Alur Argumen Kalam Asy'ari Menurut Cak Nur
Kamis, 30 Maret 2023 - 18:57 WIB
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan di samping menuturkan aqidah Ahl Al-Sunnah yang kemudian ia nyatakan sebagai ia ikuti sendiri itu, al-Asy'ari juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya sebagaimana ia pelajari dari para guru Muktazilah .
Aqidah ini pengembangannya oleh al-Asy'ari, yang kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para pengikutnya, terutama al-Ghazali , menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ari itu sebagai doktrin dalam 'aqidah Islamiah kaum Sunni.
"Praktis semua nuktah kepercayaan dalam Islam ia dukung dengan argumen-argumen logis dan dialektis, sebagian bahkan tidak lagi merupakan kelanjutan argumen yang telah ada sebelum dia sendiri, melainkan menjadi kontribusinya yang orisinal dalam pemikiran Keislaman," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".
Sekadar mengingatkan jika disebut paham Asy'ari, maksudnya adalah keseluruhan penjabaran simpul (aqidah) atau simpul-simpul ('aqa'id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H/873 M. dan wafat pada 324 H./935 M.
Menurut Cak Nur, sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis, pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan "dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo).
Menurut sarjana Muslim moderen, al-Alousi, ada enam argumen yang digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak abadinya alam raya:
(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air, dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin, berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan, namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab); penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.
(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.
(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal regress). Sebab bagian yang terhingga tidak mungkin ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang tak terhingga. Karena itu jagad dan gerak tentu mempunyai permulaan.
Atau lagi, gerak tidak mungkin ada dari awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi.
Atau lagi, jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga, telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu terhingga dan diciptakan.
(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.
(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih) yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.
(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality): benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident) yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan (muhdats).
Menurut Cak Nur, sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya.
Namun di tangan kaum Muslim, Cak Nur mengatakan khususnya para penganut paham Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.
Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi.
Aqidah ini pengembangannya oleh al-Asy'ari, yang kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para pengikutnya, terutama al-Ghazali , menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ari itu sebagai doktrin dalam 'aqidah Islamiah kaum Sunni.
"Praktis semua nuktah kepercayaan dalam Islam ia dukung dengan argumen-argumen logis dan dialektis, sebagian bahkan tidak lagi merupakan kelanjutan argumen yang telah ada sebelum dia sendiri, melainkan menjadi kontribusinya yang orisinal dalam pemikiran Keislaman," ujar Cak Nur dalam bukunya berjudul "Islam Doktrin dan Peradaban".
Sekadar mengingatkan jika disebut paham Asy'ari, maksudnya adalah keseluruhan penjabaran simpul (aqidah) atau simpul-simpul ('aqa'id) kepercayaan Islam dalam Ilmu Kalam yang bertitik tolak dari rintisan seorang tokoh besar pemikir Islam, Abu al-Hasan 'Ali al-Asy'ari dari Basrah, Iraq, yang lahir pada 260 H/873 M. dan wafat pada 324 H./935 M.
Menurut Cak Nur, sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis, pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan "dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo).
Menurut sarjana Muslim moderen, al-Alousi, ada enam argumen yang digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak abadinya alam raya:
(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air, dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin, berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan, namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab); penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.
(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.
(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal regress). Sebab bagian yang terhingga tidak mungkin ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang tak terhingga. Karena itu jagad dan gerak tentu mempunyai permulaan.
Atau lagi, gerak tidak mungkin ada dari awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi.
Atau lagi, jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga, telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu terhingga dan diciptakan.
(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.
(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih) yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.
(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality): benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident) yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan (muhdats).
Menurut Cak Nur, sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya.
Namun di tangan kaum Muslim, Cak Nur mengatakan khususnya para penganut paham Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.
Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi.