Misteri Panji Gumilang: Eks Anggota NII Ini Mengaku Moral Rusak, Merasa seperti Dajjal
Kamis, 13 Juli 2023 - 09:25 WIB
Dede Syaifuddin alias Syaiful Bahri adalah bekas anggota Negara Islam Indonesia Komandemen IX (NII KW IX) di bawah Abu Toto alias Panji Gumilang sejak 1995-1996. Kala itu, dia sebagai mahasiswa di ALTRI semester V, namun drop out setelah bergabung dengan NII.
Dia akhirnya meninggalkan NII setelah merasa berat membayar berbagai iuran. Kendati demikian, dia merasa dibayang-bayangi rasa bersalah. "Setelah saya keluar dari NII moral saya rusak dan merasa cap dajjal melekat pada diri saya, yang membuat saya merasa terasing di muka bumi ini," ujar Syaiful Bahri sebagaimana dikutip dalam buku berjudul "Membongkar Gerakan NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun" karya Umar Abduh.
Berikut kesaksian Dede Syaifuddin alias Syaiful Bahri selengkapnya:
Saya masuk NII bulan Juni tahun 1995 lalu keluar tahun 1996. Saya meninggalkan bangku kuliah diam-diam, yang akhirnya orang tua mengetahui. Akibatnya keuangan saya distop. Pimpinan saya bilang, jangan didengar, contoh Nabi Ibrahim as di mana orangtuanya kafir, kalau orangtua kafir jangan ditaati.
Akhirnya, saya sering mengambil makanan dari rumah orang tua, untuk saya bawa ke pos (majja) NII.
Saya membayar infak sudah lupa, berapa yang telah saya keluarkan. Sedangkan Qiradl baru 1 gram, Qurban satu kali, katanya saat itu digunakan untuk membeli sawah dan mendirikan ma'had.
Selama menjadi anggota NII saya sering kali mengikuti tilawah, di kampus di bilangan Salemba. Lama kelamaan, yang saya rasakan bukannya ketenangan dan ketentraman, tapi justru kok nama saya cemar di mata para jama'ah yang tidak mau menerima NII, baik dari lingkungan keluarga, tetangga rumah maupun teman sekolah. Bahkan dilingkungan NII sendiri sayapun diusir dan dimaki, keluar! keluar!
Saya jadi sempat bingung dibuat oleh NII. Memang, alasannya, karena saya orang yang cepat bosan dan malas, sehingga hanya menghasilkan 4 orang untuk menjadi Mas'ul, tingkat Musa. Namun saat itu saya punya prinsip, walaupun NII mewajibkan saya untuk zakat, sedekah dan lain lainnya, saya lebih mengutamakan membeli makanan untuk orang-orang yang ada di Malja, karena Malja tidak menyediakan konsumsi sama sekali bagi ikhwan.
Sebelumnya, saya berada di Malja Matraman, di situ saya masih melaksanakan salat, tetapi ketika saya ditahawul (mutasi) ke Malja Duren Sawit Klender Jaktim, ternyata senior-senior yang ada di situ seperti Aseng, Ali Akbar, Abu Amar dan para senior lainnya, tidak salat, tapi tilawah dan ngobrol membicarakan program-program perjuangan NII saja.
Akhirnya sayapun menjadi terpengaruh untuk tidak lagi melaksanakan salat, dan sejak saat itu saya tidak pernah lagi salat. Sayapun akhirnya tinggal di Malja Duren Sawit.
Pernah suatu hari, kakak saya diberi tilawah oleh Mas'ul yang pendidikan Makkahnya minim, padahal kakak saya seorang mahasiswi, lalu hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh kakak saya, dan kemudian saya dibuat malu oleh kakak saya itu, saat di rumah. Bahkan saya dilaporkan kepada kakak saya yang laki laki yang menjadi perwira polisi, untung, kakak saya cuma bilang: "Biarin saja, si Dede, nanti juga bosan sendiri".
Pada tahun 1996, waktu itu ada pendidikan, saya dari "Watad' dengan kode teritorial 92225. (baca dari belakang, angka 5 adalah posisi Mas'ul Musa namanya Ali Akbar, angka 2 Mas'ul Ibrahima namanya Abu Amar, angka 2 berikutnya mas'ul Shaleh, 2 berikutnya Mas'ul Hud adalah Syaifullah alias Aseng, dan angka 9 Mas'ul Nuh yang masih dipegang Abu Toto.
Untuk menjadi Musa atau Mudabir Musa (92845: posisi saya menempati angka 5, angka 4 Mudabir Ibrahim, angka 8 adalah Abu Amar dan angka 2 adalah Syaifullah, sedang angka 9 Abu Toto), dan saya lupa berapa besarnya dana untuk "tartib" Musa.
Sejak saat itu saya naik tingkat menjadi Mudabir Musa, hingga akhirnya saya bosan. Saat itu saya mau keluar dari NII, tapi takut. Akhirnya dengan kepala stress saya nekad akan keluar, tapi mau lari kemana? Karena menurut mereka setiap jengkal tanah ada anggota NII.
Saya keluar dari NII perlahan-lahan. Saya katakan niat keluar tersebut kepada Ibrahim, namun saya ditahan oleh mereka, dan dikatakan kepada saya: "Kalau keluar, kafirlah kamu, pokoknya hidup kamupun tidak ada gunanya di Makkah".
Memang, sebenarnya saya masih cinta dengan NII, tapi masalah dana dan mencari umat itu yang saya rasakan sangat berat. Saya mulai benar benar keluar, setelah ada program tartib besar besaran. Dan setelah keluar, kepala saya pusing, masyarakat mengejek, salat tidak, apalagi yang lainnya.
Lantas saya merasa jadi 'setan' di bumi ini, karena NII mengatakan semua perbuatan saya sia-sia. Akhirnya, saya sering mabuk-mabukan. Walaupun begitu saya masih tetap takut akibat keluar saya dari NII, kemudian saya masuki dunia Narkoba, di situ saya sukses.
Saya tak berpikir lagi ke mana saya harus mencari Tuhan, pokoknya hidup saya bebas, dan bebas pergaulan, hingga saya berkenalan dengan seorang wanita, hingga berhubungan serius. Akhirnya orang tua wanita itu tidak menyetujui hubungan saya, dan malah saya dijebloskan ke penjara.
Karena itu saya berpikir, saya sudah tidak punya tuhan lagi, dan saya anggap diri saya ini adalah setan di bumi ini. Yang menjadi permasalahan, kenapa saya masih merasa tetap setia dengan doktrin NII, terutama doktrin tidak perlu salat sementara sadar kewajiban jihad untuk mendirikan NII, dan jangan mendengarkan perkataan orang-orang kafir (orang di luar NII), serta paham NII rasanya tak bisa lepas dari otak saya.
Selain itu ada efek rusaknya, setelah saya keluar dari NII adalah moral saya rusak dan merasa cap 'dajjal' melekat pada diri saya, yang membuat saya merasa terasing di muka bumi ini.
Dia akhirnya meninggalkan NII setelah merasa berat membayar berbagai iuran. Kendati demikian, dia merasa dibayang-bayangi rasa bersalah. "Setelah saya keluar dari NII moral saya rusak dan merasa cap dajjal melekat pada diri saya, yang membuat saya merasa terasing di muka bumi ini," ujar Syaiful Bahri sebagaimana dikutip dalam buku berjudul "Membongkar Gerakan NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun" karya Umar Abduh.
Berikut kesaksian Dede Syaifuddin alias Syaiful Bahri selengkapnya:
Saya masuk NII bulan Juni tahun 1995 lalu keluar tahun 1996. Saya meninggalkan bangku kuliah diam-diam, yang akhirnya orang tua mengetahui. Akibatnya keuangan saya distop. Pimpinan saya bilang, jangan didengar, contoh Nabi Ibrahim as di mana orangtuanya kafir, kalau orangtua kafir jangan ditaati.
Akhirnya, saya sering mengambil makanan dari rumah orang tua, untuk saya bawa ke pos (majja) NII.
Saya membayar infak sudah lupa, berapa yang telah saya keluarkan. Sedangkan Qiradl baru 1 gram, Qurban satu kali, katanya saat itu digunakan untuk membeli sawah dan mendirikan ma'had.
Selama menjadi anggota NII saya sering kali mengikuti tilawah, di kampus di bilangan Salemba. Lama kelamaan, yang saya rasakan bukannya ketenangan dan ketentraman, tapi justru kok nama saya cemar di mata para jama'ah yang tidak mau menerima NII, baik dari lingkungan keluarga, tetangga rumah maupun teman sekolah. Bahkan dilingkungan NII sendiri sayapun diusir dan dimaki, keluar! keluar!
Saya jadi sempat bingung dibuat oleh NII. Memang, alasannya, karena saya orang yang cepat bosan dan malas, sehingga hanya menghasilkan 4 orang untuk menjadi Mas'ul, tingkat Musa. Namun saat itu saya punya prinsip, walaupun NII mewajibkan saya untuk zakat, sedekah dan lain lainnya, saya lebih mengutamakan membeli makanan untuk orang-orang yang ada di Malja, karena Malja tidak menyediakan konsumsi sama sekali bagi ikhwan.
Sebelumnya, saya berada di Malja Matraman, di situ saya masih melaksanakan salat, tetapi ketika saya ditahawul (mutasi) ke Malja Duren Sawit Klender Jaktim, ternyata senior-senior yang ada di situ seperti Aseng, Ali Akbar, Abu Amar dan para senior lainnya, tidak salat, tapi tilawah dan ngobrol membicarakan program-program perjuangan NII saja.
Akhirnya sayapun menjadi terpengaruh untuk tidak lagi melaksanakan salat, dan sejak saat itu saya tidak pernah lagi salat. Sayapun akhirnya tinggal di Malja Duren Sawit.
Pernah suatu hari, kakak saya diberi tilawah oleh Mas'ul yang pendidikan Makkahnya minim, padahal kakak saya seorang mahasiswi, lalu hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh kakak saya, dan kemudian saya dibuat malu oleh kakak saya itu, saat di rumah. Bahkan saya dilaporkan kepada kakak saya yang laki laki yang menjadi perwira polisi, untung, kakak saya cuma bilang: "Biarin saja, si Dede, nanti juga bosan sendiri".
Pada tahun 1996, waktu itu ada pendidikan, saya dari "Watad' dengan kode teritorial 92225. (baca dari belakang, angka 5 adalah posisi Mas'ul Musa namanya Ali Akbar, angka 2 Mas'ul Ibrahima namanya Abu Amar, angka 2 berikutnya mas'ul Shaleh, 2 berikutnya Mas'ul Hud adalah Syaifullah alias Aseng, dan angka 9 Mas'ul Nuh yang masih dipegang Abu Toto.
Untuk menjadi Musa atau Mudabir Musa (92845: posisi saya menempati angka 5, angka 4 Mudabir Ibrahim, angka 8 adalah Abu Amar dan angka 2 adalah Syaifullah, sedang angka 9 Abu Toto), dan saya lupa berapa besarnya dana untuk "tartib" Musa.
Sejak saat itu saya naik tingkat menjadi Mudabir Musa, hingga akhirnya saya bosan. Saat itu saya mau keluar dari NII, tapi takut. Akhirnya dengan kepala stress saya nekad akan keluar, tapi mau lari kemana? Karena menurut mereka setiap jengkal tanah ada anggota NII.
Saya keluar dari NII perlahan-lahan. Saya katakan niat keluar tersebut kepada Ibrahim, namun saya ditahan oleh mereka, dan dikatakan kepada saya: "Kalau keluar, kafirlah kamu, pokoknya hidup kamupun tidak ada gunanya di Makkah".
Memang, sebenarnya saya masih cinta dengan NII, tapi masalah dana dan mencari umat itu yang saya rasakan sangat berat. Saya mulai benar benar keluar, setelah ada program tartib besar besaran. Dan setelah keluar, kepala saya pusing, masyarakat mengejek, salat tidak, apalagi yang lainnya.
Lantas saya merasa jadi 'setan' di bumi ini, karena NII mengatakan semua perbuatan saya sia-sia. Akhirnya, saya sering mabuk-mabukan. Walaupun begitu saya masih tetap takut akibat keluar saya dari NII, kemudian saya masuki dunia Narkoba, di situ saya sukses.
Saya tak berpikir lagi ke mana saya harus mencari Tuhan, pokoknya hidup saya bebas, dan bebas pergaulan, hingga saya berkenalan dengan seorang wanita, hingga berhubungan serius. Akhirnya orang tua wanita itu tidak menyetujui hubungan saya, dan malah saya dijebloskan ke penjara.
Karena itu saya berpikir, saya sudah tidak punya tuhan lagi, dan saya anggap diri saya ini adalah setan di bumi ini. Yang menjadi permasalahan, kenapa saya masih merasa tetap setia dengan doktrin NII, terutama doktrin tidak perlu salat sementara sadar kewajiban jihad untuk mendirikan NII, dan jangan mendengarkan perkataan orang-orang kafir (orang di luar NII), serta paham NII rasanya tak bisa lepas dari otak saya.
Selain itu ada efek rusaknya, setelah saya keluar dari NII adalah moral saya rusak dan merasa cap 'dajjal' melekat pada diri saya, yang membuat saya merasa terasing di muka bumi ini.
(mhy)