadran mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang telah kita peroleh dan dan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama, ini terlihat dari makanan - makanan yang dibagikan ke masyarakat seperti nasi tumpeng, ayam ingkung dan masih banyak lainnya.
Fahmi Suaidi dan Abu Aman dalam bukunya berjudul "Ensiklopedia Syirik dan Bid'ah (Solo, Aqwam, 2012) menyebut di era Islam kegiatan ini biasanya diiringi dengan acara slametan dengan membuat makanan berupa ketan, kolak atau apem.
"Tradisi Nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi Nyadran yaitu tradisi craddha," tulisnya.
Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.
Tradisi Nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.
Pelaksanaan tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya sedangkan oleh Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-Quran.
Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.
Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekadar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban.
Ajaran agama Islam meyakini bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh karena itu pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.
Pelaksanaan tradisi nyadran pada umumnya dengan membaca doa dan ayat-ayat yang ada di Al-Quran. Selanjutnya juga ada tahlillan yang di tengah lingkaran terdapat kenduri dan sesajinya. Tahap terakhir tabur bunga dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng dan makan bersama.
Campuran Hindu-Budha-Islam
Schrieke sebagaimana dikutip Koentjaraningrat dalam buku berjudul "Kebudayaan Jawa" mengatakan budaya tradisi Nyadran ini ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, yakni campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Buddha dan Islam.
Sinkretistik tersebut tampak ketika acara tahlilan dimulai pada Sholawat mengalunkan tembang-tembang berbahasa Arab – Jawa. Tampak pada perlengkapan kenduri yang dibawa oleh masing-masing anggota keluarga yang memiliki leluhur. Ada juga yang membakar kemenyan, dupa agar bau harum dari kemenyan dan dupa tersebut bisa mengingat keharuman atau perbuatan baiknya ketika leluhur hidup di dunia ini.
Muhammad Arifin dkk. dalam "Upaya Mempertahankan Tradisi Nyadran di Tengah Arus Modernisasi" menyebut tradisi nyadran mengandung nilai-nilai yang baik bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Salah satunya adalah mengajarkan kita untuk menghargai jasa-jasa dan menghormati para leluhur yang telah tiada dengan mendoakan agar memperoleh ketenangan di alamnya.
Selanjutnya dalam tradisi nyadran mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang telah kita peroleh dan dan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama, ini terlihat dari makanan - makanan yang dibagikan ke masyarakat seperti nasi tumpeng, ayam ingkung dan masih banyak lainnya.
(mhy)