Quraish Shihab: Islam Mengakui Eksistensi Agama Lain
Kamis, 09 Maret 2023 - 15:10 WIB
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab mengakan biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
"Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Allah SWT berfirman: Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) ... ( QS Al-An'am [6) : 108). Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) ( QS Al-Baqarah [2] : 256). Bagimu agamamu dan bagiku agamaku ( QS Al-Kafirun [109] : 6)
Selanjutnya, Surat Al-Hajj (22) : 40 menyatakan: "Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah."
Menurut Quraish Shihab, ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang, Al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa, "Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja ( QS Al-Nahl [16] : 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan tampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci.
Quraish Shihab mencontohkan pengalaman Nabi SAW dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah.
Sejarah menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, Nabi SAW berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan.
Setelah pengalaman pahit mengikuti pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW, agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali 'Imran [3]: 159).
"Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam," ujar Quraish Shihab.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian ( QS Al-Maidah [5] : 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik ( QS Al-Nahl [16] : 125). Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata ( QS Saba' [34] : 24).
Menurut Quraish Shihab, bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:
"Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Allah SWT berfirman: Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) ... ( QS Al-An'am [6) : 108). Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) ( QS Al-Baqarah [2] : 256). Bagimu agamamu dan bagiku agamaku ( QS Al-Kafirun [109] : 6)
Selanjutnya, Surat Al-Hajj (22) : 40 menyatakan: "Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara, gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah."
Menurut Quraish Shihab, ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang, Al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa, "Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja ( QS Al-Nahl [16] : 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab.
Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan tampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci.
Quraish Shihab mencontohkan pengalaman Nabi SAW dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah.
Sejarah menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, Nabi SAW berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan.
Setelah pengalaman pahit mengikuti pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad SAW, agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali 'Imran [3]: 159).
"Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam," ujar Quraish Shihab.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian ( QS Al-Maidah [5] : 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik ( QS Al-Nahl [16] : 125). Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata ( QS Saba' [34] : 24).
Menurut Quraish Shihab, bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut: