Sunah Menurut Kaum Rafidhah, Hadis yang Diriwayatkan Para Imam
Kamis, 28 September 2023 - 10:40 WIB
Kaum Rafidhah berpendapat sunah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Para imam yang ma'shum (suci dari dosa). Mereka berjumlah dua belas. Adapun hadis yang diriwayatkan oleh selain imam, maka itu tidak dipandang sebagai hadis, walaupun sanadnya sahih dan muttashil (bersambung kepada Nabi).
Pendapat kaum Rafidhah ini disampaikan Mahmud az-Zaby dalam buku berjudul "Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at" yang diterjemahkan Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail menjadi "Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi" (Pustaka, 1989).
Sedangkan Dr Mustafa as-Siba'i menyatakan, kaum Rafidhah mempunyai ketentuan dasar bahwa orang yang tidak mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin, berarti ia telah menodai pesan Nabi. la telah menentang imam yang benar. Dengan begitu, ia tidak bisa dipandang adil dan tepercaya.
Mahmud az-Zaby mengatakan dalam menerima atau meneliti hadis, kaum Rafidhah tidak menggunakan metoda ilmiah, misalnya meneliti sanad (silsilah hadis) dan matan (teks hadis), seperti yang dilakukan oleh ulama Suni, untuk mengetahui mana hadis yang sahih dan yang lemah (dha'if). Mereka tidak menggunakan metoda itu.
Mereka hanya berpegang kepada riwayat imam. Ketersucian sang imam dari dosa sudah cukup bagi mereka sebagai kriteria kesahihan sebuah hadis.
Padahal, hadis-hadis yang diriwayatkan melalui sanad keluarga Nabi atau Ahlul Bayt sangatlah sedikit jumlahnya. Itulah sebabnya mengapa mereka meluputkan sejumlah hadis yang cukup besar.
Mereka beranggapan, hadis tidak datang kecuali melalui sanad Ahlul Bayt . Lalu, syarat 'ishmah (keterbebasan dari dosa) mereka kenakan kepada para perawi. Karena itu, hadis Nabi menjadi terlalu sempit untuk dapat menerangkan berbagai aspek Islam seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah. Juga, anggapan tersebut tidak mampu menjabarkan bagian ajaran Islam yang disampaikan Nabi tanpa penjelasan.
Menurut Mahmud az-Zaby, kenyataan tersebut menyebabkan kaum Rafidhah harus terus berbohong di mana mereka bersandar kepada imam-imam mereka. "Dari sini mereka meneruskan kebohongan mereka itu kepada Nabi, atau mencukupkan hingga kepada ' Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, atau kepada salah seorang dari keturunan mereka," ujarnya.
Mereka melakukan perbuatan tidak mulia itu walaupun harus berlawanan dengan hadis Nabi, namun sejalan dengan riwayat salah seorang sahabat yang mereka pandang kafir.
Dr 'Abdullah Fayadh, dosen Sejarah Islam di Universitas Baghdad, di dalam bukunya Tarikh al-Imamiyah yang diberi kata pengantar oleh Sayyid Muhammad Baqir, menulis: "Sesungguhnya kepercayaan bahwa imam-imam itu ma'shum (bebas dosa) menyebabkan semua hadis yang keluar dari mereka sahih dengan sendirinya, tanpa melihat apakah riwayat itu berasal dari Nabi (muttashil) ataukah tidak, sebagaimana dilakukan oleh perawi Suni".
Pendapat kaum Rafidhah ini disampaikan Mahmud az-Zaby dalam buku berjudul "Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at" yang diterjemahkan Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail menjadi "Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi" (Pustaka, 1989).
Sedangkan Dr Mustafa as-Siba'i menyatakan, kaum Rafidhah mempunyai ketentuan dasar bahwa orang yang tidak mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin, berarti ia telah menodai pesan Nabi. la telah menentang imam yang benar. Dengan begitu, ia tidak bisa dipandang adil dan tepercaya.
Mahmud az-Zaby mengatakan dalam menerima atau meneliti hadis, kaum Rafidhah tidak menggunakan metoda ilmiah, misalnya meneliti sanad (silsilah hadis) dan matan (teks hadis), seperti yang dilakukan oleh ulama Suni, untuk mengetahui mana hadis yang sahih dan yang lemah (dha'if). Mereka tidak menggunakan metoda itu.
Mereka hanya berpegang kepada riwayat imam. Ketersucian sang imam dari dosa sudah cukup bagi mereka sebagai kriteria kesahihan sebuah hadis.
Padahal, hadis-hadis yang diriwayatkan melalui sanad keluarga Nabi atau Ahlul Bayt sangatlah sedikit jumlahnya. Itulah sebabnya mengapa mereka meluputkan sejumlah hadis yang cukup besar.
Mereka beranggapan, hadis tidak datang kecuali melalui sanad Ahlul Bayt . Lalu, syarat 'ishmah (keterbebasan dari dosa) mereka kenakan kepada para perawi. Karena itu, hadis Nabi menjadi terlalu sempit untuk dapat menerangkan berbagai aspek Islam seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah. Juga, anggapan tersebut tidak mampu menjabarkan bagian ajaran Islam yang disampaikan Nabi tanpa penjelasan.
Menurut Mahmud az-Zaby, kenyataan tersebut menyebabkan kaum Rafidhah harus terus berbohong di mana mereka bersandar kepada imam-imam mereka. "Dari sini mereka meneruskan kebohongan mereka itu kepada Nabi, atau mencukupkan hingga kepada ' Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, atau kepada salah seorang dari keturunan mereka," ujarnya.
Mereka melakukan perbuatan tidak mulia itu walaupun harus berlawanan dengan hadis Nabi, namun sejalan dengan riwayat salah seorang sahabat yang mereka pandang kafir.
Dr 'Abdullah Fayadh, dosen Sejarah Islam di Universitas Baghdad, di dalam bukunya Tarikh al-Imamiyah yang diberi kata pengantar oleh Sayyid Muhammad Baqir, menulis: "Sesungguhnya kepercayaan bahwa imam-imam itu ma'shum (bebas dosa) menyebabkan semua hadis yang keluar dari mereka sahih dengan sendirinya, tanpa melihat apakah riwayat itu berasal dari Nabi (muttashil) ataukah tidak, sebagaimana dilakukan oleh perawi Suni".
(mhy)