Mullah Nashruddin, Tali Jemuran, Dewa Penolong, dan Apel Surgawi

Rabu, 12 Agustus 2020 - 08:13 WIB
Nashruddin Hoja. Foto/Ilustrasi/Ist
MEKANISME rasionalisasi merupakan salah satu penghalang efektif bagi pendalaman persepsi. Dampak sufistik mungkin seringkali disia-siakan karena individu tersebut tidak akan menyerapnya secara tepat. ( )

Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran Nashruddin .

"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di atasnya."

"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum di atas tali jemuran?"

"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak ingin meminjamkannya."

Di sini Nashruddin menampilkan dirinya sendiri sebagai bagian jiwa/akal yang selalu menolak, yang tidak akan menerima bahwa terdapat cara lain untuk mendekati kebenaran selain pola-pola konvensional.

Dewa Penolong

Dalam perkembangan pikiran manusia, terdapat perubahan konstan dan membatasi kegunaan setiap teknik khusus. Karakteristik praktik sufi ini terabaikan dalam sistem-sistem yang bersifat pengulangan, yang mengondisikan pikiran dan menciptakan suatu suasana pencapaian atau kedekatan pada pencapaian, tanpa benar-benar menghasilkannya. Nashruddin menggambarkan karakteristik tersebut dalam sebuah cerita yang berusaha memperjelas hal itu.

Mullah Nashruddin hampir terjatuh ke dalam kolam air. Seorang yang lewat menyelamatkannya, di saat yang tepat. Setiap kali mereka bertemu, orang tersebut mengingatkan Nashruddin betapa ia telah mencegahnya untuk tidak basah kuyup.

Akhirnya karena tidak tahan lagi, Nashruddin membawa "dewa penolongnya" tersebut ke kolam, kemudian ia menceburkan diri sampai sebatas leher, dan berteriak, "Sekarang aku basah kuyup seperti seandainya tidak pernah bertemu dengan Anda! Maukah Anda membiarkanku sendiri?" ( )

Lelucon atau dongeng biasa, yang hanya mengandung satu persoalan atau penekanan, tidak bisa dibandingkan dengan sistem Nashruddin -- secara ideal merupakan suatu partisipasi-pembacaan yang menghasilkan pengaruh batin, begitu juga pengaruh lahir atau superfisial.

Idries Shah dalam The Sufis berpendapat dongeng dan lelucon biasa secara mistik dipandang steril karena tidak memiliki kekuatan menembus atau regenerasi sejati.( )

Menurut Idries Shah, meskipun kepiawaian dan tujuan yang rumit dari cerita Nashruddin jauh lebih tinggi, katakanlah dibanding tokoh Baldakiev bagi orang-orang Rusia, Joha bagi orang-orang Arab, atau Bertoldo bagi orang-orang Italia -- semuanya adalah tokoh-tokoh komik yang terkenal -- perbedaan tertentu dari kedalaman makna pada cerita-cerita bisa dimasukkan melalui cara-cara lelucon Nashruddin dan kesepadanannya pada peristiwa sporadis di mana saja.



Apel Surgawi

Sebuah cerita Zen memberikan satu contoh menarik. Dalam cerita ini seorang pendeta bertanya kepada seorang guru untuk memberikan suatu gambaran realitas (yang ada) di luar realitas. Guru tersebut menggambar sebuah apel yang busuk, dan pendeta tersebut menangkap kebenaran itu melalui tanda ini. Kita tetap dalam kegelapan tentang apa yang ada di balik, atau yang membawa kepada, pencerahan tersebut.



Cerita Nashruddin tentang apel mengisi sejumlah besar rincian yang hilang tersebut. Nashruddin tengah duduk di antara murid-muridnya, ketika salah seorang muridnya bertanya kepadanya tentang hubungan antara hal-hal yang ada di dunia ini dan hal-hal yang ada di suatu dimensi yang berbeda. Nashruddin mengatakan, "Engkau harus memahami tamsil!" Murid tersebut berkata, "Perlihatkan kepada kami sesuatu yang praktis -- sebagai contoh sebuah apel dari Firdaus!"



Nashruddin memetik sebuah apel dan menyerahkannya kepada murid tersebut. "Namun apel ini jelek di salah satu bagiannya -- apel surgawi seharusnya sempurna."
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman.

(HR. Bukhari No.8)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More