Debat Capres Cawapres: Bagaimana Menurut Hukum Islam?
Senin, 22 Januari 2024 - 08:20 WIB
Hukum berdebat dalam Islam adalah dibolehkan selama kedua belah pihak sama-sama punya dalil yang kuat dan mengedepankan logika. Sedangkan debat yang tercela dalam Islam adalah suatu perbedatan yang tidak memakai dasar ilmu, tanpa dalil, dan sepenuhnya subjektif. Debat yang tercela adalah debat yang lebih mengutamakan otot, bukannya argumen.
Secara umum, debat dalam menghilangkan keberkahan dari ilmu. Allah sendiri pun sangat membenci orang yang paling keras dalam berdebat atau merasa diri paling benar. Orang seperti ini hanya ingin dirinya menang, oleh karena itulah Allah sangat tidak menyukainya. Perhatikan hadis Nabi MuhammadSAW berikut ini:
“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR. Bukhari , No. 4523)”
Tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang.
Di sisi lain, Al-Qur’an menjadikan debat sebagai salah satu pilar utama dari beberapa pilar dakwah , sebagaimana pula menjadikan debat sebagai bagian dari dialog.
Istilah debat dan dialog digunakan oleh al-Qur’an dengan makna yang sama. Adapun metode perdebatan yang digunakannya, al-Qur’an menempuh berbagai macam metode yang dapat menyentuh sisi-sisi kejiwaan dari manusia, baik dari aspek logika, hati, perasaan dan inderanya.
Dalam menyampaikan perdebatannya, al-Qur’an menggunakan susunan yang sangat kokoh, dalil-dalil yang sangat terang dan argumen-argumen yang sangat kuat dan dapat diterima oleh akal yang sehat, jiwa yang mulia dan hati yang suci.
Debat yang qur’ani merupakan jalan dakwah kepada Allah dan dialog persuasif merupakan sunah (ajaran) al-Qur’an yang harus dipegang erat oleh umat Islam dan harus diambil oleh mereka ketika berdebat dengan sesuatu yang lebih baik, dengan harapan lawan bicara mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah dialog dalam perdebatan tentunya harus tetap mematuhi etika dan ketentuan yang sudah ada.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menceritakan suatu ketika Imam Syafi'i ditanya mengenai suatu masalah, namun ia diam. Begitu ditanya, "kau tak tau jawabannya?" Beliau menjawab, "Aku berpikir dulu mana yang lebih utama apakah dijawab atau tidak."
Sikap Imam Syafi'i ketika ditanya orang bodoh itu juga tertera dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Surabaya Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah.
Imam Syafii mengatakan: "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual aku selalu menang. Tetapi anehnya kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya."
Ada pepatah atau kata mutiara Arab yang menyebut:
Tarkul jawab alal jaahil jawabun
"Tidak menjawab pertanyaan ('orang') bodoh adalah jawaban".
Selain Imam Syafii, Kata mutiara ini dipraktikkan calon Wakil Presiden Mahfud MD tatkala berdebat dengan Cawapres Gibran Rakabuming Raka . Mahfud tidak menjawab pertanyaan Gibran. Sikap Mahfud tersebut sudah barang tentu sebagai jawaban.
Secara umum, debat dalam menghilangkan keberkahan dari ilmu. Allah sendiri pun sangat membenci orang yang paling keras dalam berdebat atau merasa diri paling benar. Orang seperti ini hanya ingin dirinya menang, oleh karena itulah Allah sangat tidak menyukainya. Perhatikan hadis Nabi MuhammadSAW berikut ini:
“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.” (HR. Bukhari , No. 4523)”
Tujuan debat sejatinya hanyalah untuk mencari kebenaran. Maka ketika kebenaran sudah diterima dengan akal sehat dan logika, maka tidak perlu ada lagi perdebatan yang panjang.
Di sisi lain, Al-Qur’an menjadikan debat sebagai salah satu pilar utama dari beberapa pilar dakwah , sebagaimana pula menjadikan debat sebagai bagian dari dialog.
Istilah debat dan dialog digunakan oleh al-Qur’an dengan makna yang sama. Adapun metode perdebatan yang digunakannya, al-Qur’an menempuh berbagai macam metode yang dapat menyentuh sisi-sisi kejiwaan dari manusia, baik dari aspek logika, hati, perasaan dan inderanya.
Dalam menyampaikan perdebatannya, al-Qur’an menggunakan susunan yang sangat kokoh, dalil-dalil yang sangat terang dan argumen-argumen yang sangat kuat dan dapat diterima oleh akal yang sehat, jiwa yang mulia dan hati yang suci.
Debat yang qur’ani merupakan jalan dakwah kepada Allah dan dialog persuasif merupakan sunah (ajaran) al-Qur’an yang harus dipegang erat oleh umat Islam dan harus diambil oleh mereka ketika berdebat dengan sesuatu yang lebih baik, dengan harapan lawan bicara mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah-langkah dialog dalam perdebatan tentunya harus tetap mematuhi etika dan ketentuan yang sudah ada.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menceritakan suatu ketika Imam Syafi'i ditanya mengenai suatu masalah, namun ia diam. Begitu ditanya, "kau tak tau jawabannya?" Beliau menjawab, "Aku berpikir dulu mana yang lebih utama apakah dijawab atau tidak."
Sikap Imam Syafi'i ketika ditanya orang bodoh itu juga tertera dalam Mafahim Yajibu an Tushahhah karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Surabaya Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah.
Imam Syafii mengatakan: "Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual aku selalu menang. Tetapi anehnya kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya."
Ada pepatah atau kata mutiara Arab yang menyebut:
ترك الجواب على الجاهل جواب
Tarkul jawab alal jaahil jawabun
"Tidak menjawab pertanyaan ('orang') bodoh adalah jawaban".
Selain Imam Syafii, Kata mutiara ini dipraktikkan calon Wakil Presiden Mahfud MD tatkala berdebat dengan Cawapres Gibran Rakabuming Raka . Mahfud tidak menjawab pertanyaan Gibran. Sikap Mahfud tersebut sudah barang tentu sebagai jawaban.
(mhy)