Memaknai Puasa Berdasar Surat Al-Baqarah Ayat 183 Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Sabtu, 25 Maret 2023 - 07:30 WIB
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani memaknai puasa melalui kacamata kaum sufi . Maklum saja, beliau adalah figur yang dikenang sebagai pemimpin para sufi. Makna puasa menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bisa kita lihat dalam penafsiran QS Al Baqarah [2] : 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Dalam Tafsir Al-Jailani, ketika memaknai puasa, Syaikh Abdul Qadir memulainya dari sudut pandang fiqih/syariat, yaitu menahan diri dari hal-hal tertentu (hal-hal yang bisa membatalkan puasa) terhitung sejak terbitnya fajar shadiq (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Pemaknaan ini merupakan arti sempit dari puasa, yang dalam penafsiran Syaikh Abdul Qadir diistilahkan dengan al-imsak al-makhsus.
Apa yang menarik adalah pada penjelasan berikutnya, tepatnya pada frasa al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq.
Menurut Syaikh Abdul Qadir, puasa juga berarti menahan secara mutlak dan menolak secara total dari apapun selain al-Haq. Puasa jenis ini adalah puasanya orang-orang yang akalnya bersih, yakin dan telah mencapai kasyf atas hakikat dengan semampunya.
Apa yang dimaksud dengan term al-Haq di sini adalah Allah SWT. Sebab, dalam dunia tasawuf, kata al-Haq selalu dirujukkan kepada Dia yang Maha Segalanya.
Jadi, Syaikh Abdul Qadir membagi makna puasa menjadi dua pengertian. Pertama, puasa secara syariat (al-imsak al-makhsus). Makna puasa yang pertama ini sesuai dengan arti puasa secara umum, yaitu menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain). Puasa pertama ini bisa kita sebut dengan puasa jasmani.
Kedua, puasa dalam arti menahan secara mutlak dan menolak total apa pun selain-Nya (al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq). Puasa dalam pengertian kedua ini bisa juga kita istilahkan dengan puasa rohani.
Penjelasan Syaikh Abdul Qadir terhadap puasa jenis kedua di atas hampir sama dengan penjelasan Imam Al-Ghazali .
Menurut Hujjatul Islam ini dalam Bidayatul Hidayah, puasa semestinya disempurnakan dengan menjaga anggota tubuh (dhahir dan batin) dari hal-hal yang dibenci Allah SWT. Seperti menjaga mata dari pandangan-pandangan kotor, menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, menjaga telinga dari apapun yang dilarang hingga menjaga hati.
Adab Puasa
Sufi ternama Syaikh Abu Nashr al-Sarraj mengatakan bahwa sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah, tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.
Sedangkan Imam Ghazali berkata, “Adab-adab berpuasa yaitu mengatur pola makan, meninggalkan perdebatan, menjauhi ghibah, menolak kebohongan, meninggalkan keburukan, menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang kurang baik.”
Di dalam kitab al-Luma fi al-Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Syekh Abu Nashr al-Sarraj mengkisahkan bahwa Sahl bin Abdullah al-Tustari makan hanya sekali saja pada setiap lima belas hari di luar Ramadhan. Jika bulan Ramadan tiba, maka ia hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya (Sahl al-Tustari) menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru sufi. Maka ia menjawab, "Setiap malam ia hanya berbuka dengan air putih saja”.
Tingkatan Puasa
Di sisi lain, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa.
Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.
Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara zahir.
Puasa awam dianggap sebagai gerbangnya puasa. Untuk mencapai tingkat puasa khusus, muslim harus melalui puasa awam terlebih dahulu.
Tingkatan puasa selanjutnya adalah puasa khusus. Puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.
Selain memperhatikan aspek fisik, puasa khusus juga berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.
Orang yang berada pada tingkat khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diinginkan oleh anggota tersebut. Tujuan untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya adalah ketenangan batin.
Menurut Imam Ghazali, pada hakikatnya puasa sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat dan motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah melalui cara mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.
Tingkatan puasa yang terakhir adalah puasa khususul khusus atau puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT.
Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Puasa khususul khusus hanya bisa dicapai oleh anbiya (para Nabi), shiddiqin, serta auliya’. Umat Islam yang ingin sampai pada tahap ini harus melalui dua tahap puasa yang sebelumnya. Pada tingkat khususul khusus, kesadaran untuk menahan nafsu tidak hanya sampai pada batas lahiriah namun juga sampai pada hati dan batin.
Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Dalam Tafsir Al-Jailani, ketika memaknai puasa, Syaikh Abdul Qadir memulainya dari sudut pandang fiqih/syariat, yaitu menahan diri dari hal-hal tertentu (hal-hal yang bisa membatalkan puasa) terhitung sejak terbitnya fajar shadiq (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Pemaknaan ini merupakan arti sempit dari puasa, yang dalam penafsiran Syaikh Abdul Qadir diistilahkan dengan al-imsak al-makhsus.
Apa yang menarik adalah pada penjelasan berikutnya, tepatnya pada frasa al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq.
Menurut Syaikh Abdul Qadir, puasa juga berarti menahan secara mutlak dan menolak secara total dari apapun selain al-Haq. Puasa jenis ini adalah puasanya orang-orang yang akalnya bersih, yakin dan telah mencapai kasyf atas hakikat dengan semampunya.
Apa yang dimaksud dengan term al-Haq di sini adalah Allah SWT. Sebab, dalam dunia tasawuf, kata al-Haq selalu dirujukkan kepada Dia yang Maha Segalanya.
Jadi, Syaikh Abdul Qadir membagi makna puasa menjadi dua pengertian. Pertama, puasa secara syariat (al-imsak al-makhsus). Makna puasa yang pertama ini sesuai dengan arti puasa secara umum, yaitu menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain). Puasa pertama ini bisa kita sebut dengan puasa jasmani.
Kedua, puasa dalam arti menahan secara mutlak dan menolak total apa pun selain-Nya (al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq). Puasa dalam pengertian kedua ini bisa juga kita istilahkan dengan puasa rohani.
Penjelasan Syaikh Abdul Qadir terhadap puasa jenis kedua di atas hampir sama dengan penjelasan Imam Al-Ghazali .
Menurut Hujjatul Islam ini dalam Bidayatul Hidayah, puasa semestinya disempurnakan dengan menjaga anggota tubuh (dhahir dan batin) dari hal-hal yang dibenci Allah SWT. Seperti menjaga mata dari pandangan-pandangan kotor, menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, menjaga telinga dari apapun yang dilarang hingga menjaga hati.
Adab Puasa
Sufi ternama Syaikh Abu Nashr al-Sarraj mengatakan bahwa sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah, tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.
Sedangkan Imam Ghazali berkata, “Adab-adab berpuasa yaitu mengatur pola makan, meninggalkan perdebatan, menjauhi ghibah, menolak kebohongan, meninggalkan keburukan, menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang kurang baik.”
Di dalam kitab al-Luma fi al-Tarikh al-Tasawuf al-Islami, Syekh Abu Nashr al-Sarraj mengkisahkan bahwa Sahl bin Abdullah al-Tustari makan hanya sekali saja pada setiap lima belas hari di luar Ramadhan. Jika bulan Ramadan tiba, maka ia hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya (Sahl al-Tustari) menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru sufi. Maka ia menjawab, "Setiap malam ia hanya berbuka dengan air putih saja”.
Tingkatan Puasa
Di sisi lain, Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa.
Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.
Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara zahir.
Puasa awam dianggap sebagai gerbangnya puasa. Untuk mencapai tingkat puasa khusus, muslim harus melalui puasa awam terlebih dahulu.
Tingkatan puasa selanjutnya adalah puasa khusus. Puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.
Selain memperhatikan aspek fisik, puasa khusus juga berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.
Orang yang berada pada tingkat khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diinginkan oleh anggota tersebut. Tujuan untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya adalah ketenangan batin.
Menurut Imam Ghazali, pada hakikatnya puasa sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat dan motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah melalui cara mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.
Tingkatan puasa yang terakhir adalah puasa khususul khusus atau puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT.
Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Puasa khususul khusus hanya bisa dicapai oleh anbiya (para Nabi), shiddiqin, serta auliya’. Umat Islam yang ingin sampai pada tahap ini harus melalui dua tahap puasa yang sebelumnya. Pada tingkat khususul khusus, kesadaran untuk menahan nafsu tidak hanya sampai pada batas lahiriah namun juga sampai pada hati dan batin.
Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya.
(mhy)