Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam, Ada 2 Perbedaan dengan Indonesia
Senin, 05 Februari 2024 - 15:40 WIB
Pada saat ‘Alî ibn Abî Thâlib terpilih, beliau menolak jika baiatnya hanya sebagai baiat khusus dari ahl al-hall wa al-‘aqdi. ‘Alî ibn Abî Thâlib kemudian berdiri di dalam masjid dan rakyat berbondong-bondong memberikan baiat kepada beliau.
Bentuk demikian merupakan bentuk pemilu karena adanya keterlibatan dan peran rakyat dalam menyukseskan baiat seorang pemimpin (khalifah).
Dengan demikian, pemilu dalam Islam dapat digambarkan yaitu:
(1) Kandungan proses pemilu berupa keharusan tegaknya baiat atas pilihan dan rida rakyat, merupakan perkara yang tercakup dalam syariat. Baiat dalam Islam tidak terjadi melainkan atas asas pilihan, maka baiat yang terjadi pada seluruh al-Khulafâ’ alRâsyidûn, yang tegaknya berdasarkan rida dan pilihan.
(2) Menyerahkan urusan baiat dan ketaatan kepada rakyat merupakan perkara yang diakui oleh syariat. Wajib bagi seluruh rakyat memberi baiat kepada imam (kepala negara) mereka. Karena baiat kemudian terikat oleh hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.
Terdapat perbedaan antara pemilu yang terjadi di Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi dalam Islam sebagaimana diriwayatkan di atas. Perbedaan tersebut adalah:
(1) Menyerahkan urusan pemilihan kepala negara kepada seluruh rakyat, serta membatasinya pada orang yang mereka (rakyat) kehendaki. Hal ini tentunya tidak terdapat dalam Islam.
Dalam sejarah Islam, pemilihan khalifah yang dilakukan oleh ahl alhall wa al-‘aqdi, kemudian diikuti oleh baiat seluruh rakyat, sebagaimana terjadi pada masa Abû Bakr atau keterlibatan manusia dalam baiat khalifah secara langsung tanpa ada pilihan dan pembatasan bagi mereka sebagaimana terjadi pada baiat ‘Alî ibn Abî Thâlib.
(2) Pemberian kepada setiap orang satu hak suara yang sifatnya terbatas, sebab dari perhitungan suara tersebut keluar siapa yang akan menjadi pemimpin berdasarkan suara mayoritas. Metode ini juga tidak terdapat dalam sejarah Islam. Baiat yang sifatnya umum terselenggara berdasarkan rida manusia dan kesediaan mereka memberikan baiatnya. Adapun baiat yang sifatnya khusus dari ahl al-hall wa al-‘aqdi terselenggara setelah melalui proses musyawarah dan pertimbangan tanpa memperhatikan perhitungan suara seperti pemilu hari ini.
Kendati para fukaha menyatakan bahwa yang dikedepankan adalah pendapat mayoritas dan bukan selainnya, namun hal ini pun terbatas pada pendapat dan pandangan ahl al-hall wa al-‘aqdi dan bukan pandangan umum sebagaimana terjadi hari ini.
Adanya calon-calon lain yang ikut bertarung untuk mendapatkan pilihan dan baiat dari rakyat. Padahal persoalan menyerahkan baiat kepada rakyat dalam sejarah Islam bukan untuk tujuan membedakan dan memilih calon-calon yang bertarung, akan tetapi untuk memberi baiat kepada khalifah yang dipilih oleh ahl al-hall wa al-‘aqdi atau ikut serta (bersama ahl al-hall wa al-‘aqdi) dalam memberikan baiat kepada seseorang tertentu.
(mhy)