Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing Bertabur Hikmah
Sabtu, 26 Agustus 2023 - 14:12 WIB
Ia mengatakan, bahwa di Yamamah pernah terjadi banjir yang menghilangkan harta seseorang, dan seorang sahabat berkata: "Hadza al-mahrum (orang tersebut adalah mahrum)". Bahkan ia mengatakan:
أعياني أن أعلم ما المحروم
Artinya: "Telah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-Mahrum."
Kisah di atas menampilkan sebuah contoh "pengamalan" sebuah ayat Al-Qur'an. Perintah baik Al-Qur'an dibuktikan dengan prilaku, tidak hanya dipahami dalam nalar.
Hikmah dan Pelajaran Berharga
Sebagaimana umumnya manusia, kita dapat memahami kebaikan dengan mengatakan di pikiran kita, "ini baik", "itu baik", "hal ini baik" atau "hal itu baik". Tapi pemahaman kita tidak pernah mewujud dalam perbuatan, hanya sebatas pemahaman yang perlahan-lahan terlupakan dengan gerak waktu.
Apalagi, jika kebaikan itu harus dipahami, dimaknai, dan dimengerti terlebih dahulu, seperti kisah di atas. Untuk memahami bahwa anjing atau binatang termasuk dalam kategori al-Mahrum dibutuhkan pengetahuan mendalam.
Pengetahuan yang "dibersamai" dengan keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pengamalannya tidak butuh panjang pikir atau kalkulasi eman-emanan (sayang jika diberikan pada binatang).
Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa.
Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian. Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andai pun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.
"Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata tumbuh. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran."
Pengetahuan kita tentang kebaikan memberi dan berderma tidak berarti apa-apa, sekadar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita. Dan kita seakan-akan tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.
Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah Al-Mahrum. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim)
Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-Mahrum, apalagi manusia? Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?
أعياني أن أعلم ما المحروم
Artinya: "Telah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-Mahrum."
Kisah di atas menampilkan sebuah contoh "pengamalan" sebuah ayat Al-Qur'an. Perintah baik Al-Qur'an dibuktikan dengan prilaku, tidak hanya dipahami dalam nalar.
Hikmah dan Pelajaran Berharga
Sebagaimana umumnya manusia, kita dapat memahami kebaikan dengan mengatakan di pikiran kita, "ini baik", "itu baik", "hal ini baik" atau "hal itu baik". Tapi pemahaman kita tidak pernah mewujud dalam perbuatan, hanya sebatas pemahaman yang perlahan-lahan terlupakan dengan gerak waktu.
Apalagi, jika kebaikan itu harus dipahami, dimaknai, dan dimengerti terlebih dahulu, seperti kisah di atas. Untuk memahami bahwa anjing atau binatang termasuk dalam kategori al-Mahrum dibutuhkan pengetahuan mendalam.
Pengetahuan yang "dibersamai" dengan keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pengamalannya tidak butuh panjang pikir atau kalkulasi eman-emanan (sayang jika diberikan pada binatang).
Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa.
Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian. Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andai pun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.
"Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata tumbuh. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran."
Pengetahuan kita tentang kebaikan memberi dan berderma tidak berarti apa-apa, sekadar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita. Dan kita seakan-akan tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.
Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah Al-Mahrum. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim)
Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-Mahrum, apalagi manusia? Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?
(rhs)