Zakat Konsep Harta yang Bersih Menurut Kiai Masdar Mas'udi

Senin, 20 Maret 2023 - 17:32 WIB
Berapa anggaran belanja yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu sampai 11 ribu dollar per tahun masih banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup bahwa rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara.

Kiai Masdar mengakui, memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat.

Drama itu pementasannya di masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah.

Setiap kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negara-negara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan).

Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir.

Padahal, kata Kiai Masdar, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.



Menurut Kiai Masdar, sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern.

Dengan pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di zaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke alamat (mustahiq) yang semestinya.

Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Sementara di Barat yang liberal-kapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.

Dengan kata lain, kata Kiai Masdar, persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset) untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya.

"Memang di sana bukan tak ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap serius bagi ide pemerataan dan keadilan," katanya.

Akan tetapi fakta bahwa dalam kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. "So, what?!" ujar Kiai Masdar.



Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau pengingkaran Isa as terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga negara untuk semangat (roh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi roh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung memperalat dirinya.

Menurut Kiai Masdar, dengan bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang pun --kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan jalan keluar agar badan itu dimusnahkan saja daripada diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang mengatakan, "Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol yang terus menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya."

Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia tak perlu menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan beliau sendiri dengan komunitasnya, dengan sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma'ruf nahi munkar) secara terus menerus, agar keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi kepentingan seluruh rakyat yang ada dalam otoritasnya.

Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau kekuasaan pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan kesejahteraan) bagi semuanya.

Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan kerangka zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan) yang sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari sepuluh abad, harus ditransformasikan terlebih dahulu.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Manusia yang paling dibenci Allah adalah yang keras kepala dan suka membantah.

(HR. Bukhari No. 6651)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More