Misteri Panji Gumilang: Kesaksian Bekas Anggota NII Imam Shalahuddin

Senin, 10 Juli 2023 - 14:11 WIB
loading...
Misteri Panji Gumilang: Kesaksian Bekas Anggota NII Imam Shalahuddin
Panji Gumilang saat di Bareskrim Polri. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Imam Shalahuddin adalah anggota Negara Islam Indonesia Komandemen IX (NII-KW-9) tahun 1989-1996. Ia menyampaikan kesaksiannya tentang NII, Panji Gumilang , sampai pondok pesantren al-Zaytun .

Berikut kesaksian tersebut sebagaimana dikutip dari buku berjudul "Membongkar Gerakan NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun" karya Umar Abduh.

Perkenalan saya dengan gerakan NII/KW IX Abu Toto berawal dari kedatangannya salah seorang teman yang coba mengajak dialog keagamaan . Dalam dialog tersebut, teman saya selalu mengarahkan pembicaraannya mengenai masalah tema pergerakan (harakah).

Apalagi ditambah dengan paparannya mengenai masalah isu isu penting yang menjadi kebutuhan umat Islam dewasa ini, yakni tema tentang Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah, yang tentunya siapapun orangnya bila mengaku dirinya Muslim pasti terpanggil dan bersegera menyambut.



Sebagai seorang remaja Muslim, kajian tersebut membuat saya tertarik untuk mengikutinya, berbekal "kesadaran beragama" yang saya miliki akhirnya berkesimpulan bahwa Daulah Islamiyah memang seharusnya ada di Indonesia.

Pembicaraan dengan teman tersebut tidak putus atau selesai sampai di situ saja, bahkan berbalik menjadi sebuah pertanyaan untuk diri saya sendiri. Pertanyaan tersebut kurang lebihnya yaitu: "Jika Daulah Islam itu memang harus ada, maka siapa gerangan Imamnya dan di mana adanya?"

Untuk kali yang kedua teman saya datang dan dia menanyakan bagaimana kesan dari pembicaraan yang pertama. Bahkan ketika itu juga dia langsung mengajak saya untuk mendatangi sebuah pengajian yang sedang diadakan di sebuah rumah kenalannya.

Untuk menambah pengetahuan sekaligus menghargai teman, akhirnya sayapun ikut ajakan tersebut. Dalam pengajian itu memang sempat dibahas mengenai perlunya umat Islam memiliki Daulah Islamiyah. Bahkan sempat membahas di mana sangat perlunya umat Islam sekarang ini sungguh sungguh berjihad menegakkan Islam secara kaffah, yakni berhukum Islam serta tinggal di negara Islam secara berjama'ah.

Dalam tahap pertama ini mereka menyebutnya tilawah. Dan rujukan kajiannya adalah silabus Mabadi'uts Tsalatsah (karya Abi Karim), yang bermuatan Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah dan Tauhid Uluhiyah. Sehingga terlihat jelas bahwa persoalan utama yang mendesak adalah dibutuhkannya sebuah Negara Islam.

Setelah beberapa menit saya mendengarkan uraian pengajian dengan materi seperti itu, menambah hasrat saya untuk mempertanyakan soal yang sempat menjadi unek-unek saya sebelumnya. Kalau memang di Indonesia sudah ada negara Islam siapakah imamnya dan di mana keberadaannya?

Mendengar pertanyaan dari saya langsung seperti itu, Ustadz pemberi materi hanya menjawab: "Ohh, untuk urusan itu nggak usah dululah kamu tahu. Kamu belajar tentang teori-teorinya saja dulu."



Selanjutnya, dari pertemuan itu membawa saya aktif dalam pengajian mereka. Setelah 6 bulan menjalani kajian ini dan mungkin sudah dianggap menguasai dasar pemikiran NII, dan yang teramat penting dalam penyeleksian jama'ah adalah sudah sterilnya saya dari unsur unsur yang membahayakan, seperti tidak adanya dalam keluarga saya aparat keamanan tentara/polisi, barulah saya direkrut secara resmi oleh mereka dengan melakukan bai'at sebagai jama'ah NII.

Inti dari acara baiat itu adalah perpindahan (hijrah) status kewarganegaraan saya, dari warga negara RI menjadi warga negara Islam Indonesia.

Pada saat acara itu pula mulai diungkapnya dasar pijakan sejarah mereka yaitu bahwa konsep negara Islam yang dimaksud adalah Negara Islam yang pernah diproklamasikan S.M. Kartosoewirjo tertanggal 7 Agustus 1949.

Sayapun bertanya: "Memangnya masih ada pengikut ajaran Kartosoewiryo?"

Mereka menjawab, "masih."

Kemudian, selesai acara, saya sangat diwanti-wanti untuk tidak membuka buka kejadian yang baru saja dilaksanakan kepada orang lain. Diketahui bahwa masalah tersebut memang sudah menjadi doktrin mereka. Di samping itu, ditetapkannya kewajiban saya sebagai warga negara, seperti mengajak orang lain, membayar infak, sedekah dan lainnya..

Setahun kemudian 1990, karena mungkin saya dianggap memiliki latar belakang pendidikan pesantren, ditambah sudah membawa sepuluh orang berhijrah, saya pun akhirnya diangkat sebagai pejabat (mas'ul Musa) setingkat Lurah di daerah Utan Kayu Selatan, Matraman Jaktim (Kode teritorialnya 9231-12).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1807 seconds (0.1#10.140)