Bolehkah Wanita Bersafar Tanpa Mahram? Begini Penjelasannya
Sabtu, 23 Desember 2023 - 05:15 WIB
Apa syarat disebut darurat? Di antara syaratnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dharar (bahaya). (bersambung)
Namun, masih ada selisih di antara para ulama tentang status hukumnya. Menurut Ustadz Ahmad Zain, ada beberapa pendapat mengenai mahram yang wajib tidaknya mendampingi perempuan ini ketika melakukan safar wajib.
Pendapat pertama, seorangperempuan tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari keduanya. Mereka berdalil dengan keumuman hadis yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, di antaranya adalah hadis Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.”Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji.”Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. (
Pendapat kedua, seorang perempuan muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram. Mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’i, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Zhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau (al-Majmu’: VIII/382, al-Furu’: III/ 177).
Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombonganperempuan yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Imam al-Baji al-Maliki berkata: “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi perempuan yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa: III/17).
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Hadis Adi bin Hatim radhiyallahu'anhu, bahwa NabiShallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorangperempuan yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al-Hirah hingga melakukan thawaf di Kakbah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari).
2. Atsar Ibnu Umar radhiyallahu'anhu
Ibnu Umar berkatabahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya.Kemudian beliau berhaji dengan mereka.Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar.Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram.(Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla).
3. Atsar Aisyah radhiyallahu'anha.
Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata, “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?” (Riwayat Baihaqi).
4.Kaidah fiqhiyah
- Masalah safar perempuan termasuk dalam katagori muamalah, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya, yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman. (
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.”
- Berdasarkan kaidah tersebut, sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdurrazaq Afifi (Fatawa wa Rasail: I/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang. Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.
3. Safar Wajib
Contoh dari safar wajib ini seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji , menolong orang sakit, dan berbakti kepada orang tua.Namun, masih ada selisih di antara para ulama tentang status hukumnya. Menurut Ustadz Ahmad Zain, ada beberapa pendapat mengenai mahram yang wajib tidaknya mendampingi perempuan ini ketika melakukan safar wajib.
Pendapat pertama, seorangperempuan tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari keduanya. Mereka berdalil dengan keumuman hadis yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, di antaranya adalah hadis Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.”Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji.”Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. (
Pendapat kedua, seorang perempuan muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram. Mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’i, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Zhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau (al-Majmu’: VIII/382, al-Furu’: III/ 177).
Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombonganperempuan yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Imam al-Baji al-Maliki berkata: “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi perempuan yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa: III/17).
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Hadis Adi bin Hatim radhiyallahu'anhu, bahwa NabiShallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorangperempuan yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al-Hirah hingga melakukan thawaf di Kakbah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari).
2. Atsar Ibnu Umar radhiyallahu'anhu
Ibnu Umar berkatabahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya.Kemudian beliau berhaji dengan mereka.Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar.Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram.(Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla).
3. Atsar Aisyah radhiyallahu'anha.
Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata, “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?” (Riwayat Baihaqi).
4.Kaidah fiqhiyah
- Masalah safar perempuan termasuk dalam katagori muamalah, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya, yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman. (
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.”
- Berdasarkan kaidah tersebut, sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdurrazaq Afifi (Fatawa wa Rasail: I/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang. Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.