Imam Syafi’i, Anak Yatim Usia 7 Tahun Hafal Al-Qur’an
Kamis, 30 April 2020 - 03:00 WIB
NAMA lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin as-Syafi’ bin as-Saaib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththolib bin Abdi Manaf alMuththolibi al-Qurasyi. Memiliki kunyah Abu Abdillah, akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Nama itu diambil dari nama kakek beliau, daripada nama panggilan beliau.
Sebelum Imam Syafi’i lahir, kedua orang tuanya tinggal di kota Madinah. Kemudian karena suatu hal, pindah ke daerah Asqolan, sebuah kota di sebelah barat daya kota Palestina, dekat dengan wilayah Gazza. Sang ayah wafat, ketika Syafii baru lahir.
Jadi Imam Syafi’i telah yatim sejak kecil. Beliau juga tidak terlahir dalam sebuah lingkungan keluarga akademis, meski bundanya sangat konsen dan mencintai ilmu.
Sang bunda berjuang merawat, mendidik dan memotivasi Syafi’i untuk menuntut ilmu dengan situasi yang begitu sulit. Kondisi ekonomi keluarga juga tergolong miskin.
Imam Syafi’i lahir di wilayah Gazza di Palestina pada tahun 150 H/767 M, yaitu tahun yang sama dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Selama hidupnya, beliau mengalami enam kali pergantian kepemimpinan di masa Bani Abbasiyah. Yakni dari Abu Ja’far al-Manshur (136-158 H) sampai Abdullah al-Makmun bin Harun ar-Rosyid (198-218 H).
Perjalanan hidup beliau bermula ketika Sang Bunda membawanya kembali pulang ke tanah air ayahnya di kota Makkah. Meski hidup dengan himpitan kesulitan ekonomi tak lantas membuat Syafi’i patah arang.
Dengan penuh perjuangan, beliau belajar dari satu guru ke guru yang lain, dari satu madrasah ke madrasah, dari satu majlis ilmu ke majlis ilmu yang lain.
Kecerdasan Syafi’i terlihat sejak usia belia. Beliau belajar menulis dan membaca di samping belajar dan menghafal Al-Quran hingga pada usia tujuh tahun, beliau sudah hafal keseluruhan isi Al-Quran.
Wildan Jauhari, Lc dalam buku Biografi Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menulis sanad bacaan Al-Quran Imam Syafi’i menyambung sampai Nabi Muhammad saw, sebagaimana beliau ceritakan sendiri. “Aku berguru kepada Ismail bin Qostantin, dari gurunya Syibl, dari gurunya Abdullah bin Katsir, dari gurunya Mujahid, dari gurunya Ibnu Abbas, dari Ubai bin Ka’ab, dari Rasulullah saw.”
Setelah Imam Syafi’i pandai membaca dan menulis, beliau keluar dari kota Makkah untuk menimba ilmu Bahasa Arab. Beliau memutuskan untuk menetap sementara waktu di perkampungan suku Hudzail. Suku ini tinggal secara nomaden di sekitaran kota Makkah.
Suku Hudzail adalah masyarakat pedalaman yang terkenal sebagai salah satu suku paling fasih dalam berbicara Arab. Imam Syafi’i tinggal dan hidup bersama suku Hudzail untuk meningkatkan kemampuan bahasanya. Sebab Bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk bisa mempelajari makna yang terkandung dalam Al-Quran dan al-Hadits. Bahkan para ulama mengatakan bahwa di antara syarat menjadi mujtahid ialah harus mumpuni dalam bidang bahasa Arab.
Imam Syafi’i tinggal bersama suku Hudzail. Beberapa hari kembali ke Makkah dan selang beberapa hari pergi dan menetap lagi di suku Hudzail. Begitu seterusnya.
Sebagian para sejarawan menyebut Imam Syafi’i membutuhkan waktu 20 tahun, pulang pergi, belajar di suku pedalaman itu. Selama jangka waktu yang cukup lama tersebut, beliau tidak hanya menguasai bahasa Arab dengan segala perangkatnya, tetapi juga berhasil menguasai dan menghafal syair-syair arab, ilmu nasab dan sejarah bangsa Arab. (Bersambung)
Sebelum Imam Syafi’i lahir, kedua orang tuanya tinggal di kota Madinah. Kemudian karena suatu hal, pindah ke daerah Asqolan, sebuah kota di sebelah barat daya kota Palestina, dekat dengan wilayah Gazza. Sang ayah wafat, ketika Syafii baru lahir.
Jadi Imam Syafi’i telah yatim sejak kecil. Beliau juga tidak terlahir dalam sebuah lingkungan keluarga akademis, meski bundanya sangat konsen dan mencintai ilmu.
Sang bunda berjuang merawat, mendidik dan memotivasi Syafi’i untuk menuntut ilmu dengan situasi yang begitu sulit. Kondisi ekonomi keluarga juga tergolong miskin.
Imam Syafi’i lahir di wilayah Gazza di Palestina pada tahun 150 H/767 M, yaitu tahun yang sama dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Selama hidupnya, beliau mengalami enam kali pergantian kepemimpinan di masa Bani Abbasiyah. Yakni dari Abu Ja’far al-Manshur (136-158 H) sampai Abdullah al-Makmun bin Harun ar-Rosyid (198-218 H).
Perjalanan hidup beliau bermula ketika Sang Bunda membawanya kembali pulang ke tanah air ayahnya di kota Makkah. Meski hidup dengan himpitan kesulitan ekonomi tak lantas membuat Syafi’i patah arang.
Dengan penuh perjuangan, beliau belajar dari satu guru ke guru yang lain, dari satu madrasah ke madrasah, dari satu majlis ilmu ke majlis ilmu yang lain.
Kecerdasan Syafi’i terlihat sejak usia belia. Beliau belajar menulis dan membaca di samping belajar dan menghafal Al-Quran hingga pada usia tujuh tahun, beliau sudah hafal keseluruhan isi Al-Quran.
Wildan Jauhari, Lc dalam buku Biografi Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menulis sanad bacaan Al-Quran Imam Syafi’i menyambung sampai Nabi Muhammad saw, sebagaimana beliau ceritakan sendiri. “Aku berguru kepada Ismail bin Qostantin, dari gurunya Syibl, dari gurunya Abdullah bin Katsir, dari gurunya Mujahid, dari gurunya Ibnu Abbas, dari Ubai bin Ka’ab, dari Rasulullah saw.”
Setelah Imam Syafi’i pandai membaca dan menulis, beliau keluar dari kota Makkah untuk menimba ilmu Bahasa Arab. Beliau memutuskan untuk menetap sementara waktu di perkampungan suku Hudzail. Suku ini tinggal secara nomaden di sekitaran kota Makkah.
Suku Hudzail adalah masyarakat pedalaman yang terkenal sebagai salah satu suku paling fasih dalam berbicara Arab. Imam Syafi’i tinggal dan hidup bersama suku Hudzail untuk meningkatkan kemampuan bahasanya. Sebab Bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk bisa mempelajari makna yang terkandung dalam Al-Quran dan al-Hadits. Bahkan para ulama mengatakan bahwa di antara syarat menjadi mujtahid ialah harus mumpuni dalam bidang bahasa Arab.
Imam Syafi’i tinggal bersama suku Hudzail. Beberapa hari kembali ke Makkah dan selang beberapa hari pergi dan menetap lagi di suku Hudzail. Begitu seterusnya.
Sebagian para sejarawan menyebut Imam Syafi’i membutuhkan waktu 20 tahun, pulang pergi, belajar di suku pedalaman itu. Selama jangka waktu yang cukup lama tersebut, beliau tidak hanya menguasai bahasa Arab dengan segala perangkatnya, tetapi juga berhasil menguasai dan menghafal syair-syair arab, ilmu nasab dan sejarah bangsa Arab. (Bersambung)
(mhy)