Aspek Hukum Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir Berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 184

Selasa, 21 Maret 2023 - 14:38 WIB
Orang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa. Foto/Ilustrasi: Ist
Prof Dr Muhammad Quraish Shihab, MA dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Qur'an " mengupas tentang beberapa aspek hukum berkaitan dengan puasa bagi orang yang sakit dan musafir berdasarkan surat al-Baqarah ayat 184. Allah SWT berfirman:

اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ‌ؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗ ؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Ayyaamam ma'duudaat; faman kaana minkum mariidan aw'alaa safarin fa'iddatum min ayyaamin ukhar; wa 'alal laziina yutiiquunahuu fidyatun ta'aamu miskiinin faman tatawwa'a khairan fahuwa khairulo lahuu wa an tasuumuu khairul lakum in kuntum ta'lamuun

"(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." ( QS Ak-Baqarah : 184)



Quraish Shihab menjelaskan penggalan ayat itu berbunyi: Faman kana minkum maridha. "Artinya siapa di antara kamu yang menderita sakit," ujar Quraish Shihab lalu menjelaskan bahwa penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan

2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.

Menurut Quraish, sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadan, dengan alasan jari telunjuknya sakit.

Betapa pun, harus dicatat, kata Quraish, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak.

Di sisi lain, lanjut Quraish, harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.



Dalam Perjalanan

Selanjutnya, penggalan ayat aw'ala safarin (atau dalam perjalanan). Menurut Quraish, ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.

Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).

Quraish Shihab mengatakan perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan.

Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat ijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar salat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.

Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak salat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya?

Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak salatnya.

Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah SWT?
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحۡيًا اَوۡ مِنۡ وَّرَآىٴِ حِجَابٍ اَوۡ يُرۡسِلَ رَسُوۡلًا فَيُوۡحِىَ بِاِذۡنِهٖ مَا يَشَآءُ‌ؕ اِنَّهٗ عَلِىٌّ حَكِيۡمٌ
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahatinggi, Mahabijaksana.

(QS. Asy-Syura Ayat 51)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More