4 Hadis Palsu yang Banyak Beredar Seputar Ramadan
Jum'at, 29 Maret 2024 - 20:04 WIB
Berikut ini hadis palsu yang banyak beredar seputar Ramadan .
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab beliau Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib ra.
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali“.
Hadis ini Maudhû’. Syaikh al-Albâni dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan , "Maudhû". Kemudian beliau menjelaskan penyebab kepalsuan hadis ini dalam kitab beliau Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518
Hadis dha’if lain yang hampir senada yaitu :
“Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat“.
Hadis dha’if riwayat Dailami dalam Musnad Firdaus. Al-Munâwi dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja’mi’ Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”
Kedua, hadis tentang berandai-andai Ramadan sepanjang tahun,
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada buan Ramadan, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun“.
Hadis Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari- ia mengatakan, “Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda , “(lalu beliau menyebutkan hadis diatas).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan hadis di atas dalam kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu . kemudian beliau rahimahullah mengatakan, “Hadis ini maudhû’ (palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadis ini adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullah mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadis.’
An-Nasa’i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk (orang yang hadisnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari hadis di atas, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu secara marfuu. Hadis ini maudhû (palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’
Ketiga, hadis yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadis ini palsu. Namun, As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadis ini dhaif, bukan palsu”. Hadis ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadis yang menyebutkan ‘Ramadan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Keempat, hadis yang menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadis ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Hadis ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadis ini Munkar.
Hadis ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadis ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadis yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi.
Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197).
Artinya, makna dari hadis palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab beliau Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib ra.
مَنِ اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali“.
Hadis ini Maudhû’. Syaikh al-Albâni dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan , "Maudhû". Kemudian beliau menjelaskan penyebab kepalsuan hadis ini dalam kitab beliau Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518
Hadis dha’if lain yang hampir senada yaitu :
مَنِ اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat“.
Hadis dha’if riwayat Dailami dalam Musnad Firdaus. Al-Munâwi dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja’mi’ Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”
Kedua, hadis tentang berandai-andai Ramadan sepanjang tahun,
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَةُ كٌلَّهَا
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada buan Ramadan, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun“.
Hadis Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari- ia mengatakan, “Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda , “(lalu beliau menyebutkan hadis diatas).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan hadis di atas dalam kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu . kemudian beliau rahimahullah mengatakan, “Hadis ini maudhû’ (palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadis ini adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullah mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadis.’
An-Nasa’i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk (orang yang hadisnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari hadis di atas, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu secara marfuu. Hadis ini maudhû (palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’
Ketiga, hadis yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadis ini palsu. Namun, As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadis ini dhaif, bukan palsu”. Hadis ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadis yang menyebutkan ‘Ramadan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Keempat, hadis yang menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadis ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Hadis ini adalah hadis palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadis ini Munkar.
Hadis ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadis ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadis yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi.
Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197).
Artinya, makna dari hadis palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
(mhy)