Inilah Jenis Ghibah yang Boleh, Salah Satunya Menggunjingkan Kezaliman Penguasa

Rabu, 20 Maret 2024 - 14:05 WIB
Jenis ghibah yang dibolehkan dalam syariat ada beberapa bentuk dengan syarat-syarat yang detail perkaranya, salah satunya menghibahi kezaliman penguasa atau pemimpin. Foto ilustrasi/ist
Ghibah atau menggunjing merupakan perbuatan tercela dan dosa. Namun ada beberapa jenis ghibah yang ternyata diperbolehkan bahkan dianjurkan dilakukan. Ghibah seperti apa dan bagaimana dalilnya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الغِيبَةُ ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ :ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيل: أَفَرَأيْتَ إنْ كَانَ فِي أخِي مَا أَقُولُ ؟ قَالَ :إنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ


"Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang ada dalam diri saudaramu yang tidak disukai olehnya. Dikatakan: Bagaimana jika perkataanku tentangnya benar? Beliau menjawab: Jika yang kamu katakan itu benar, maka kamu telah berbuat ghibah, dan jika tidak benar, maka kamu telah membuat-buat kedustaan pada dirinya. (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, Ahmad dan lainnya)

Sedangkan ghibah yang dibolehkan dalam syariat ada beberapa bentuk atau jenis dengan syarat-syarat yang detail perkaranya. Syaikh Mahmud al-Mishri dalam bukunya, Rihlah Ma’a ash-Shadiqin, menjelaskan, ada enam jenis ghibah yang dibolehkan dalam Islam;

1. Ghibah dalam rangka mengadukan kezaliman

Orang yang dizalimi boleh mengadukan kezaliman yang diterimanya kepada penguasa, hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memberikan keadilan dari orang yang menzaliminya. Dia boleh mengatakan, “Si Fulan menzalimiku begini dan begini.”

2. Ghibah dalam rangka meminta bantuan untuk mengubah kemunkaran

Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa mengubah kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan semisalnya.

Maksud perkataan ini adalah untuk menghilangkan kemungkaran. Jika maksudnya bukan untuk itu, maka hukumnya haram.

3. Ghibah dalam rangka meminta fatwa

Seseorang mengatakan kepada mufti/ahli fatwa, “Bapakku, atau saudaraku, atau suamiku telah menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu? Bagaimana cara saya agar bisa terlepas dari kezaliman tersebut?,” dan semisalnya.

Perkataan seperti ini dibolehkan untuk suatu keperluan. Namun, sebagai langkah kehati-hatian dalam bertindak, pertanyaan disampaikan dengan menggunakan kalimat pihak ke tiga. Misal, “Apa pendapat anda tentang seorang laki-laki yang berbuat begini-dan begini..dst”.

Cara seperti ini dapat menyampaikan pada tujuan yang diinginkan tanpa harus menyebut nama terang, meskipun menyebutkan nama juga boleh. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan nafkah untukku dan anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan dirinya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadis Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’)

4. Ghibah dalam rangka mengingatkan kaum muslimin dari sebuah keburukan dan menasehati mereka

Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan perawi yang biasa disebutkan oleh perawi yang lain dalam masalah periwayatan hadits Nabi. Ini dikenal dengan ilmu Jarh wa ta’dil. Ini dibolehkan berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Bahkan wajib, karena dibutuhkan.

Contoh lain, ketika dalam proses taaruf/khitbah seorang perempuan yang ingin dinikahi, atau seorang laki-laki yang melamar. Pihak wali tidak boleh menyembunyikan keadaan yang ada pada perempuan yang ingin dinikahkan. Bahkan, wali tersebut harus menyebutkan kondisi perempuan/laki-laki dalam rangka meraih maslahat pernikahan.

Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “..Maka ketika saya sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm sudah maju melamarku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dengankan Mu’awiyah, dia miskin tidak memiliki harta.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia adalah seorang laki-laki yang suka memukul wanita.”

Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika seseorang melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah atau orang fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada kekhawatiran dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang melihat itu harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya orang fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.

Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan murni dalam rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini. Tidak boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.
Halaman :
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
اِذۡ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيۡسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ اذۡكُرۡ نِعۡمَتِىۡ عَلَيۡكَ وَعَلٰى وَالِدَتِكَ‌ ۘ اِذۡ اَيَّدْتُكَ بِرُوۡحِ الۡقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِىۡ الۡمَهۡدِ وَكَهۡلًا ‌ ۚوَاِذۡ عَلَّمۡتُكَ الۡـكِتٰبَ وَالۡحِكۡمَةَ وَالتَّوۡرٰٮةَ وَالۡاِنۡجِيۡلَ‌ ۚ وَاِذۡ تَخۡلُقُ مِنَ الطِّيۡنِ كَهَيْئَةِ الطَّيۡرِ بِاِذۡنِىۡ فَتَـنۡفُخُ فِيۡهَا فَتَكُوۡنُ طَيۡرًۢا بِاِذۡنِىۡ‌ وَ تُبۡرِئُ الۡاَكۡمَهَ وَالۡاَبۡرَصَ بِاِذۡنِىۡ‌ ۚ وَاِذۡ تُخۡرِجُ الۡمَوۡتٰى بِاِذۡنِىۡ‌ ۚ وَاِذۡ كَفَفۡتُ بَنِىۡۤ اِسۡرَآءِيۡلَ عَنۡكَ اِذۡ جِئۡتَهُمۡ بِالۡبَيِّنٰتِ فَقَالَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡهُمۡ اِنۡ هٰذَاۤ اِلَّا سِحۡرٌ مُّبِيۡنٌ
Dan ingatlah ketika Allah berfirman, Wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan Rohulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia pada waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu, (juga) Hikmah, Taurat dan Injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung dengan seizin-Ku, kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuhmu) di kala waktu engkau mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.

(QS. Al-Maidah Ayat 110)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More