Nashruddin Sering Mainkan Peranan Orang yang Belum Tercerahkan
loading...
A
A
A
JIKA kita melihat beberapa cerita klasik Mullah Nashruddin dengan cara seutuh mungkin, kita segera menemukan bahwa keseluruhan pendekatan skolastik merupakan cara terakhir yang diperbolehkan oleh Sufi: (
)
Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas bersama seorang sarjana yang berpola pikir kaku dan formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang secara kaidah bahasa tidak sesuai. "Apakah Anda tidak pernah belajar kaidah-kaidah?" tanya si sarjana tersebut.
"Tidak," jawab Nashruddin.
"Maka separo kehidupan Anda sia-sia," ucapnya kepada Nashruddin seraya bertanya, "Apakah Anda pernah belajar berenang?"
"Tidak, mengapa?"
"Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia -- kita tengah tenggelam." ( )
Idries Shah dalam The Sufis yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi Mahkota Sufi : Menembus Dunia Ekstra Dimensi, berpendapat Ini merupakan penekanan terhadap sufisme sebagai suatu aktivitas praktis, seraya menolak bahwa pemikiran formal bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran yang diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan pada realitas yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi lainnya.
Hal ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah cerita konyol yang dilontarkan di sebuah warung teh, sebuah istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis. Seorang pendeta masuk dan berkata:
"Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa manusia tidak akan pernah sempurna sampai seorang yang tidak dizalimi marah pada kezaliman itu, semarah orang yang benar-benar dizalimi."
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian Nashruddin berujar: "Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun menjadi marah tentang sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan itu pada hakikatnya adalah salah -- dan bukan sekadar dugaan."
Kepercayaan Dangkal
Nashruddin, menurut Idries Shah, dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering menggunakan teknik darwis bagi dirinya sendiri dengan memainkan peranan orang yang belum tercerahkan dalam sebuah cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita terkenal yang menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial) terhadap hukum sebab-akibat menjadikan dirinya sebagai korban.
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"
Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku) dan tidak bisa menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang yang benar-benar berbeda, maka ia kehilangan sejumlah besar makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju, tetapi tidak bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya dimuati kantong-kantong penuh berisi sekam, menyeberangi perbatasan setiap hari. Karena mengaku sebagai penyelundup kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka para penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka memeriksa orangnya, menurunkan sekamnya, kemudian memasukkannya ke dalam air dan bahkan membakarnya dari waktu ke waktu.
Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas bersama seorang sarjana yang berpola pikir kaku dan formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang secara kaidah bahasa tidak sesuai. "Apakah Anda tidak pernah belajar kaidah-kaidah?" tanya si sarjana tersebut.
"Tidak," jawab Nashruddin.
"Maka separo kehidupan Anda sia-sia," ucapnya kepada Nashruddin seraya bertanya, "Apakah Anda pernah belajar berenang?"
"Tidak, mengapa?"
"Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia -- kita tengah tenggelam." ( )
Idries Shah dalam The Sufis yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi Mahkota Sufi : Menembus Dunia Ekstra Dimensi, berpendapat Ini merupakan penekanan terhadap sufisme sebagai suatu aktivitas praktis, seraya menolak bahwa pemikiran formal bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran yang diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan pada realitas yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi lainnya.
Hal ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah cerita konyol yang dilontarkan di sebuah warung teh, sebuah istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis. Seorang pendeta masuk dan berkata:
"Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa manusia tidak akan pernah sempurna sampai seorang yang tidak dizalimi marah pada kezaliman itu, semarah orang yang benar-benar dizalimi."
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian Nashruddin berujar: "Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun menjadi marah tentang sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan itu pada hakikatnya adalah salah -- dan bukan sekadar dugaan."
Kepercayaan Dangkal
Nashruddin, menurut Idries Shah, dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering menggunakan teknik darwis bagi dirinya sendiri dengan memainkan peranan orang yang belum tercerahkan dalam sebuah cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita terkenal yang menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial) terhadap hukum sebab-akibat menjadikan dirinya sebagai korban.
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"
Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku) dan tidak bisa menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang yang benar-benar berbeda, maka ia kehilangan sejumlah besar makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju, tetapi tidak bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya dimuati kantong-kantong penuh berisi sekam, menyeberangi perbatasan setiap hari. Karena mengaku sebagai penyelundup kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka para penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka memeriksa orangnya, menurunkan sekamnya, kemudian memasukkannya ke dalam air dan bahkan membakarnya dari waktu ke waktu.