Prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah: Berdalil Sesuai Al-Qur'an dan Sunah Nabi
Jum'at, 01 Maret 2024 - 06:15 WIB
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mengatakan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW , baik secara lahir maupun batin. Mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya, dan khususnya mengikuti Khulafaurrasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunahku, dan sunah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk”
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun atas firman Allah dan sabda Rasulullah SAW . "Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab was Sunnah," tulis Syaikh al-Fauzan dalam bukunya yang diterjemahkan Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf berjudul "Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah" (IslamHouse).
Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya“. [ QS An Nisa’/4 : 59].
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman (terpelihara dari berbuat dosa) seseorang selain RasulullahSAWdan mereka tidak berta’assub (fanatik) pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As Sunnah.
Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Dan tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ta’assub (fanatik) dan ahli bid’ah.
Sungguh mereka tetap mentolerir perbedaan yang wajar, bahkan mereka tetap saling mencinta, loyal satu sama yang lain; sebagian mereka tetap salat di belakang yang lain betapapun ada perbedaan masalah fiqh di antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ»
“Berpegang teguhlah kamu kepada sunahku, dan sunah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk”
Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan siapapun atas firman Allah dan sabda Rasulullah SAW . "Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab was Sunnah," tulis Syaikh al-Fauzan dalam bukunya yang diterjemahkan Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf berjudul "Prinsip-Prinsip Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah" (IslamHouse).
Setelah mengambil dasar Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Allah telah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya“. [ QS An Nisa’/4 : 59].
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman (terpelihara dari berbuat dosa) seseorang selain RasulullahSAWdan mereka tidak berta’assub (fanatik) pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As Sunnah.
Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Dan tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan di antara mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ta’assub (fanatik) dan ahli bid’ah.
Sungguh mereka tetap mentolerir perbedaan yang wajar, bahkan mereka tetap saling mencinta, loyal satu sama yang lain; sebagian mereka tetap salat di belakang yang lain betapapun ada perbedaan masalah fiqh di antara mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.
(mhy)