Hukum-hukum untuk Bekal Beramal Saleh
Sabtu, 02 Desember 2023 - 07:40 WIB
Setiap amal perbuatan manusia di dunia akan mendapat ganjaran pahala.Amal baik akan mendapat ganjaran pahala yang baik, sebaliknya amal yang buruk akan mendapat ganjaran buruk atas perbuatannya. Dalam al Qur'an Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa Ia menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji para hamba siapa yang paling baik amalnya, sehingga terlihat siapakah yang layak masuk surga dan siapakah yang layak untuk diseret ke jurang neraka.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Mulk ayat 2,
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa Allah memiliki tujuan dalam menciptakan kehidupan dan kematian, yaitu untuk menguji siapa yang paling baik amalnya di antara para hamba. Karena itu, kita harus senantiasa meningkatkan amal baik.
Menurut Ustaz Amir Sahidin MAg, Pengajar PPTQ Ibnu Mas’ud, Purbalingga dalam tulisan ceramahnya menjelaskan, agar seseorang mendapat pahala dan keberkahan atas setiap amalan yang dilakukan dan rencana yang dibuat, maka setidaknya ada tiga hukum yang harus dipatuhi oleh setiap muslim. Tiga hukum tersebut yaitu
1. Hukum syar’i, berupa kehalalan atau keharaman;
2. Hukum siyasi, berupa kemaslahatan atau kemudaratan;
3. Hukum realitas, berupa kepastian mungkin atau tidak mungkin.
Tiga hukum ini merupakan perkara wajib yang harus diketahui oleh seseorang agar amalnya diterima dan diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Berikut penjelasannya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram telah jelas.”(HR Muslim no 1599)
Selain itu, Allah adalah Zat Yang Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik pula,"(HR Muslim 1015)
Untuk itulah hendaknya seseorang bertanya pada dirinya: Apakah amalan yang hendak ia kerjakan itu hukumnya halal atau haram?
Jika ia tidak mengetahuinya, maka ia wajib mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Anbiya’ ayat 7,
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”(QS al Anbiya : 7)
Seseorang yang belum mengetahui hukum suatu amalan yang akan ia kerjakan, wajib untuk menanyakannya pada orang yang terpercaya secara keilmuan syariat dan waqi’/kondisi, serta terpercaya agamanya.
Hal ini merupakan perkara yang lebih sulit dari hukum sebelumnya, karena berkaitan dengan ruwetnya masalah maslahat dan mudarat. Demikian karena tidak cukup hanya melihat lahiriah hukumnya halal atau mubah hingga ketika dikerjakan pun mengandung konsekuensi demikian.
Sebab jika suatu amalan diketahui—setelah melalui pertimbangan siyasah, kondisi real dan pandangan orang yang berpengalaman—mengandung mudarat yang setara atau lebih besar dari maslahatnya, maka melaksanakannya pun menjadi haram.
Hal ini berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi ‘Tidak boleh mendatangkan bahaya dan menolak bahaya dengan bahaya lainnya’.
Dengan demikian, bagi yang tidak mengetahui masalah ini, ia wajib mengembalikan perkaranya pada orang yang terpercaya dalam masalah keilmuan, terutama ilmu siyasah dan waqi’/realitas dari orang yang terpercaya agamanya.
Siapa saja yang mampu melaksanakannya, maka mereka inilah orang-orang yang memiliki azam kuat untuk melaksanakannya. Terlebih jika ia telah bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang yang berpengalaman dan terpercaya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 26,
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Untuk itulah, setiap manusia tidak mungkin sukses dalam melakukan suatu amalan kecuali dengan mengambil tiga ketetapan hukum tersebut. Yaitu hukum syar’i, siyasah kemaslahatan, dan realitas kemungkinan. Dengan demikian, amal perbuatan yang kita lakukan merupakan amalan yang halal, bermaslahat, dan dapat direalisasikan.
Wallahu A'lam
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Mulk ayat 2,
اَلَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa Allah memiliki tujuan dalam menciptakan kehidupan dan kematian, yaitu untuk menguji siapa yang paling baik amalnya di antara para hamba. Karena itu, kita harus senantiasa meningkatkan amal baik.
Menurut Ustaz Amir Sahidin MAg, Pengajar PPTQ Ibnu Mas’ud, Purbalingga dalam tulisan ceramahnya menjelaskan, agar seseorang mendapat pahala dan keberkahan atas setiap amalan yang dilakukan dan rencana yang dibuat, maka setidaknya ada tiga hukum yang harus dipatuhi oleh setiap muslim. Tiga hukum tersebut yaitu
1. Hukum syar’i, berupa kehalalan atau keharaman;
2. Hukum siyasi, berupa kemaslahatan atau kemudaratan;
3. Hukum realitas, berupa kepastian mungkin atau tidak mungkin.
Tiga hukum ini merupakan perkara wajib yang harus diketahui oleh seseorang agar amalnya diterima dan diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Berikut penjelasannya:
1. Hukum syar’i
Hendaknya seseorang sebelum melakukan suatu amalan, ia mencari hukum syar’i amalan tersebut. Demikian itu karena perkara yang halal telah jelas dalam Islam dan yang haram pun sudah jelas dalam Islam.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
“Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas, dan perkara yang haram telah jelas.”(HR Muslim no 1599)
Selain itu, Allah adalah Zat Yang Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik pula,"(HR Muslim 1015)
Untuk itulah hendaknya seseorang bertanya pada dirinya: Apakah amalan yang hendak ia kerjakan itu hukumnya halal atau haram?
Jika ia tidak mengetahuinya, maka ia wajib mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam surat al-Anbiya’ ayat 7,
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”(QS al Anbiya : 7)
Seseorang yang belum mengetahui hukum suatu amalan yang akan ia kerjakan, wajib untuk menanyakannya pada orang yang terpercaya secara keilmuan syariat dan waqi’/kondisi, serta terpercaya agamanya.
2. Hukum Siyasi
Hendaknya seseorang memperhatikan dan memikirkan, sejauh ilmu yang ia miliki, konsekuensi yang akan diterima dari suatu perbuatan yang hendak ia kerjakan. Apakah perbuatan itu berfaedah untuk kemaslahatan diri dan umat, atau justru membahayakannya?Hal ini merupakan perkara yang lebih sulit dari hukum sebelumnya, karena berkaitan dengan ruwetnya masalah maslahat dan mudarat. Demikian karena tidak cukup hanya melihat lahiriah hukumnya halal atau mubah hingga ketika dikerjakan pun mengandung konsekuensi demikian.
Sebab jika suatu amalan diketahui—setelah melalui pertimbangan siyasah, kondisi real dan pandangan orang yang berpengalaman—mengandung mudarat yang setara atau lebih besar dari maslahatnya, maka melaksanakannya pun menjadi haram.
Hal ini berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi ‘Tidak boleh mendatangkan bahaya dan menolak bahaya dengan bahaya lainnya’.
Dengan demikian, bagi yang tidak mengetahui masalah ini, ia wajib mengembalikan perkaranya pada orang yang terpercaya dalam masalah keilmuan, terutama ilmu siyasah dan waqi’/realitas dari orang yang terpercaya agamanya.
3. Hukum Realitas
Termasuk perkara yang sangat penting setelah mengetahui hukum syar’i dan siyasi adalah memperhatikan kemungkinan tercapainya amalan tersebut. Ini merupakan perkara yang sangat penting dan utama, sehingga amalan yang sudah diketahui kehalalan dan kemaslahatannya akan dapat tercapai dengan pertimbangan kemungkinan dapat direalisasikannya.Siapa saja yang mampu melaksanakannya, maka mereka inilah orang-orang yang memiliki azam kuat untuk melaksanakannya. Terlebih jika ia telah bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang yang berpengalaman dan terpercaya.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash ayat 26,
اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
Untuk itulah, setiap manusia tidak mungkin sukses dalam melakukan suatu amalan kecuali dengan mengambil tiga ketetapan hukum tersebut. Yaitu hukum syar’i, siyasah kemaslahatan, dan realitas kemungkinan. Dengan demikian, amal perbuatan yang kita lakukan merupakan amalan yang halal, bermaslahat, dan dapat direalisasikan.
Wallahu A'lam
(wid)