Meneladani Ibrahim (1): Kebesaran Allah dan Kehidupan
Jum'at, 16 Juni 2023 - 23:39 WIB
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Saya memulai tulisan ini dengan mengajak kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan azhomatullah (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmat-Nya yang tiada batas yang dikaruniakan kepada kita semua.
Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan dengan alunan "Takbir, Tahmid, dan Tahlil" adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah Jalla Jalaaluh sebagai rujukan kehidupan kita. Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari satu sumber, Allahus Shomad. Kita ada, kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti suatu saat nanti kita mati, semuanya karena Allah.
Esensi falsafah hidup yang seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: لا اله الا الله (Laa ilaha illallah). Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, keagungan, penyembahan dan pujian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi. Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:
لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك
"Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagiMu."
Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang mukmin:
انا لله وانااليه راجعون
Bahwasanya kita dan segala yang ada pada kita; anak istri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.
Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan dan energi kehidupan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan Sang Pencipta, Allah. Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika azhomatullah (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.
Sungguh ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Qur'an disebut العروة الوثقي (pegangan yang kokoh). Pegangan inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya. Apapun warna dan bagaimanapun pergerakan hidup yang terjadi tidak akan menjadikannya goyah dan rapuh.
فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها
"Kebesaran Allah dalam dada Rasul-Nya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asasinasi oleh musuh-musuh sekalipun. Peristiwa menegangkan itu tergoreskan dan menjadi bagian dari Kalam Allah:
اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها
"Ingatlah, ketika keduanya berada dalam gua itu, ketika dia berkata kepada sahabatnya: jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan kedamaian kepadanya dan menguatkannya dengan bala tentara yang belum pernah kalian saksikan."
Keagungan Karunia Ilahi
Kemahabesaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmat-Nya pada kita. Allah mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin:
ظاهرة وباطنة
"Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur:
وقليل من عبادي الشكور
"Sangat sedikit dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur."
Penciptaan kita sebagai manusia (insan, basyar atau Bani Adam) itu sendiri. Sungguh sebuah kenikmatan dan kemuliaan yang luar biasa:
ولقد كرمنا بني ادم
"Sesunggguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (manusia)."
Penciptaan kita sebagai ciptaan terbaik, the best design (ahsanu taqwiim) merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Keindahan, kenyamanan dan kesempurnaan penciptaan kita sebagai manusia, sungguh kenikmatan yang menuntut kesadaran rasa syukur dari kita semua.
Dijadikannya manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas akal atau fikir, menjadikan makhluk lain irihati. Dengan kemampuan inilah manusia mampu berinovasi dalam rangka mengemban amanah kekhilafahannya di atas bumi ini:
وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم علي الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ان كُنتُم صادقين
"Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya. Kemudian Dia (Allah) menanyakan kepada para malaikat (tentang nama-nama itu). Maka Allah berkata: sebutkan kepadaKu nama-nama semuanya jika kalian mengaku benar."
Nikmat Iman dan Islam
Tapi perlu kita kembali menyadari bahwa dari semua nikmat yang Allah karuniakan itu, nikmat iman dan Islamlah yang menjadi fondasi dan penentu. Karunia apapun akan menjadi nikmat jika dibangun di atas fondasi iman. Sebaliknya, karunia apapun jika tidak dibarengi iman justeru bisa menjadi niqmah atau musibah kehidupan.
Dunia Barat dengan segala kemajuan material, perkembangan sains dan teknolog, khususnya dalam dunia informasi saat ini terbukti gagal memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebuah realita bahwa hidup tanpa iman dan Islam adalah kehidupan yang gagal, walau bergelimang dengan kemajuan materi.
Realita ini harus menyadarkan kita untuk mensyukuri dan selalu meninggikan value atau nilai iman dan Islam kita.
ولكن الله حبب إليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكزه إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولائك هم الراشدون. فضلا منالله ونعمة والله عليم حكيم
"Akan tetapi Allah menjadikan engkau mencintai keimanan, membenci kekufuran, kefasikan dan dosa-dosa. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Itulah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Idul Adha dan Ketauladanan Ibrahim
Perayaan Idul Adha yang umat Islam rayakan di seantero dunia sarat dengan makna dan nilai-nilai kehidupan yang sangat luar biasa. Ada makna hidup dan ujian, makna ketaatan dan pengorbanan, makna soliditas mental dan kekokohan iman, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kehidupan kolektif dan kepemimpinan.
Dan yang teristimewa dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua ini sangat erat dengan sejarah hidup Ibrahim AS. Maka sangat wajar, jika perayaan Idul Adha itu adalah bentuk kenangan sekaligus ketauladanan kita kepada Nabiyullah Ibrahim.
Umat ini memang diperintah untuk menauladani Ibrahim:
واتبعوا ملة ابراهيم
"Dan teladanilah millah Ibrahim ."
Haji, Ibrahim dan kurban memang menjadi tema utama dari Idul Adha yang yang dirayakan. Karena memang Ibrahim menjadi simbol kesempurnaan dalam pengabdian dan kemuliaan akhlak. Sementara Haji adalah ibadah yang menjadi miniatur kehidupan manusia. Dan semua itu hanya dapat diwujudkan dengan semangat pengorbanan.
Ibrahim-lah yang pertama kali diperintah untuk mengumandangkan kewajiban haji kepada umat manusia:
واذذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلي كل ضامر يأتين من كل فج عميق
"Dan kumandangkan kepada manusia (kewajiban) haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kali dan mengendarai unta, datang dari berbagai penjuru yang jauh."
(bersambung)!
Baca Juga: Idul Adha dan Doa Nabi Ibrahim yang Sangat Populer
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation USA
Saya memulai tulisan ini dengan mengajak kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan azhomatullah (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmat-Nya yang tiada batas yang dikaruniakan kepada kita semua.
Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan dengan alunan "Takbir, Tahmid, dan Tahlil" adalah ekspresi iman, sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah Jalla Jalaaluh sebagai rujukan kehidupan kita. Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari satu sumber, Allahus Shomad. Kita ada, kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau dikuasai, bahkan kita hidup dan pasti suatu saat nanti kita mati, semuanya karena Allah.
Esensi falsafah hidup yang seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: لا اله الا الله (Laa ilaha illallah). Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, keagungan, penyembahan dan pujian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi. Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:
لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك
"Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagiMu."
Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang mukmin:
انا لله وانااليه راجعون
Bahwasanya kita dan segala yang ada pada kita; anak istri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.
Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan dan energi kehidupan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan Sang Pencipta, Allah. Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika azhomatullah (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.
Sungguh ma'iyatullah (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah. Pegangan yang dalam istilah Al-Qur'an disebut العروة الوثقي (pegangan yang kokoh). Pegangan inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya. Apapun warna dan bagaimanapun pergerakan hidup yang terjadi tidak akan menjadikannya goyah dan rapuh.
فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها
"Kebesaran Allah dalam dada Rasul-Nya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asasinasi oleh musuh-musuh sekalipun. Peristiwa menegangkan itu tergoreskan dan menjadi bagian dari Kalam Allah:
اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها
"Ingatlah, ketika keduanya berada dalam gua itu, ketika dia berkata kepada sahabatnya: jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan kedamaian kepadanya dan menguatkannya dengan bala tentara yang belum pernah kalian saksikan."
Keagungan Karunia Ilahi
Kemahabesaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmat-Nya pada kita. Allah mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin:
ظاهرة وباطنة
"Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur:
وقليل من عبادي الشكور
"Sangat sedikit dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur."
Penciptaan kita sebagai manusia (insan, basyar atau Bani Adam) itu sendiri. Sungguh sebuah kenikmatan dan kemuliaan yang luar biasa:
ولقد كرمنا بني ادم
"Sesunggguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (manusia)."
Penciptaan kita sebagai ciptaan terbaik, the best design (ahsanu taqwiim) merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Keindahan, kenyamanan dan kesempurnaan penciptaan kita sebagai manusia, sungguh kenikmatan yang menuntut kesadaran rasa syukur dari kita semua.
Dijadikannya manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas akal atau fikir, menjadikan makhluk lain irihati. Dengan kemampuan inilah manusia mampu berinovasi dalam rangka mengemban amanah kekhilafahannya di atas bumi ini:
وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم علي الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ان كُنتُم صادقين
"Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya. Kemudian Dia (Allah) menanyakan kepada para malaikat (tentang nama-nama itu). Maka Allah berkata: sebutkan kepadaKu nama-nama semuanya jika kalian mengaku benar."
Nikmat Iman dan Islam
Tapi perlu kita kembali menyadari bahwa dari semua nikmat yang Allah karuniakan itu, nikmat iman dan Islamlah yang menjadi fondasi dan penentu. Karunia apapun akan menjadi nikmat jika dibangun di atas fondasi iman. Sebaliknya, karunia apapun jika tidak dibarengi iman justeru bisa menjadi niqmah atau musibah kehidupan.
Dunia Barat dengan segala kemajuan material, perkembangan sains dan teknolog, khususnya dalam dunia informasi saat ini terbukti gagal memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebuah realita bahwa hidup tanpa iman dan Islam adalah kehidupan yang gagal, walau bergelimang dengan kemajuan materi.
Realita ini harus menyadarkan kita untuk mensyukuri dan selalu meninggikan value atau nilai iman dan Islam kita.
ولكن الله حبب إليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكزه إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولائك هم الراشدون. فضلا منالله ونعمة والله عليم حكيم
"Akan tetapi Allah menjadikan engkau mencintai keimanan, membenci kekufuran, kefasikan dan dosa-dosa. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Itulah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Idul Adha dan Ketauladanan Ibrahim
Perayaan Idul Adha yang umat Islam rayakan di seantero dunia sarat dengan makna dan nilai-nilai kehidupan yang sangat luar biasa. Ada makna hidup dan ujian, makna ketaatan dan pengorbanan, makna soliditas mental dan kekokohan iman, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kehidupan kolektif dan kepemimpinan.
Dan yang teristimewa dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua ini sangat erat dengan sejarah hidup Ibrahim AS. Maka sangat wajar, jika perayaan Idul Adha itu adalah bentuk kenangan sekaligus ketauladanan kita kepada Nabiyullah Ibrahim.
Umat ini memang diperintah untuk menauladani Ibrahim:
واتبعوا ملة ابراهيم
"Dan teladanilah millah Ibrahim ."
Haji, Ibrahim dan kurban memang menjadi tema utama dari Idul Adha yang yang dirayakan. Karena memang Ibrahim menjadi simbol kesempurnaan dalam pengabdian dan kemuliaan akhlak. Sementara Haji adalah ibadah yang menjadi miniatur kehidupan manusia. Dan semua itu hanya dapat diwujudkan dengan semangat pengorbanan.
Ibrahim-lah yang pertama kali diperintah untuk mengumandangkan kewajiban haji kepada umat manusia:
واذذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلي كل ضامر يأتين من كل فج عميق
"Dan kumandangkan kepada manusia (kewajiban) haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kali dan mengendarai unta, datang dari berbagai penjuru yang jauh."
(bersambung)!
Baca Juga: Idul Adha dan Doa Nabi Ibrahim yang Sangat Populer
(rhs)