Pamer Kemesraan di Medsos Tanda Hilangnya Rasa Malu?
Kamis, 23 Juli 2020 - 13:52 WIB
Islam sebagai agama yang memberi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil 'alamin), memberi perhatian yang maksimal terhadap masalah menjaga akhlak . Termasuk hal ini adalah Islam memberi perhatian tentang pentingnya mempunyai rasa malu.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
"Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Dan rasa malu salah satu cabang dari iman. (HR. Ahmad, Muslim, dan beberapa riwayat lain).
Sifat malu adalah termasuk sikap yang terpuji dan merupakan akhlak yang mulia. Sifat malu merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Jika rasa malu telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan dia lakukan, seperti pamer aurat, gemar bermaksiat secara terang-terangan, mudah melakukan zina, durhaka pada kedua orang tua, dan lainnya. (Baca juga : Penyebab Terhalangnya Wanita Masuk Surga )
Sebagaimana pada zaman sekarang betapa banyak manusia dengan tidak ada rasa malu melakukan kemaksiatan , seakan perbuatan tersebut bukan dosa,bahkan menjadi sebuah kebiasaan atau adat. Imam An Nawawi menjelaskan, ulama mengatakan bahwa hakikat malu adalah perangai yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan jelek dan mencegah seseorang dari meninggalkan hak-hak orang lain. Artinya, malu adalah akhlak yang utama dan merupakan perhiasan manusia.
Bahkan, Fudhail bin Iyadh memberi pernyataan bahwa sedikit sifat malu adalah termasuk dari lima di antara tanda-tanda kecelakaan seseorang. Empat lainnya adalah kekerasan hati, mata yang tidak menangis, cinta dunia, dan panjang angan-angan. Bahkan, Ibnul Qayyim menjelaskan dalam 'Madarijus Salikin' menegaskan, kuatnya sifat malu tergantung kondisi hidup hatinya. Sedikit sifat malu disebabkan oleh kematian hati dan ruh, sehingga semakin hidup hati itu maka sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu darinya tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya.
Salah satu contoh yang menjadi perhatian para ulama adalah hilangnya rasa malu pasangan suami istri yang pamer kemesraan di media sosial (medsos). Dalam pandangan umum, bermesraan setelah menikah memang sesuatu yang dihalalkan. Tapi yang perlu diingat, tidak semua yang halal boleh ditampakkan dan dipamerkan di depan banyak orang. Harusnya memamerkan pasangannya di depan publik tidak terjadi, jika pasangan punya rasa malu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar umatnya memiliki sifat malu. Bahkan beliau menyebutkan bahwa malu itu bagian dari konsekuensi iman.
Selain itu, pamer kemesraan di publik juga termasuk sikap kurang baik yang disebut khawarim al-muru’ah. Agama Islam juga mengajarkan agar seorang muslim menghindari khawarim al-muru’ah, yakni semua perbuatan yang bisa menjatuhkan martabat dan wibawa seseorang. Dia menjaga adab dan akhlak yang mulia. Jumhur ulama hadis dan fiqh sepakat, orang yang riwayatnya boleh dijadikan hujjah disyaratkan harus orang yang adil dan kuat hafalan (penjagaan)-nya terhadap apa yang dia riwayatkan. Dan rinciannya, dia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan bersih dari sebab-sebab karakter fasik dan yang menjatuhkan wibawanya. Dan bagian dari menjaga wibawa adalah tidak menampakkan foto kemesraan di depan umum.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim, mufti resmi Saudi Arabia pertama, yang dinukil dari Fatawa wa Rasail, menyatakan tentang pamer kemesraan termasuk hukum mencium istri di depan umum. Bahwa sebagian orang, bagian bentuk kurang baik dalam bergaul dengan istri, terkadang dia mencium istrinya di depan banyak orang atau semacamnya. Dan ini tidak boleh. An-Nawawi dalam kitab al-Minhaj menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa menurunkan kehormatan dan wibawa manusia, antara lain adalah mencium istri atau budaknya di depan umum, atau banyak menyampaikan cerita yang memicu tawa pendengar.
Selain disebut sebagai hilangnya rasa malu, pasangan yang pamer kemesraan di media sosial juga dinilai bisa memicu syahwat orang lain yang melihatnya. Terutama ketika terlihat bagian badan wanita, tangannya atau wajahnya. lelaki jahat bisa memanfaatkannya untuk tindakan yang tidak benar. Dan memicu orang untuk berbuat maksiat, termasuk perbuatan maksiat. (Baca juga : Isi Bulan Dzulhijjah dengan Kesibukan Membaca Al-Qur'an )
Dari riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
"Barang siapa yang mengajak kepada sebuah kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa setiap orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR Ahmad dan Muslim)
Sebab itulah, pasangan muslim hendaknya meninggalkan semua hal yang sia-sia dan yang menimbulkan keburukan.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Siapa yang obsesi hidupnya akhirat, maka Allah akan menjadikan kekayannya berada di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Sebaliknya, siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan meletakkan kefaqiran di depan kedua matanya, Dia akan mencerai-beraikan urusannya, sementara dunia tidak mendatanginya kecuali sebatas apa yang telah ditakdirkan baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Janganlah latah mengikuti perilaku yang menyebabkan hilangnya rasa malu di hadapan Allah Ta'ala. Di sini kita hanya punya dua pilihan, mengejar popularitas semu atau berbalik menuju kepastian ridha Allah Ta'ala. Mempunyai rasa malu dan meninggalkan keburukan itu jauh lebih utama daripada memburu kebaikan. Seorang hamba tidak harus melakukan semua kebaikan, lakukanlah semampunya. Tetapi meninggalkan keburukan haruslah semuanya. (Baca juga : Boleh Bergaya, Asal Memenuhi Syarat Sesuai Syariat )
Hati-hatilah terhadap kehidupan dunia yang menipu. Dunia adalah batu yang licin dan kampung yang kumuh. Bangunannya kelak roboh, penduduknya adalah calon penghuni kubur, apa yang dikumpulkan akan ditinggalkan, apa yang dibanggakan akan disesalkan, mengejarnya sulit, meninggalkannya mudah. Siapa yang sanggup meninggalkan keburukan, ia pasti berada di dalam kebaikan, namun tak setiap pelaku kebaikan berada di dalam kebaikan. Kebaikan bisa bercampur dengan keburukan, sementara keburukan seluruhnya buruk.
Wallahu A'lam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
"Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Dan rasa malu salah satu cabang dari iman. (HR. Ahmad, Muslim, dan beberapa riwayat lain).
Sifat malu adalah termasuk sikap yang terpuji dan merupakan akhlak yang mulia. Sifat malu merupakan benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Jika rasa malu telah hilang pada seseorang maka berbagai keburukan akan dia lakukan, seperti pamer aurat, gemar bermaksiat secara terang-terangan, mudah melakukan zina, durhaka pada kedua orang tua, dan lainnya. (Baca juga : Penyebab Terhalangnya Wanita Masuk Surga )
Sebagaimana pada zaman sekarang betapa banyak manusia dengan tidak ada rasa malu melakukan kemaksiatan , seakan perbuatan tersebut bukan dosa,bahkan menjadi sebuah kebiasaan atau adat. Imam An Nawawi menjelaskan, ulama mengatakan bahwa hakikat malu adalah perangai yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan jelek dan mencegah seseorang dari meninggalkan hak-hak orang lain. Artinya, malu adalah akhlak yang utama dan merupakan perhiasan manusia.
Bahkan, Fudhail bin Iyadh memberi pernyataan bahwa sedikit sifat malu adalah termasuk dari lima di antara tanda-tanda kecelakaan seseorang. Empat lainnya adalah kekerasan hati, mata yang tidak menangis, cinta dunia, dan panjang angan-angan. Bahkan, Ibnul Qayyim menjelaskan dalam 'Madarijus Salikin' menegaskan, kuatnya sifat malu tergantung kondisi hidup hatinya. Sedikit sifat malu disebabkan oleh kematian hati dan ruh, sehingga semakin hidup hati itu maka sifat malupun semakin sempurna. Beliau juga mengatakan, Sifat malu darinya tergantung kepada pengenalannya terhadap Rabbnya.
Salah satu contoh yang menjadi perhatian para ulama adalah hilangnya rasa malu pasangan suami istri yang pamer kemesraan di media sosial (medsos). Dalam pandangan umum, bermesraan setelah menikah memang sesuatu yang dihalalkan. Tapi yang perlu diingat, tidak semua yang halal boleh ditampakkan dan dipamerkan di depan banyak orang. Harusnya memamerkan pasangannya di depan publik tidak terjadi, jika pasangan punya rasa malu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar umatnya memiliki sifat malu. Bahkan beliau menyebutkan bahwa malu itu bagian dari konsekuensi iman.
Selain itu, pamer kemesraan di publik juga termasuk sikap kurang baik yang disebut khawarim al-muru’ah. Agama Islam juga mengajarkan agar seorang muslim menghindari khawarim al-muru’ah, yakni semua perbuatan yang bisa menjatuhkan martabat dan wibawa seseorang. Dia menjaga adab dan akhlak yang mulia. Jumhur ulama hadis dan fiqh sepakat, orang yang riwayatnya boleh dijadikan hujjah disyaratkan harus orang yang adil dan kuat hafalan (penjagaan)-nya terhadap apa yang dia riwayatkan. Dan rinciannya, dia harus muslim, baligh, berakal sehat, dan bersih dari sebab-sebab karakter fasik dan yang menjatuhkan wibawanya. Dan bagian dari menjaga wibawa adalah tidak menampakkan foto kemesraan di depan umum.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim, mufti resmi Saudi Arabia pertama, yang dinukil dari Fatawa wa Rasail, menyatakan tentang pamer kemesraan termasuk hukum mencium istri di depan umum. Bahwa sebagian orang, bagian bentuk kurang baik dalam bergaul dengan istri, terkadang dia mencium istrinya di depan banyak orang atau semacamnya. Dan ini tidak boleh. An-Nawawi dalam kitab al-Minhaj menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa menurunkan kehormatan dan wibawa manusia, antara lain adalah mencium istri atau budaknya di depan umum, atau banyak menyampaikan cerita yang memicu tawa pendengar.
Selain disebut sebagai hilangnya rasa malu, pasangan yang pamer kemesraan di media sosial juga dinilai bisa memicu syahwat orang lain yang melihatnya. Terutama ketika terlihat bagian badan wanita, tangannya atau wajahnya. lelaki jahat bisa memanfaatkannya untuk tindakan yang tidak benar. Dan memicu orang untuk berbuat maksiat, termasuk perbuatan maksiat. (Baca juga : Isi Bulan Dzulhijjah dengan Kesibukan Membaca Al-Qur'an )
Dari riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
"Barang siapa yang mengajak kepada sebuah kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa setiap orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR Ahmad dan Muslim)
Sebab itulah, pasangan muslim hendaknya meninggalkan semua hal yang sia-sia dan yang menimbulkan keburukan.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam :
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Siapa yang obsesi hidupnya akhirat, maka Allah akan menjadikan kekayannya berada di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Sebaliknya, siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan meletakkan kefaqiran di depan kedua matanya, Dia akan mencerai-beraikan urusannya, sementara dunia tidak mendatanginya kecuali sebatas apa yang telah ditakdirkan baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Janganlah latah mengikuti perilaku yang menyebabkan hilangnya rasa malu di hadapan Allah Ta'ala. Di sini kita hanya punya dua pilihan, mengejar popularitas semu atau berbalik menuju kepastian ridha Allah Ta'ala. Mempunyai rasa malu dan meninggalkan keburukan itu jauh lebih utama daripada memburu kebaikan. Seorang hamba tidak harus melakukan semua kebaikan, lakukanlah semampunya. Tetapi meninggalkan keburukan haruslah semuanya. (Baca juga : Boleh Bergaya, Asal Memenuhi Syarat Sesuai Syariat )
Hati-hatilah terhadap kehidupan dunia yang menipu. Dunia adalah batu yang licin dan kampung yang kumuh. Bangunannya kelak roboh, penduduknya adalah calon penghuni kubur, apa yang dikumpulkan akan ditinggalkan, apa yang dibanggakan akan disesalkan, mengejarnya sulit, meninggalkannya mudah. Siapa yang sanggup meninggalkan keburukan, ia pasti berada di dalam kebaikan, namun tak setiap pelaku kebaikan berada di dalam kebaikan. Kebaikan bisa bercampur dengan keburukan, sementara keburukan seluruhnya buruk.
Wallahu A'lam
(wid)