Saat Imam Syafi’i Berguru ke Imam Malik di Madinah
Kamis, 30 April 2020 - 04:19 WIB
DI kota Makkah terdapat banyak sekali majlis ilmu yang ramai akan para pencinta ilmu yang dari berbagai negeri. Di sini Imam Syafi’i belajar. Beliau berguru kepada para syaikh yang mulia, menghadiri majlis ilmu mereka dan mengagungkannya.
Imam Syafi’i berguru kepada Sufyan bin Uyainah dalam bidang ilmu hadis dan tafsirnya yang kemudian nanti akan tersempurnakan tatkala beliau pergi merantau ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Beliau juga mempelajari ilmu fikih yang pada satu saat nanti akan melambungkan namanya ke seantero dunia sebagai begawan dalam dunia fikih dan termasuk mazhab fikih yang masih eksis hingga dewasa ini.
Beliau berguru kepada Syaikh Kholid azZanji, seorang guru yang sangat berpengaruh pada pendidikan Imam Syafi’i di Makkah.
Melihat begitu cerdas dan pemahamannya yang mendalam, Syaikh Kholid memberikan kewenangan kepada Imam Syafi’i muda untuk berfatwa. Padahal ketika itu, usia beliau baru menginjak 15 tahun. Jadilah beliau mufti muda di kota Makkah atas bimbingan dan arahan dari Syaikh Kholid az-Zanji.
Berguru ke Imam Malik
Berbekal surat pengantar dari wali Makkah yang ditujukan kepada wali Madinah dan Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat meninggalkan kampung halamannya, tempat ia tumbuh dan berkembang dalam tradisi keilmuan yang mula-mula.
Beliau pergi ke kota Madinah. Beliau menuju rumah wali Madinah dan mengutarakan maksud dan kedatangannya ke kota itu.
Setelah membaca surat dari wali Makkah yang dibawa oleh Imam Syafi’i dan mengetahui bahwa kedatangannya untuk menimba ilmu di majlis dan halaqahnya Imam Malik; bergetar kaki dan tangan Sang Wali Madinah.
Ia berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai anak muda, aku tahu dari suratmu ini, engkau memilik kedudukan yang tak biasa di kota Makkah. Tapi sungguh, berjalan kaki dari Madinah ke Makkah tanpa alas kakipun itu terasa lebih ringan bagiku jika dibanding harus bertandang ke kediaman Imam Malik!”
Tapi tugas tetaplah tugas yang harus diselesaikan. Amanah tetaplah amanah yang harus ditunaikan. Wali Madinah bersedia mengantar Imam Syafi’i menemui Imam Malik. Maka sampailah kedua orang ini di depan rumah Imam Malik.
Disambut oleh salah satu pembantunya, Wali Madinah memohon agar dipersilahkan menemui Imam Malik. Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, si pembantu keluar membawa pesan dari Imam Malik.
“Jika ada pertanyaan, cukup tuliskanlah dan tunggu besok akan kujawab. Jika ingin mengaji al-Muwaththa’ maka kalian tahu jadwalnya bukan hari ini,” ujar sang pembantu.
Wali Madinah menimpali, “Kami datang hendak menyampaikan surat dari Wali Makkah kepada Imam Malik.”
Si pembantu masuk lagi dan tak lama berselang ia keluar dengan membawa sebuah kursi yang kemudian ia tata dengan hati-hati sekali. Maka keluarlah Imam Malik menemui kedua tamunya itu.
Imam Malik adalah seorang Syaikh yang wajahnya memancarkan keikhlasan dan aura ilmu yang memesona. Imam Malik membaca surat itu dengan seksama. Setelah tahu apa maksudnya, beliau melempar surat itu ke tanah dan berkata, “Subhanallah, sejak kapan ilmu Rasulullah saw didatangi dengan wasilah surat menyurat seperti ini?”
Wali Madinah tak mampu berkata-kata. Ia seakan kehabisan kalimat di hadapan Imam Malik. Akhirnya, Imam Syafi’i memberanikan diri untuk berbicara. Mendengar kalimat dan tutur bahasa yang bagus, dan agaknya firasat Imam Malik yang mengatakan bahwa pemuda dihadapannya ini nanti akan jadi tokoh besar, Imam Malik berkata, “Datanglah besok untuk mendengar kajian kitab al-Muwaththa’!”
“Wahai Syaikh, aku sudah menghafalkannya di luar kepala,” jawab Imam Syafi’i.
Maka setelah dibacakan dihadapannya, Imam Malik begitu terkesan dengan hafalan dan bagusnya bacaan Imam Syafi’i.
Begitulah awal perjumpaan Imam Syafi’i dengan gurunya Imam Malik di kota Madinah. Hingga nantinya beliau berguru kepada Syaikhnya tersebut selama bertahu-tahun sampai maut menjemput sang guru mulia.
Pada tahun 179 H, Imam Syafi’i harus menelan pil pahit dalam kehidupan akademisnya. Bagaimana tidak? Di tahun yang sama itu wafat dua guru mulianya Imam Malik di Madinah dan Syaikh Kholid az-Zanji di Makkah. Namun, wafatnya kedua guru beliau tak lantas membuatnya larut dalam kesedihan. (Bersambung)
Imam Syafi’i berguru kepada Sufyan bin Uyainah dalam bidang ilmu hadis dan tafsirnya yang kemudian nanti akan tersempurnakan tatkala beliau pergi merantau ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Beliau juga mempelajari ilmu fikih yang pada satu saat nanti akan melambungkan namanya ke seantero dunia sebagai begawan dalam dunia fikih dan termasuk mazhab fikih yang masih eksis hingga dewasa ini.
Beliau berguru kepada Syaikh Kholid azZanji, seorang guru yang sangat berpengaruh pada pendidikan Imam Syafi’i di Makkah.
Melihat begitu cerdas dan pemahamannya yang mendalam, Syaikh Kholid memberikan kewenangan kepada Imam Syafi’i muda untuk berfatwa. Padahal ketika itu, usia beliau baru menginjak 15 tahun. Jadilah beliau mufti muda di kota Makkah atas bimbingan dan arahan dari Syaikh Kholid az-Zanji.
Berguru ke Imam Malik
Berbekal surat pengantar dari wali Makkah yang ditujukan kepada wali Madinah dan Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat meninggalkan kampung halamannya, tempat ia tumbuh dan berkembang dalam tradisi keilmuan yang mula-mula.
Beliau pergi ke kota Madinah. Beliau menuju rumah wali Madinah dan mengutarakan maksud dan kedatangannya ke kota itu.
Setelah membaca surat dari wali Makkah yang dibawa oleh Imam Syafi’i dan mengetahui bahwa kedatangannya untuk menimba ilmu di majlis dan halaqahnya Imam Malik; bergetar kaki dan tangan Sang Wali Madinah.
Ia berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai anak muda, aku tahu dari suratmu ini, engkau memilik kedudukan yang tak biasa di kota Makkah. Tapi sungguh, berjalan kaki dari Madinah ke Makkah tanpa alas kakipun itu terasa lebih ringan bagiku jika dibanding harus bertandang ke kediaman Imam Malik!”
Tapi tugas tetaplah tugas yang harus diselesaikan. Amanah tetaplah amanah yang harus ditunaikan. Wali Madinah bersedia mengantar Imam Syafi’i menemui Imam Malik. Maka sampailah kedua orang ini di depan rumah Imam Malik.
Disambut oleh salah satu pembantunya, Wali Madinah memohon agar dipersilahkan menemui Imam Malik. Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, si pembantu keluar membawa pesan dari Imam Malik.
“Jika ada pertanyaan, cukup tuliskanlah dan tunggu besok akan kujawab. Jika ingin mengaji al-Muwaththa’ maka kalian tahu jadwalnya bukan hari ini,” ujar sang pembantu.
Wali Madinah menimpali, “Kami datang hendak menyampaikan surat dari Wali Makkah kepada Imam Malik.”
Si pembantu masuk lagi dan tak lama berselang ia keluar dengan membawa sebuah kursi yang kemudian ia tata dengan hati-hati sekali. Maka keluarlah Imam Malik menemui kedua tamunya itu.
Imam Malik adalah seorang Syaikh yang wajahnya memancarkan keikhlasan dan aura ilmu yang memesona. Imam Malik membaca surat itu dengan seksama. Setelah tahu apa maksudnya, beliau melempar surat itu ke tanah dan berkata, “Subhanallah, sejak kapan ilmu Rasulullah saw didatangi dengan wasilah surat menyurat seperti ini?”
Wali Madinah tak mampu berkata-kata. Ia seakan kehabisan kalimat di hadapan Imam Malik. Akhirnya, Imam Syafi’i memberanikan diri untuk berbicara. Mendengar kalimat dan tutur bahasa yang bagus, dan agaknya firasat Imam Malik yang mengatakan bahwa pemuda dihadapannya ini nanti akan jadi tokoh besar, Imam Malik berkata, “Datanglah besok untuk mendengar kajian kitab al-Muwaththa’!”
“Wahai Syaikh, aku sudah menghafalkannya di luar kepala,” jawab Imam Syafi’i.
Maka setelah dibacakan dihadapannya, Imam Malik begitu terkesan dengan hafalan dan bagusnya bacaan Imam Syafi’i.
Begitulah awal perjumpaan Imam Syafi’i dengan gurunya Imam Malik di kota Madinah. Hingga nantinya beliau berguru kepada Syaikhnya tersebut selama bertahu-tahun sampai maut menjemput sang guru mulia.
Pada tahun 179 H, Imam Syafi’i harus menelan pil pahit dalam kehidupan akademisnya. Bagaimana tidak? Di tahun yang sama itu wafat dua guru mulianya Imam Malik di Madinah dan Syaikh Kholid az-Zanji di Makkah. Namun, wafatnya kedua guru beliau tak lantas membuatnya larut dalam kesedihan. (Bersambung)
(mhy)